Fenomena Mudik di Tengah Pandemi 2022

Menjaga Diri, Menjaga Negeri
Oleh:
Susanto
Guru Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 3 Bojonegoro-Jatim.

Kalau tidak ada aral lebaran idul fitri tahun ini jatuh tanggal 3 dan 4 Mei 2022 meski ada perbedaan awal Ramadhan. Idul Fitri tahun ini kemungkinan akan serentak dirayakan. Tentunya, umat muslim akan merayakan dan menyambutnya dengan suka cita tanpa perbedaan pelaksanaan hari raya dengan semangat prokes pandemi,

Denyut arus mudik yang mulai terasa. Arus lalu lintas mulai padat. Baik darat, laut, dan juga udara. Fenomena tersebut, sedikit banyak dan jujur harus diakui membuat kesadaran ikut merasakan. Bagaimana tidak untuk bisa mudik ke kampung halaman rela mempertaruhkan jiwa dan raga. Rela berdesak-desakan yang terkadang nyawa menjadi taruhannya. Dan tak jarang pula, ngebut di jalan raya dengan motor agar cepat sampai di rumah untuk ketemu dengan keluarga di kampung halaman.

Haruskah mudik sebagai sebuah keharusan? Benarkah mudik harus kita paksakan? Ataukah karena keterpaksaan? Apakah mudik (bukan) sekedar rindu kampung halaman? Adakah relevansinya dengan hari raya idul fitri? Apa sih sebenarnya dibalik mudik? Adakah nilai-nilai spritualitas mudik? Itulah berbagai pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama.

Ngugemi Nilai

Mudik kekampung halaman adalah bagain terpenting dalam kehidupan. Mudik adalah mentradisikan nilai-nilai secara kultural. Artinya apa yang dilakukan oleh orang kota kepada orang desa (kampung halaman) bahwa sesuangguhnya bahwa orang desa masih memegang teguh prinsip dan juga lebih menghargai hakiki kehidupan. Meski mereka merantau ke kota masih tetap ngugemi. Tak lapuk oleh globalisasi kehidupan. Mereka masih tidak pudar atau kehilangan apa yang menjadi “darah’ dalam kehidupan yang telah diwariskan oleh para orang tua dulu. Mudik sesungguhnya adalah kuatnya ikatan batin yang terpatri dalam kehidupan yang sarat nilai-nilai kehidupan sosial religus.

Sejatinya esensi mudik merupakan sikap untuk tetap mentradisikan dan selalu menjunjung harkat dan sisi humanisme kepada orang tua, kerabat, dan juga kampung halaman. Memang dengan mudik terjadi semacam polarisai nilai-nilai kehidupan. Adanya perbedaan nilai yang menonjol antara desa sebagai simbol kampung halaman dan kota sebagai simbol modernisasi terletak pada intensitas respon manusiawi secara alami tanpa dibuat buat. Nah, Adanya mudik tentunya orang perantauan akan meresa lega (tenteram) dan sehat kembali. Hal ini dapat bermakna bahwa selama di kota nilai-nilai yang didapatkan kadang tidak sesuai dengan kondisi riil masa lalu atau dengan nilai-nilai kehidupan yang mereka anut atau dapatkan saat di kampung halaman mereka dahulu.

Realitas Sosial

Mudik sebagai sebuah realitas sosial budaya dalam masyarakat tentunya bukanlah sesuatu yang tanda dasar. Artinya, fenomena mudik adalah sebuah potret budaya yang perlu disikapi secara jernih. Pertama, mudik bukan semata-mata karena momentum perayaan Idul Fitri atau hari lebaran semata. Hari Raya Idul Fitri adalah medium untuk mempertemukan kembali “kefitrahan’ atau kesucian diantara manusia. Sebagai sebuah medium yang memungkinkan proses mudik terjadi. Karena pulang ke kampung halaman di luar Idul Fitri, meski banyak ditempuh oleh komunitas perantauan. Inilah letak keunikan kultur atau budaya mudik. Dengan demikian, mudik yang terjadi pada saat menjelang lebaran idul fitri memberikan relevansi bahwa ada dorongan kuat untuk merefleksi dan “memuqasabah” diri dengan sungkem bersama keluarga.

Kedua, tradisi mudik menggambarkan masih kuatnya ikatan primordial masyarakat. Dan, sayangnya, ikatan-ikatan primordial itu justru tumbuh pada mereka yang telah tinggal di kota. Mengingat kondisi yang demikian, tentunya kemudikan seorang individu dari rantauan tidaklah salah. Pada dasarnya, mereka begitu karena ada identitas diri yang melekat pada harkat kemanusiaannya. Mereka bangga bila keakuan merasa terhargai. Sah-sah saja bila momen mudik dijadikan mengingat daerah kelahiran.

Ketiga, para perantauan yang mudik pada umumnya justru menjadi “sinterklas” atau memberikan manfaat bagi keluarga, tetangga, dan juga kampung halamannya. Jarang sekali para perantau yang mudik menjadi “virus”, akan tetapi justru mereka memberikan warna baru baik yang yang menyangkut modernisasi kota dan kesuksesan selama dirantau. Selama mudik bukanlah seberapa banyak uang yang mereka dapatkan atau seberapa mewah mobil yang dinaiki. Akan tetapi spirit mereka untuk sukses itu bagaimana. Bahasa yang sederhana, perantau atau pemudik yang baik bukan bercerita tentang harta mereka yang dibawa pulang dan yang telah mereka miliki akan tetapi lebih bercerita bagaimana bekerja keras, ulet, dan jujur dalam menjalani kehidupan selama dirantau adalah yang esensi kehidupan bagi mudik.

Keempat, tradisi mudik tentunya dapat memberikan implikasi yang positif terhadap peradaban masyarakat desa terlebih pada pola pikir, perilaku, dan juga kepribadian. Kehidupan kota yang dibawa oleh para pemudik dapat memberikan inspirasi untuk membangun desa yang lebih bermartabat, memberikan manfaat bagi orang lain. Sebab bagaimanapun juga sebaik-baik umat adalah orang yang memberikan kebermanfaatan bagi orang lain dan sekelilingnya. Mudik bisa dijadikan momentum introspeksi diri (muqasabah) secara sosial di tengah pandemi yang menjadi keprihatinan kita bersama.

Nah, fenomena mudik di tengah pandemi harus selalu menjunjung sikap antikebencian dan memaksimalkan menjaga kebhinekaan dengan nuansa prokes.. Dalam konteks demikian, meneguhkan NKRI sebuah harga mati di tengah realitas karena fenomena pandemi Covid-19. Oleh karena itu, tugas kita semua adalah menjaga diri dan menjaga negeri melalui prokes. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443 H.

———- *** ————-

Rate this article!
Tags: