Fasilitasi Mesin Giling (Padi) Kelompok Tani

(Panen, Jaga Harga Beras)
Oleh: Yunus Supanto
Wartawan enior, Penggiat Dakwah Sosial Politik.
Di tengah musim hujan dengan anomali cuaca, panen raya padi sudah dimulai. Ani-ani (potong padi) akan berlangsung hingga berpuncak pada akhir Maret. Namun serta-merta harga gabah anjlok. Sekilas, seolah-olah suplai melebihi demand (kebutuhan). Karena itu pemerintah mesti ekstra waspada menata perdagangan dan distribusi beras. Melalui Bulog, pemerintah wajib memborong hasil panen dengan harga layak.
Pembelian oleh Bulog (Sub-divre) akan berfungsi ganda. Selain untuk mengamankan stok beras, juga untuk menghindari “permainan” harga oleh tengkulak. Pemerintah seyogianya coba memenuhi kebutuhan beras tanpa impor, mulai tahun ini. Tetapi tidak perlu mencabut Inpres Nomor 5 tahun 2015 tentang Impor beras. Sebab Inpres (izin) impor, bisa digunakan sebagai “penjinak” makelar beras impor. Sehingga stok beras cukup, harganya tidak memberatkan masyarakat.
Presiden Jokowi bertekad masih akan melanjutkan upaya swasembada pangan. Dua tahun lalu, presiden Jokowi sudah berjanji, bertekad  ber-swasembada pangan. “Minta apa pun saya beri,” kata presiden. Janji itu dinyatakan  seusai acara pemberian penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara, di Balai Besar Tanaman Padi, Subang, Jawa Barat. Presiden merasa malu, ketika ditawari beras oleh presiden Vietnam.
Inpres impor beras (dengan persyaratan yang lebih ketat), dapat digunakan sewaktu-waktu. Ini sekaligus merespons positif tawaran berbagai negara tetangga (India, China, dan Vietnam). Berdasar Inpres, impor beras boleh dilakukan manakala persediaan hasil panen dalam negeri tidak mencukupi. Sedangkan “catatan” ketersediaan beras akan dikontrol melalui Bulog. Karena itu pada diktum ke-7 klausul ke-3 dinyatakan, “Pelaksanaan kebijakan pengadaan beras dari luar negeri dilakukan oleh Perum BULOG.”
Sehingga ketersediaan beras di gudang Bulog (dengan divisi regional yang tersebar di daerah seluruh Indonesia) akan menjadi pertimbangan utama. HPP beras tahun (2017) ini tetap Rp 7.300 per-kilogram. Harga ini sudah bertahan selama dua tahun. Harga gabah kering giling (GKG) sebesar Rp 4.600,- (turun Rp 50,- per-kilogram). Sedangkan harga gabah kering sawah (GKS) Rp 3.750,- (naik Rp 50,- per-kilogram).
Mesin Slip Padi
Berdasar kalkulasi HPP per-beras-an, sebenarnya terdapat “ke-tidak adil-an.” Petani sebagai penanggungjawab on-farm beras, hanya memperoleh sekitar 50% total HPP beras. Terdapat selisih Rp 3.550,- (48,63%) antara GKS dengan HPP beras. Jika sebanyak 57% padi menjadi beras, maka sebenarnya, sekitar 43% harga beras (Rp 3.139,-) dinikmati oleh pengusaha slip.
Bandingkan dengan ongkos ani-ani (petik padi) hanya sebesar 10%. Andai biaya slip dapat ditekan setara ani-ani (10%), maka penerimaan petani akan lebih besar. Terdapat tambahan sebesar 33% (Rp 2.489,- per-kilogram). Indeks diterima (it) petani lebih besar, sehingga NTP (Nilai Tukar Petani) akan melambung. Tetapi, penambahan penghasilan sebesar Rp 2.489,- per-kilogram, bagai mimpi pada siang bolong.
Tetapi “mimpi pada siang bolong,” sebenarnya tidak sulit merealisasinya. Hanya dibutuhkan political-will (ke-berpihakan), dan karitatif pemerintah. Antaralain melalui fasilitasi pemerintah (dan pemerintah daerah) untuk pengadaan pengadaan mesin giling padi (slip). Setidaknya setiap kelompok tani (satu desa) terdapat satu usaha slip.
Pengadaan mesin slip padi juga dapat di-inisiasi semi-subsidi. Misalnya dengan menggunakan ADD (Alokasi Dana Desa). Dana desa merupakan amanat UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Diantara 34 propinsi, Jawa Timur akan memperoleh transfer paling besar. Berdasar PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 43 tahun 2014, terdapat prioritas penggunaan dana desa. Yakni, terutama untuk penanggulangan kemiskinan dan peningkatan akses sumber daya ekonomi.
Maka, setiap desa bisa ancang-ancang pula untuk membentuk BUM-Des (Badan Usaha Milik Desa). Diantaranya usaha giling (slip) padi, dengan harga jasa tidak mahal. Usaha slip padi milik desa bisa mendongkrak perekonomian komunitas, sekaligus “mengamankan” hasil panen dan memperbaiki pengasilan rumahtangga petani. Kelak, pemerintahan desa dapat menjadi alat kontrol persediaan (stok) beras yang paling efektif. Dapat “bersaing” dengan pedagang beras maupun tengkulak padi.
Selama ini stok beras tidak hanya tersimpan di gudang Bulog, melainkan juga di gudang milik pedagang besar. Tak jarang, stok di gudang pedagang sengaja disimpan untuk “mengayun” harga. Terutama menjelang hari raya Idul Fitri dan Tahun baru. Pada situasi (seolah-olah) stok langka, maka harga beras akan naik. Itulah modus yang dilakukan mafia pedagang, agar pemerintah membuka peluang (dan kuota) impor beras.
Panen raya bulan Maret – April 2017, diperkirakan menghasilkan sebanyak 68 juta ton gabah kering sawah (GKS). Sekitar 57% GKG akan menjadi beras (39 juta ton). Sedangkan konsumsi beras mudah dihitung. Yakni, perkiraan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 256 juta jiwa, dengan konsumsi beras sebanyak 139 kilogram per-kapita setahun. Maka diperlukan 35,584 juta ton beras. Dus, masih surplus beras sebanyak 3,5 juta ton.
Kualitas Hasil Panen
Maka impor beras, seharusnya tidak perlu! Namun tata-niaga beras, tidak semudah sekadar kalkulasi ketersediaan hasil panen. Melainkan juga situasi di desa-desa sentra pangan. Kenyataannya, tidak semua gabah (apalagi beras) disetor ke Divre Bulog. Bahkan sering, tengkulak lebih “agresif” dibanding Bulog. Diantaranya, tengkulak memberi talangan (utang) untuk modal bertani. Selain itu, penjualan kepada tengkulak lebih mudah.
Berdasar penyidikan tim Kementerian Pertanian, pembelian GKS oleh tengkulak selalu dibawah harga patokan pemerintah. Saat ini harga tertinggi oleh tengkulak GKS hanya sebesar Rp 3.000,- per-kilogram. Padahal HPP GKS Rp 3.750,-. Biasanya, petani menjual dalam bentuk GKS. Tidak mudah meraih harga tertinggi (Rp 3.700,- per-kilogram), karena terdapat beberapa persyaratan. Diantaranya, derajat sosoh (kandungan air, butir pecah dan tanah tercampur) akan menjadi penentu harga.
Pada musim hujan dengan anomali cuaca, kadar niscaya lebih tinggi. Tidak sesuai dengan persyaratan kualitas dalam HPP. Dus, penjualan ke Bulog tidak akan diterima. Sehingga tiada pilihan lain, tengkulak, menjadi diandalkan sebagai penerima hasil panen (tanpa syarat kualitas). Ini menjadi problem endemik (dan laten) usaha ke-pertani-an. Bukan hanya padi, melainkan juga berbagai jenis hortikultura.
Tetapi tidak seluruh hasil panen bermutu buruk. Bahkan mayoritas kawasan sentra padi menuai hasil panen sangat baik. Bisa bisa tanam (dan panen) dua kali, karena tambahan musim hujan yang lebih panjang. Beberapa sentra yang telah melaksanakan usaha ke-pertani-an yang baik dan benar, malah bisa ekspor. Di Subang dan Cianjur (Jawa Barat), telah dilakukan ekspor beras. Begitu pula di Banyuwangi dan Jombang (Jawa Timur) telah dilakukan ekspor beras.
Panen raya tahun ini (bulan Maret hingga April), sesungguhnya masih dapat diandalkan memenuhi stok beras. Bahkan manakala hujan masih turun, maka petani juga masih bisa menanam padi untuk periode kedua. Sehingga pada bulan Agustus sudah bisa panen lagi. Andai tidak ditanam padi, areal ladang bisa ditanam hortikultura andalan (bernilai mahal). Tetapi pemerintah mesti bekerja lebih keras menunjang kinerja petani. Antaralain menjamin ketersediaan benih tepat waktu.

                                                                                                                             ———   000   ———

Tags: