Fenomena Mudik dan Kemiskinan

Oleh :
Nurul Yaqin, S.PdI
Pendidik Asal Sumenep Madura. Alumnus Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA)

Era Informasi Teknologi dan Komunikasi (IPTEK) telah memberi banyak kemudahan terhadap masyarakat untuk melakukan komunikasi, baik secara audio, audio-visual bahkan yang tak memungkinkan untuk dijangkau. Tapi masyarakat merasa bahwa itu semua – dalam pandangan Jurgen Habermas (filsuf dan sosiolog Jerman) – hanya bersifat teknologis instrumental (alat). Alat tidak bisa menggantikan suatu kebersamaan secara nyata.
Maka dari itu, setiap memasuki akhir bulan Ramadhan negara kita memiliki rutinitas tahunan yang tidak pernah absen dari kebiasaan masyarakat kita. Mudik sudah menjadi budaya yang mendarah daging bagi masyarakat Indonesia. Ruralisasi besar-besaran akan meledak menjelang hari raya idul fitri. Alasannya sederhana, kerinduan mendalam terhadap kampung halaman. Dan itu tidak bisa diganti dengan teknologis instrumental secanggih apapapun.
Uforia dan hiruk pikuk kendaraan menghiasi budaya saban tahun ini. Transportasi darat, laut, hingga udara dipadati oleh lautan manusia yang berbondong-bondong menuju tanah kelahiran. Desakan ketika naik kapal, mahalnya tiket pesawat, dan gesekan antar motor dan mobil di tengah panasnya sinar matahari yang rawan akan kecelakaan seakan sirna demi satu kata “pulang”.
Untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan menjelang mudik tahun ini pemerintah telah berupaya semaksimal mungkin demi kenyamanan pemudik. Diantaranya, Kemenhub menyediakan mudik gratis, tujuannya untuk mengurangi pemudik yang menggunakan transportasi motor. Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumhana Rakyat (PUPR)  sejak awal tahun telah membangun 4 fly over (FO), yaitu FO Dermoleng, Klonengan, kesambi, dan kretek di kabupaten brebes dan tegal, Jawa Tengah. Dan kepala badan pengatur jalan tol (BPJT), Herry Trisaputr Zuna menyebutkan ketersedian parking bay untuk menunjang rest area utama. (Kominfo, 2/6/2017)
Namun, berkaca pada sebelumnya, fenomena mudik masih saja menyisakan pekerjaan rumah (PR) yang tak kunjung usai. Dari manajemen transportasi yang masih semrawut. Tidak optimalnya infrastruktur transportasi. Jalan utama yang masih saja penuh kerusakan dan lubang. Kemacetan yang tak juga menemukan mekanisme jitu untuk mengatasinya. Sehingga mudik identik dengan kecelakaan, korban meninggal, dan pencopetan serta efek negatif lainnya. Maka, keamanan dan kenyamanan dalam perjalanan mudik menjadi harga mahal yang harus diperjuangkan.
Mudik dan Kemiskinan
Jumlah pemudik dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Tercatat pada tahun 2015 pemudik mencapai 11,36 juta orang. Sedangkan pada tahun 2016 mengalami peningkatan menjadi 17,6 juta orang. 2,4 juta menggunakan kendaraan pribadi, 5,6 juta menggunakan motor, dan sisanya menggunakan angkutan penyebarangan, kereta api, angkutan laut dan udara. (Warta Kota, 30/6/2016)
Meningkatnya angka pemudik dari tahun ke tahun juga menjadi harapan kolektif akan berkurangnya angka kemiskinan di negeri ini. Perpindahan manusia dalam skala yang sangat besar sudah barang tentu hanya untuk mencari pekerjaan di kota. Dan ini juga bertujuan untuk memperkecil angka pengangguran yang selama ini menjadi tranding topic yang tak menemukan benang merahnya.
Mudik terjadi karena adanya ketimpangan antara pedesaan dan perkotaan. Minimnya mata pencaharian di desa mendorong masyarakat untuk mengadu nasib di kota. Arus urbanisasi dalam sekala yang sangat besar ini disebabkan oleh terpusatnya kegiatan di kota-kota besar dan tidak optimalnya kegiatan di pedesaan. Kegiatan kota di daerah tidak terlaksana secara matang sehingga masyarakat lebih memilih untuk mengais rejeki di tanah rantau. Hal ini karena diiming-imingi oleh kesuksesan sebagian teman atau keluarga yang telah lama merantau.
Namun, sering kali sukses di kota menjadi harapan semu yang tak nyata. Harapan besar untuk hidup mapan di kota besar ternyata tak seindah di angan. Hidup di kota sangat keras penuh dengan persaingan. Mereka yang tidak mempunyai skill mumpuni akan tergilas, kemudian mundur perlahan. Hasilnya, kemiskinan semakin menanjak naik, kolong jembatan makin sesak, dan pinggiran sungai disesaki oleh para perantau yang tak jelas pekerjaannya.
Dilansir dari SindoNews (19/07/2016) Jakarta – yang merupakan pusat tujuan untuk memperoleh pekerjaan – berdasarkan penuturan Kepala Bidang Statistik Sosial BPS (Badan Pusat Statistik) angka kemiskinan mengalami peningkatan. Jumlah penduduk miskin Jakarta pada September 2015 mencapai 368.670 atau 3,61% dari jumlah total penduduk. Sedangkan pada Maret 2016 meningkat menjadi 384.300 orang atau 3,75%. Artinya terdapat peningkatan angka kemiskinan sebesar 15,630 orang atau 0,1%. Artinya, angka pemudik yang semakin menggurita tak menjadikan angka kemiskinan semakin berkurang, justru sebaliknya.
Hikmah mudik
Namun, fenomena mudik tak melulu soal kemacetan, kecalakaan, kericuhan, memakan korban, dan meningkatnya angka kemiskinan. Ada hikmah khusus bagi setiap individu yang melaksanakan mudik, terlebih ketika bersua kembali dengan sanak keluarga. Kebersamaan dengan keluarga besar (unclear family) tak lengkap rasanya tanpa tradisi mudik.
Diantara beberapa hikmah mudik sebagai berikut ; Pertama, meningkatkan kebaikan. mudik merupakan ajang untuk berbuat baik kepada orangtua, keluarga, tetangga, dan teman sejawat. Kita saling bersalam-salaman dan bermaaf-maafan setelah sekian tahun tidak bertemu. Sehingga tidak ada kesombongan antara orang yang mudik dengan orang-orang kampung halamannya (QS. An-Nisa’ : 36).
Kedua, saling berbagi. Setelah sekian lama bekerja biasanya orang yang mudik membawa cukup harta untuk dibagikan kepada keluarga, teman, tetangga, dan orang yang yang kurang mampu. Sehingga akan tercipta sebuah interaksi sosial yang baik (social contact) walaupun selama ini telah terpisah oleh jarak yang berjauhan.
Ketiga, mempererat tali silaturrahim. Dengan mudik bisa merajut kembali hubungan silaturrahim yang telah renggang. Bertukar informasi setelah sekian lama tidak bertatap muka. Dalam bukunya Sedang Tuhan Pun Cemburu (1994) Emha Ainun Najib menulis, orang beramai-ramai mudik itu sebenarnya sedang setia kepada tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya.

                                                                                                             ———— *** ————-

Rate this article!
Tags: