Evaluasi Prestasi Olahraga

Tim “merah-putih” SEA Games 2019, gagal meraih target posisi runner-up. Walau perolehan medali emas (74 keping) telah melampaui prediksi. Namun terdapat ke-awam-an membaca “peta” kekuatan lawan. Juga kekurangan informasi nomor cabang olahraga (cabor) yang dipertandingankan. Terdapat tren “wajib menang” tuan rumah, menyimpangi asas keolahragaan prestasi. Berbagai kritisi penyelenggaraan ASEAN Games ke-30, patut menjadi kekhawatiran.
Tiada yang menduga medali emas SEA Games di Manila sampai lebih dari 500 keping. Sebagai bandingan, penyelenggaraan Asian Games 2018 di Jakarta (dan Palembang), hanya terdapat 465 medali emas, diperebutkan 37 kontingen (negara). Sedangkan ASEAN Games 2019 hanya diikuti 11 negara memperebutkan 532 medali emas. Bagai hujan medali, dengan keuntungan tuan rumah meraih 149 emas, 117 perak, 121 perunggu.
Penyelenggara SEA Games 2019 (PhiSGOC), telah dikritisi di seluruh dunia, karena ketidak siapan. Dianggap tidak cakap. Hal itu dibuktikan dengan tiadanya papan skor, serta stadion yang belum sepenuhnya rampung (layak digunakan). Beberapa akomodasi, hotel atlet yang belum selesai, menampakkan pekerjaan finishing yang tak sempat tergarap. Juga transportasi atlet sering terlambat, menyebabkan atlet tidak siap di arena.
Yang paling miris, menu makanan halal atlet muslim tidak terjamin. Terutama dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei (mayoritas) sangat diragukan. Ketua PhiSGOC meng-klaim telah menyelenggarakan SEA Games terbaik sepanjang sejarah. Namun klaim itu dinyatakan di dalam stadion yang berbau tidak sedap. Tak jauh dari stadion atletik, New Clark City, terdapat peternakan ayam. Masyarakat netizen seantero Asia Tenggara, menilai panitia SEA Games 2019, tidak cakap.
Ke-tidak siap-an panitia SEA Games 2019 menjadi pembelajaran negara-negara ASEAN (Asia Tenggara) yang akan menjadi tuan rumah. Penyelenggaraan even olahraga internasional bukan hanya membutuhkan persiapan infrastruktur olahraga. Melainkan juga infrastruktur pendukung. Termasuk pembangunan jalan, dan moda transportasi menuju arena pertandingan. Misalnya sebagai tuan rumah Asian Games, Indonesia meng-alokasikan anggaran sebesar Rp 22 trilyun.
Negara melalui alokasi APBN multy-years (tahun 2015-2018), menyediakan anggaran sebesar Rp 34 trilyun, dikelola Inasgoc, bersama Kemenpora. Yakni, untuk persiapan, penyelenggaraan, dan investasi infrastruktur stadion, dan transportasi. Termasuk pembangunan moda LRT(Light Rapid Transit). Sedangkan untuk SEA Games 2019, PhiSGOC hanya menyediakan anggaran sebesar 9,5 milyar peso (setara Rp 2,629 trilyun).
Di Filipina, panitia SEA Games juga dikiritik berkait anggaran. Diantaranya, pembangunan tugu api kuadron senilai Rp 15,2 milyar lebih. Tetapi keluhan atlet tentang akomodasi (sampai harus tidur di lantai), dan ke-tidak nyaman-an, telah dipahami presiden Rodrigo Duterte. Banyak laporan atlet luar negeri yang terlantar (tidak tahu arah), dan jalan macet. Serta atlet kelaparan, menjadi perhatian presiden Duterte. Kepala Negara Filipina yang dijuluki sebagai “the punisher” itu telah meminta maaf. Sekaligus memerintahkan penyelidikan.
SEA Games 2019, menjadi lompatan terbesar atlet Filipina dalam hal prestasi. Koleksi medali 387 keping, menjadi terbesar sepanjang sejarah kesertaan Filipina pada SEA Games, sejak awal. Sedangkan pada even yang sama tahun 2017 lalu di Kuala Lumpur, Filipina finish pada peringkat ke-6. Membawa pulang 121 keping medali (24 emas, 33 perak, 64 perunggu). Prestasi ini hanya akan menjadi kenangan.
Kinerja tuan rumah even olahraga, telah bergeser menjadi sumber jatah prestasi “semau gue.” Patut diwaspadai. Karena bisa jadi even olahraga nasional (terutama Pekan Olahraga Nasional, PON) akan tertular. Jatah tuan rumah yang “wajib” juara umum, niscaya menyimpangi asas sportifitas dalam perhelatan olahraga.
——— 000 ———

Rate this article!
Tags: