Fasilitasi Jala Nelayan

Foto Ilustrasi

“Kail dan jala cukup menghidupimu ….” Begitu sebaris lagu tentang mudahnya kehidupan nelayan yang digubah grup band legendaris, Koes plus. Tetapi saat ini, tidak mudah mengarungi nafkah “kolam susu” perairan di dalam negeri. Terdapat peraturan yang terasa menjerat nelayan lokal, berkait dengan penggunaan jala nelayan tradisional. Jala cantrang dilarang, karena dianggap tidak ramah lingkungan bisa melahap habis ikan-ikan kecil.
Nelayan memprotes, karena jala cantrang Indonesia, beda dengan jala jaring trawl yang biasa digunakan nelayan internasional. Protes nelayan telah dilakukan bersambung-sambung dari seluruh garis perairan barat Indonesia.Mulai pantai utara Jawa sampai Sumatera. Protes dilakukan sejak tahun 2016 hingga pertengahan Januari tahun (2018) ini. Namun Kementerian Kelautan dan Perikanan, belum merevisi Peraturan Menteri yang menyengsarakan nelayan.
Tetapi presiden Jokowi telah meng-instruksi-kan penundaan terhadap larangan penggunaan jala cantrang. Penundaan dilakukan sampai nelayan mampu melaksanakan. Namun keterlanjuran larangan (penerbitan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan), menyebabkan kegelisahan. Nelayan tidak berani melaut dengan membawa jalan cantrang.Itu berimbas pada keterbatasan kinerja melaut. Konon, ketakutan nelayan, menyebabkan kerugian sampai Rp 3,4 trilyun.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 2 tahun 2015, melarang penggunaan jala cantrang (sejenis trawl) rata-rata berukuran sekitar 3,75 sentimeter. Seharusnya mata jala cantrang berukuran 5,5 sentimeter. Sebab, dengan cantrang ukuran sempit, ikan yang masih kecil turut terjaring. Di seluruh dunia jaring trawl yang sempit telah dilarang, sejak pertengahan dekade tahun 1980-an.
Maksudnya, ikan yang masih kecil seharusnya dibiarkan hidup, bertelur dan beranak. Sekaligus sebagai sumber persediaan dan budidaya alamiah. Sebenarnya, penggunaan centrang sempit merupakan kreasi nelayan lokal terhadap jaring trawl. Mulai dugunakan sejak menjelang dekade tahun 2000-an, jala cantrang sangat populer di seantero pulau Jawa. Masif digunakan oleh nelayan Ujung Kulon di Banten, sampai Muncar di Banyuwangi, (Jawa Timur).
Kelompok nelayanbersikukuh, pengguna cantrang hanya nelayan tradisional, dengan perahu motor kecil. Jarak jelajahnyacuma sekitar 20 kilometer dari kampung asalnya. Karena jangkauan nafkah yang sempit, menyebabkan jenis tangkapan sangat terbatas. Maka untuk menambah penghasilan, tiada cara lain, terpaksa digunakan jala cantrang anyaman sempit. Agar ikan yang masih kecil bisa turut terperangkap.
Tetapi ikan kecil, bukan berarti anak ikan. Melainkan ikan dewasa yang berukuran kecil. Jenis ikan kecil laku dijual di pasar pelelangan ikan. Yang tidak laku di pasar akan di-asin-kan, atau setidaknya untuk konsumsi sendiri.Selain itu, bahan jala cantrang nelayan tradisional, terbuat dari senar plastik tipis. Gampang robek manakala menerjang batu karang. Area sapuan cantrangsangat terbatas dan tingkat pengadukan dan penggarukan dasar perairan relatif kecil.
Pangsa pasar nelayan lokal terbatas pada pasar tradisional, berupa ikan segar rata-rata berukuran 500 gram, yang paling besar seberat 3 kilogram. Ikan yang lebih kecil (kurang dari 250 gram) biasanya dikonsumsi sendiri, atau di-asin-kan. Sehingga produk dan pangsa pasar nelayan tradisional (lokal), berbeda dengan nelayan profesional dengan kapal besar.Dengan jala besar berbahan baja, sangat rentan pengrusakan pada dasar laut.
Hasil tangkapan nelayan profesional, paling kecil berukuran berat sekitar 3 kilogram. Sedangkan yang terbesar bisa mencapai 30 kilogram per-ekor.Pangsa pasar nelayan profesional, adalah industri pengalengan ikan, serta konsumsi hotel, dan restoran bertaraf internasional.Realita “adat” inilah yang mesti menjadi pertimbangan Menteri Kelautan dan Perikanan.Bahkan boleh jadi, cantrangpantas diresmikan sebagai jala percontohan khas Indonesia, yang ramah lingkungan.
——— 000 ———

Rate this article!
Fasilitasi Jala Nelayan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: