Eufemisme dan Hasrat Politik

Oleh:
Muhammad Aufal Fresky
Mahasiswa Program Studi Magister Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya. Penulis buku “Empat Titik Lima Dimensi.

Kontestasi politik lima tahunan sebentar lagi akan dihelat. Pergantian kepemimpian tingkat nasional menyedot perhatian publik dari segala penjuru Tanah Air. Begitu juga dengan masing-masing bakal calon presiden (bacapres) yang seolah tak mau ketinggalan melakukan safari politik untuk memperkenalkan diri. Ada tiga nama yang sudah mucnul ke permukaan, yaitu Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Sementara ini, baru Anis dan Cak Imin yang mendeklarasikan diri sebagai pasangan bacapres-bacawapres. Namun, selagi belum formal mendaftarkan diri ke KPU, segala kemungkinan bisa terjadi. Sebab, politik ini dinamikanya kadang tak terkira, selalu mengejutkan.

Dalam catatan ini, ada yang cukup mengganjal saya selaku penulis. Yaitu masing-masing kandidat tersebut hampir keseluruhan sudah mencuri start untuk ‘mempromosikan’ diri ke masyarakat. Apakah itu termasuk bentuk tindakan melangkahi aturan yang ditetapkan KPU? Biasanya mereka berdalih itu hanya sosialisasi ataupun silaturahmi. Biasalah namanya orang politik. Eufemisme bahasa kerap kali digunakan memenuhi hasrat politiknya. Padahal, KPU sendiri sudah menetapkan jadwal resmi kampanye pada tanggal 28 November 2023. Bahkan, ketiga bacapres tersebut masih belum resmi terdaftar sebagai capres di KPU.

Kampanye di luar jadwal sebenarnya sudah termasuk kategori pelanggaran pidana. Sebab telah melabrak UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Artinya, Bawaslu sendiri bisa menindak secara tergas pihak-pihak yang menyalahi aturan tersebut. Masalahnya, bagaimana Bawaslu memebedakan sosialisasi, silaturahmi, dan kampanye. Bukankah setiap bacapres dan timnya bisa mematahkan logika hukum secara mentah-mentah yang dibangun oleh Bawaslu? Saya masih cukup pesimis Bawaslu akan memberikan tindakan tegas terhadap kontestan Pilpres jika terbukti melakukan kampanye di luar jadwal.

Apalagi telah kita ketahui bersama, setiap menjelang Pilpres, masing-masing bacapres mulai rajin mengunjungi berbagai lokasi strategis seperti pesantren misalnya. Apalagi yang dicari kalau bukan dukungan. Apalagi yang diharapkan jika bukan peningkatan elektabilitas. Cukup sulit rasanya beranggapan mereka semua murni ingin mendapatkan barokah kiai. Wajar saja jika publik menduga-duga masing-masing kandidat berebut suara pesantren yang jumlahnya cukup banyak.

Menjelang pilpres 2024, cukup sulit membedakan mana kampanye, silaturahmi, dan sosialisasi. Masing-masing kandidat seolah berpacu dan berlomba-lomba untuk melakukan ‘silaturahmi’ ke berbagai kalangan. Syahwat politik seolah tak bisa dibendung oleh aturan. Dalam politik, terkadang segala cara bisa dihalalkan untuk memenuhi ambisi kekuasaan. Saat ini kawan, besoknya bisa jadi lawan. Bilang sedang makan nasi pecel, padahal makan ayam bakar. Satu tambah satu tidak selamanya menjadi dua. Ada banyak kemungkinan. Tak ada sahabat dan musuh sejati dalam politik. Adanya kepentingan sejati. Wajar jika eufemisme bahasa kerap digunakan untuk mendapatkan kursi jabatan.

Dalam KBBI, eufemisme sendiri merupakan ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan. Jadi isitilah kampanye diperhalus menjadi ‘silaturahmi’ biasa digunakan untuk memenuhi ambisi politik. Masing-masing Bacapres dan timnya memang tidak secara terang-terangan membawa atribut parpol ataupun mempersuasi masyarakat. Namun, kehadirannya secara kontinyu di tempat-tempat strategis yang dianggap sebagai lumbung suara patut kita curigai. Mereka tidak menggunakan istilah kampanye mungkin karena khawatir akan menjadi bumerang bagi timnya. Silaturahmi bukan sekadar silaturhami. Silaturahmi bisa saja untuk mengumpulkan basis suara pemilih. Sekali lagi, ini berkaitan dengan citra kandidat dan elektabilitasnya.

Sementara itu, Rogres dan Story (1987) mengungkapkan kampanye adalah serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Inti dari kampanye adalah memperkenalkan diri, visi, misi, dan program yang diusung kepada khalayak ramai. Tentu saja tujuannya untuk mempengaruhi calon pemilih agar menetapkan pilihannya kepada mereka yang sedang berkampanye. Biasanya, masing-masing kandidat berupaya untuk menampilkan diri sebagai sosok yang peduli dan simpati dengan kondisi rakyat. Ditambah lagi janji-janji manis yang kadang tidak realistis. Kampanye yang dilancarkan adalah untuk merebut hati rakyat. Tak jarang regulasi dan etika politik dikesampingkan agar bisa segera menjadi pejabat publik.

Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa sebagian politisi kerap kali menggunakan eufemisme untuk memaksimalkan jumlah suara yang didapatkan. Termasuk istilah ‘kampanye’ diganti dengan ‘silaturahmi’. Di sisi lain, Bawaslu tak bisa serta merta langsung melakukan tindakan kepada para Bacapres yang sedang keliling ke berbagai daerah. Sebab, mereka sendiri tidak membawa atribut partai dan tidak secara langsung berkampanye. Namun, bisa kita amati sendiri, dari berbagai kunjungan tersebut seolah ada upaya untuk melakukan personal branding untuk mempengaruhi pemilih. Belum lagi hampir semua calon sudah mengemukakan janji-janji politiknya di hadapan khalayak ramai. Bukankah itu bagian dari bentuk kampanye?

Dalam hal ini, saya rasa Bawaslu perlu lebih tajam mengendus potensi terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh masing-masing Bacapres dan Bacawapres. Jika memang ada bukti kuat terjadinya kampanye secara terselubung ataupun terang-terangan, maka jangan ragu untuk menindaknya. Jangan terkecoh oleh eufemisme yang digunakan oleh masing-masing kandidat dan timnya. Sebab, adanya regulasi mengenai Pemilu adalah untuk ditegakkan. Bukan sekadar dijadikan pelengkap dalam kontestasi politik.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: