Fenomena ‘Gendeng Massal’ Akibat Teror PCC

Oleh :
dr Sonya Selly Hermawati
Pegiat antinarkoba ; Dokter di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Kendangsari, Surabaya

Dunia media sosial beberapa hari terakhir ini diributkan oleh pemberitaan tablet PCC. Masyarakat pun geger karena kematian bocah di bawah umur akibat penyalahgunaan obat tersebut. Fenomena gendeng masal ini tentu membuat kita semua merasa miris dan terpukul. Terlebih sebagai orang tua pasti kita was-was terhadap ‘keselamatan’ anak kita dan juga keselamatan generasi penerus bangsa ini.
Menurut data yang diperoleh hingga tanggal 16 September 2017, sedikitnya terdapat 86 orang yang dilarikan ke beberapa rumah sakit di Kendari yang akibat overdosis dari obat PCC. Yang membuat miris, sebagian besar dari korban tersebut masih merupakan anak di bawah umur yakni siswa SD dan SMP. Kematian pun tak terelakkan pada sebagian korban. Ada juga yang mengalami gangguan mental setelahnya. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah meneliti kandungan obat berinisial PCC tersebut yang beredar di Kendari.  PCC merupakan obat kombinasi yang terdiri dari Paracetamol, Caffein, dan Carisoprodol. Paracetamol yang disebut acetaminophen merupakan obat penurun panas dan penghilang rasa nyeri yang dijual bebas, biasanya digunakan untuk mengurangi gejala sakit derajat ringan hingga sedang. Sedangkan kafein merupakan zat yang umumnya terdapat pada kopi sebagai stimulant pada system saraf pusat, jantung, dan otot tubuh.
Dalam dunia medis, kafein tidak jarang digunakan sebagai kombinasi bersama painkiller seperti parasetamol. Efek lain dari kafein yakni dapat meningkatkan tekanan darah dan bersifat diuretic atau melancarkan aliran urin. Akan tetapi, pada umumnya kafein adalah zat yang relatif aman untuk rutin dikonsumsi asal tidak berlebihan. Jika berlebihan bisa menimbulkan efek samping berupa serangan panik, cemas, meningkatnya asam lambung dan tekanan darah, bahkan insomnia.
Berbeda halnya dengan carisoprodol. Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Nomor 6171/A/SK/73/ tanggal 27 Juni tahun 1973, Carisoprodol dimasukkan ke dalam golongan obat keras. Obat ini merupakan jenis muscle relaxant yang bekerja singkat. Tubuh akan memetabolisme carisoprodol menjadi metabolit berupa senyawa meprobamat yang memberikan efek sedasi / menenangkan.
Dalam penyalahgunaannya, carisoprodol sering digunakan sebagai obat untuk meningkatkan rasa percaya diri, penguat stamina, bahkan banyak digunakan oleh pekerja seks komersial sebagai obat penguat.  Obat ini dapat menyebabkan ketergantungan sehingga tidak dijual bebas. Efek sampingnya dapat mempengaruhi saraf, hilang kesadaran, detak jantung meningkat hebat, hingga kejang-kejang. Melihat dampak penyalahgunaannya lebih besar daripada efek terapeutiknya, sejak tahun 2013 seluruh obat yang mengandung carisoprodol dibatalkan izin edarnya. Yang menjadi polemik saat ini adalah target yang berupa anak dan pelajar. Ini merupakan fenomena yang luar biasa karena kejadian menimpa anak dalam kurun waktu bersamaan.
Fenomena PCC ini hampir mirip dengan fenomena pil Dobel L yang belum lama ini juga marak digunakan oleh pelajar. Harga yang sangat terjangkau, bentuk yang bermacam-macam, iming yang menggiurkan menjadi animo tersendiri bagi para pengedar untuk memasarkan kepada anak-anak. Tentu ada tujuan lain dibaliknya selain masalah ekonomi. Modusnya luar biasa banyak sehingga kita para orang tua wajib lebih waspada. Yang terpenting melakukan pendekatan yang lebih intensif kepada anak-anak. Para pengedar seakan-akan selangkah di depan kita. Mereka terus mencari inovasi baru memasarkan produk dalam rupa baru atau jenis lama yang dikemas baru. Penyalahgunaan obat ini sangat terkait dengan adanya toleransi, adiksi, bahkan selanjutnya bisa berkembang lebih tinggi menjadi ketergantungan. Adiksi obat ditandai dengan adanya dorongan dari dalam tubuh untuk menggunakan obat tersebut walaupun sebenarnya tidak diperlukan. Obat yang bersifat adiktif ini umumnya memberikan rasa senang atau euphoria berlebih. Hal ini yang membuat orang untuk terus dan terus menggunakan. Selanjutnya memasuki fase ketergantungan. Ketika sudah memasukin fase tersebut, pengguna umumnya sadar bahwa mereka ingin berhenti, namun mereka sudah tidak dapat menghindar lagi.
Dari pengamatan, tampaknya ada beberapa alasan mengapa penyalahgunaan obat sering terjadi. Yang pertama, dia merupakan pasien pengguna rutin obat tersebut untuk mengatasi penyakitnya. Contohnya insomnia, depresi, gangguan cemas, dan sebagainya. Pada awalnya penggunaan obat sesuai dengan resep dokter. Setelah itu menuju ke tahap toleransi, yang mengharuskan peningkatan dosis untuk mendapatkan efek yang sama. Setelah itu, dia membelinya secara bebas sehingga jatuh ke dalam fase ketergantungan dan jika tidak terkendali dapat menyebabkan overdosis yang berujung kematian. Yang kedua, alasan rekreasional. Para pengguna menggunakan obat untuk bersenang-senang.
Remaja-remaja membujuk teman-temannya untuk menggunakan dan dianggap ‘cupu’ jika tidak mengikuti lingkaran gaya hidupnya. Yang ketiga, ketidaktahuan. Alasan ini yang sering dijadikan sasaran oleh para pengedar untuk memasarkan obatnya. Para pengedar mencari target anak-anak yang notabene masih belum paham. Seperti kasus di Kendari, disampaikan bahwa pengedar dan pengguna sama-sama tidak saling kenal.
Yang sering menjadi pertanyaan adalah darimana para pengguna mendapatkan obat – obat tersebut yang telah diketahui tidak dijual bebas. Untuk kasus penyalahgunaan, ada banyak cara yang biasa dilakukan, antara lain dengan shopping doctor, pengguna mengunjungi banyak dokter sehingga mendapatkan banyak resep untuk memperoleh obat tersebut, peresepan yang berlebihan terutama untuk kasus-kasus kronis yang pemberiannya untuk jangka waktu lama, memalsukan resep, mencuri, atau penjualan langsung oleh oknum tenaga medis dan pekerjanya yang memang mengesampingkan moral dan etika profesi. Selain itu yang marak terjadi juga pemerolehan obat melalui internet atau apotek online, yang susah untuk diawasi dengan ketat. Bahkan yang lebih ekstrim lagi, pengedar memberikan secara cuma-cuma kepada anak-anak. Hal ini yang perlu semakin diwaspadai untuk tidak sembarangan menerima barang baik itu obat atau makanan/minuman dari orang yang tidak kita kenal.
Untuk menghentikan pengedaran dan penyalahgunaan, dibutuhkan partisipasi dari seluruh elemen masyarakat. Edukasi perlu ditingkatkan guna pengenalan lebih dalam dan upaya preventif dalam penyalahgunaan obat. Tenaga medis dan jajarannya pun perlu untuk meningkatkan kewaspadaan dan pengamatan terhadap resep-resep yang dirasa ganjil atau mencurigakan terutama pada peresepan obat yang menimbulkan adiksi, serta memperketat pemberian obat-obatan tersebut.
Dari dalam rumah, kita sebagai orang tua pun harus lebih mengupayakan kedekatan orang tua dan anak agar anak tidak terjerumus kepada penyalahgunaan obat dan penggunaan narkoba, membekali anak dengan pengetahuan agama dan moral. Stop penyalahgunaan obat dan peredaran gelap narkoba.

                                                                                                               ——— *** ———-