Fenomena Jokowi dan Pemilu 2014

Khozanah-Hidayati,-SPOleh :
Khozanah Hidayati, SP
Anggota FKB DPRD  Kabupaten Tuban

Hampir semua hasil survey tentang calon presiden mendatang yang paling populer di mata masyarakat adalah Joko Widodo atau yang lebih populer disapa Jokowi. Fenomena ini sungguh sangat menarik sekali karena Jokowi yang baru setahun lebih terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta secara meyakinkan dan sekarang sudah digadang-gadang oleh rakyat untuk menjadi calon presiden, padahal secara penampilan sosok Jokowi sangat sederhana dan bahkan terkesan berwajah ndeso.
Memang gebrakan Jokowi dalam memimpin DKI Jakarta sangat menarik simpati masyarakat. Misalnya keberhasilan beliau menangani pedagang kaki lima Tanah Abang yang menggelar dagangannya di pinggir jalan dan berhasil direlokasi ke pasar Tanah Abang Blok G sungguh mencengangkan, karena disamping bisa mengurai kemacetan lalu lintas di daerah Tanah Abang sekaligus juga bisa memberikan asa yang cukup bagus bagi para pedagang kaki lima yang direlokasi dan bahkan bisa mengurangi aksi premanisme di Tanah Abang.
Lainnya adalah saat merelokasi masyarakat di pinggir waduk Ria-Rio yang sedang direvitalisasi ke pemukiman rumah susun juga sangat patut diacungi jempol. Disamping keberhasilan awal Jokowi memulai proyek MRT (Mess Rapid Transport) yang sudah hampir sepuluh tahun terbengkalai karena tidak terurus oleh pemerintahan gubernur sebelumnya. Keberhasilan lain memang sangat banyak untuk diamati dan dicermati. Keberhasilan-keberhasilan tersebut tampak apa adanya tanpa ada kesan pencitraan, yang mana selama sepuluh tahun belakangan ini politik pencitraan ala pemerintahan SBY sangat masif dilakukan. Hal ini yang membuat rakyat bosan dan bahkan muak melihatnya.
Di tengah politik pencitraan yang masif dilakukan namun kenyataanya jauh panggang dari api, muncullah sosok pimimpin yang sangat sederhana dan bahkan terkesan berwajah ndeso, seorang gubernur DKI Jakarta, ibu kota Republik Indonesia. Sehingga semua gerak-geriknya akan selalu disorot dan dipantau okeh pers dan tersiar luas seantero Nusantara dan bahkan dunia. Sehingga fenomena keberhasilan Jokowi akan selalu diamati dan dinanti oleh rakyat luas.
Fenomena Jokowi ini tentunya harus dijadikan tauladan oleh para politisi yang akan bersaing memperebutkan kursi DPRD/DPR/DPD saat pemilu 2014 nanti. Namun janganlah didekati secara harafiah semata, pendekatan secara substantiflah yang harus dipentingkan. Janganlah aksi blusukan dan wajah ndeso Jokowi yang ditiru namun pendekatan ke masyarakat tanpa pamrih dan ikhlas sematalah yang sekiranya perlu diutamkan dan ditauldani dan ditambah tanpa politik pencitraan ala presiden SBY. Karena politik pencitraan sudah lewat masanya. Masyarakat sudah bosan dengan politik pencitraan tanpa aksi nyata. Janganlah gaya baju kotak-kotak ala Jokowi yang ditiru, namun pendekatan-pendekatan kultural dan aksi nyatalah yang dikehendaki oleh masyarakat. Cobalah tengok aksi Jokowi yang memback up penuh lurah kelurahan Lenteng Agung, Susan Jasmine Zulkifli yang konon ditolak oleh masyarakat karena alasan agama, namun dibela habis-habisan oleh Jokowi karena kerja nyata si lurah Susan sungguh menyentuh masyarakat. Dan akhirnya penolakan terhadap lurah Susan meredup dan bahkan akhirnya hilang dengan sendirinya. Tengok juga kritik yang gagal kepada Jokowi oleh politisi gaek PAN Amien Rais perihal prestasi Jokowi yang konon hanya pencitraan semata, padahal itul hanyalah politik pencitraan dari politisi PAN itu sendiri untuk meredupkan sinar terang yang menaungi Jokowi. Justru persepsi buruk yang diterima oleh pengkritik Jokowi.
Fenomena Jokowi ini menjadi inspirasi bagi semua elemen anak bangsa, bahwa kalau mau mereka pun bisa melakukan hal yang sama seperti Jokowi. Di tengah besarnya kuasa uang dan pengaruh kekuatan modal dalam mengendalikan arah politik kita sekarang. Namun, segala kemungkinan bisa terjadi. Seperti telah dibuktikan Jokowi. Singkat kata, bukan hanya Jokowi, siapapun politisi dengan niat baik dan visi yang jelas dan pendekatan ke masyarakat yang ihlas bisa berhasil mendapat dukungan masyarakat di Indonesia tahun 2014 ini. Selain itu, ada sisi penting yang luput dari bahasan banyak pemerhati politik menyusul keberhasilan Jokowi memimpin DKI Jakarta.
Kemunculan dan keberhasilan Jokowi ada gelagat dibaca secara keliru oleh beberapa media, sehingga liputan keberhasilan Jokowi memakai angle yang keliru. Bahkan ada seorang analis politik yang berkesimpulan bahwa rakyat kecewa dengan produk masa lalu sehingga menyukai sosok ala Jokowi yang ndeso. Saya kira itu tidak tepat sama sekali. Sosok Jokowi yang ndeso, karena kebetulan sosok yang asli dan apa adanya serta tidak memakai pencitraan itu, kebetulan memang berwajah ndeso.
Dan muncul saat masyarakat memang mendamba sosok baru di luar pakem demokrasi kartel dan persekongkolan antar partai model sekarang. Andaikan yang muncul dalam momen ini adalah bintang film terkenal seperti Syahrul Khan yang keren ya pasti sama juga. Lalu apakah masyarakat memang mengidolakan bintang film model Syahrul Khan? Kan nggak juga dong. Lebih salah kaprah lagi, kalau di tahun politik ini, di 2014 ini, mentang mentang keberhasilan Jokowi jadi rujukan, lalu semua calon legislatif rame-rame mengkloning dirinya sebagai Jokowi. Bahkan ramai-ramai pakai baju kotak-kotak ala Jokowi dan setiap hari blusukan keluar masuk kampung. Saya kira itu langkah yang salah dalam mengartikan makna keberhasilan Jokowi ini.
Jokowi berhasil, harus dimaknai bahwa semua orang selama punya niat baik, visi yang pro rakyat, dan bisa membaca kebutuhan nyata masyarakat, dan tidak ikut dalam pakem demokrasi kartel politik model sekarang ini serta ihlas bertindak maka peluang itu sebenarnya ada dan cukup besar. Karena itu, bagaimana kinerja Jokowi ke depannya nanti, sudah bukan jadi urusan masyarakat pemilihnya lagi.
Komitmen Jokowi ini sebagai kekuatan pembaharuan adalah beban sekaligus momentum dia untuk berbuat yang terbaik bagi masyarakat Jakarta khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Hikmah kemasyhuran Jokowi bagi masyarakat adalah untuk menciptakan sosok-sosok pemimpin bangsa masa depan di luar sosok Jokowi, kiranya jauh lebih penting.
Dan inilah sumbangan kultural terbesar Jokowi. Satu fakta penting yang krusial dari demokrasi kartel artai politik saat ini, yaitu kenyataan bahwa hanya 18 persen masyarakat Indonesia yang menikmati pertumbuhan ekonomi Indonesia yang katanya sekitar 6,3 persen tersebut. Berarti, 82 persen warga masyarakat Indonesia tidak terlayani kebutuhan sosial-ekonominya maupun kesejahteraannya. Berarti, ada yang salah dengan sistem demokrasi multi-partai yang sejatinya dikuasai oleh sebuah kartel politik yang berintikan beberapa konglomerat pengusaha kelas kakap Indonesia seperti Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, Hasyim Djojohadikusumo, Fahmi Idris, Arifin Panigoro, Osman Sapta, Fadel Muhammad, dan lain sebagainya.
Keberhasilan Jokowi yang berada di luar kendali skema kartel politik Partai Demokrat dan Golkar, memberi inspirasi bagi kekuatan-kekuatan yang punya visi dan jaringan kader yang jelas namun berada di luar orbit kartel politik partai, bahwa mereka bisa berpeluang asalkan punya kompetensi dan reputasi yang telah teruji oleh waktu dan rekam jejak yang terdokumentasi secara nyata, dalam bergelut dan berkiprah di masyarakat apapun peran dan fungsinya.
Jadi ini bukan perkara meniru atau mengkloning Jokowi yang berwajah “ndeso” melainkan menangkap hikmah dari keberhasilan Jokowi, bahwa masyarakat mendambakan sosok pemimpin yang otentik dan apa adanya serta ihlas tanpa pamrih dengan segala kekuatan dan kelebihannya. Namun menggambarkan dirinya sebagai seseorang yang berkarakter dan berjiwa kuat, melalui perjalanan waktu dan rekam jejak kegiatan dan kiprahnya di dalam masyarakat. Dan di atas itu semua, kemunculan sosok-sosok baru di luar kendali demokrasi kartel politik tersebut, diharapkan akan membawa serta sebuah gagasan baru dan konsepsi baru untuk meluruskan demokrasi kita saat ini. Sehingga demokrasi langsung/direct democracy yang menyertai kemunculan sosok-sosok pemimpin baru nanti, akan meluruskan demokrasi kita sehingga kepemimpinan baru akan jadi jembatan atau jalan raya untuk melayani dan memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan mendasar 82 persen masyarakat Indonesia di bidang sosial-ekonomi dan sosial-budaya. Sekaligus menghancurkan sekat-sekat yang memisahkan komunikasi lahir-batin antara para pemegang jabatan kekuasaan dan masyarakat umum.

Rate this article!
Tags: