Fenomena Pernikahan Dini di Masa Pandemi

Oleh :
Anik Wahyuningtyas
Penulis adalah Guru SMAN 1 Tiris-Probolinggo

Masa pandemi covid-19 memang banyak menghadirkan fenomena baru dalam kehidupan masyarakat. Termasuk dunia pendidikan pun merasakan dampaknya berupa pemberlakukan pembelajaran secara dalam jaringan (daring). Sistem pembelajaran daring pun pada akhirnya melahirkan banyak persoalan yang tidak terduga sebelumnya, seperti kesulitan akses internet, ketidaksiapan orang tua mendampingi anak dan yang mengagetkan lagi adalah adanya fenomena peningkatan angka pernikahan dini yang melanda para siswa.

Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Madiun, Zainal Arifin mengatakan, jumlah kasus pernikahan dini selama delapan bulan terakhir, yakni Januari hingga Agustus 2020 tercatat mencapai 120 pengajuan dispensasi nikah. (liputan 6.com, 7/9). Menurut data dari Pengadilan Agama Ponorogo, jumlah pernikahan dini alias di bawah umur pada rentang Januari-Agustus 2020 mencapai 165. Angka ini dua kali lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yang hanya mencapai 78 pernikahan dini. Pengadilan Agama Ponorogo menilai kondisi ini ada hubungannya dengan pandemi Covid-19. (madiunpos.com, 6/9)

Data tersebut adalah beberapa contoh kasus yang melanda di negeri ini, tentu masih banyak kasus-kasus serupa yang terjadi di tempat lain, tidak terkecuali di lingkungan sekitar kita sendiri.

Penyebab

Pembelajaran yang tidak lagi tatap muka dan hanya mengandalkan absensi kehadiran dan penuntasan tugas secara daring mengakibatkan para guru tidak bisa memantau siswa sepenuhnya. Mungkin dengan aplikasi seperti zoom para guru bisa bertatap muka secara virtual, namun di mana posisi siswa dan sedang bersama siapa siswa terebut tidak sepenuhnya bisa dipantau oleh guru.

Pengawasan orangtua yang tidak maksimal mungkin adalah faktor utama. Sibuk mencari usaha dan bekerja di luar rumah karena tuntutan ekonomi, sehingga anak bisa saja keluyuran dan melakukan aktivitas lain di luar rumah dengan bebas.

Ironisnya ada juga yang pernikahan ini memang sengaja dilakukan oleh orangtua karena kondisi ekonomi yang mencekik di tengah pandemi. Para orangtua rela menikahkan anaknya dengan harapan mengurangi kebutuhan ekonomi keluarga, dengan anggapan, jika anak gadis mereka telah menikah, maka beban hidup akan ditanggung suaminya.

Ada juga beberapa orangtua yang sengaja menikahkan anaknya karena takut anak mereka berbuat zina dan hamil di luar nikah. Karena dengan tidak bersekolahnya anak, maka kebebasan waktu dan kelonggaran untuk perilaku berpacaran pastilah meningkat.

Frekuensi memegang gadget pada anak juga cenderung meningkat. Di sela-sela jadwal daring dan mengerjakan tugas, mereka bisa terjebak pada konten-konten pornografi dan pergaulan bebas sehingga merusak moral dan mempraktekkan hal-hal yang mereka lihat bersama pasangannya. Jika hal itu terjadi maka tak jarang terjadilah hamil di luar nikah yang berujung pada pernikahan.

Menurut Owena, salah seorang aktifis di bidang pencegahan perkawinan usia anak di Plan International Indonesia mengatakan, perkawinan anak rentan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga perceraian. Tak jarang anak akan kembali ke rumah dengan membawa anak, yang akan malah menambah beban ekonomi. Menikahkan anak bukan solusi dari menghadapi kesulitan ekonomi di masa pandemi Covid-19. Yang mereka ketahui, pernikahan adalah sarana untuk melegalkan hubungan dan sebatas pelampiasan nafsu saja (bbc.com, 5/5)

Solusi

Banyaknya tantangan yang dihadapi dalam menghapus praktik perkawinan anak di masa pandemi menunjukkan bahwa perlu ada langkah yang ditempuh sejak dini. Baik itu yang dilakukan oleh guru selaku pendidik, orangtua yang selalu bersama siswa saat di rumah, dan pemerintah tentunya dengan kebijakan yang bisa diterapkan.

Pemberian pendidikan akhlak pada siswa di sela-sela pembelajaran daring oleh para guru masih harus tetap dilakukan walaupun dengan kondisi yang berbeda. Terutama guru pengajar Pendidikan Agama dan Budi Pekerti. Sosialisasi masalah pergaulan bebas dan dampak pernikahan dini misalnya bisa diberikan oleh guru BK.

Dengan Rajinnya guru mengontrol aktivitas siswa melalui status mereka di media sosial mungkin dapat menjadi solusi, menegur anak saat memasang status yang tidak wajar, status otw ke suatu tempat, saat mengikuti acara tertentu, atau mungkin mengunggah status saat foto berdua dengan pacarnya. Dengan teguran dari guru ini setidaknya bisa mengurangi aktivitas siswa yang mengarah pada pergaulan bebas.

Disiplin waktu saat anak menggunakan gadget di rumah bisa menjadi solusi tepat. Mereka diijinkan menggunakan gadget hanya pada jadwal daring dan mengerjakan tugas. Selebihnya gadget disimpan rapi oleh orangtua sehingga dapat mengurangi frekuensi penggunaannya.

Menyempatkan diri memantau isi HP anak setidaknya bisa dilakukan oleh orangtua sebagai kontrol penggunaan gadget. Pengawasan orangtua saat pembelajaran daring sangatlah diperlukan, bisa saja mereka menggunakan gadget dengan alasan mencari materi, namun ujung-ujungnya nyasar pada konten-konten yang tidak seharusnya mereka lihat.

Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menjadi UU perkawinan no 16 Tahun 2019 pada tanggal 16 September 2019, setidaknya memberi pencerahan pada masyarakat untuk mengurangi angka pernikahan dini. Jika sebelumnya batas minimum usia untuk menikah bagi pria adalah 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun, kini diubah menjadi minimum 19 tahun untuk kedua belah pihak.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam kabinet kerja 2014-2019 Yohana Susana Yembise, pernah menyatakan revisi UU perkawinan tersebut dilakukan utamanya untuk melindungi hak anak dan terciptanya perkawinan yang sehat dan sejahtera.(liputan 6.com, 17/9)

Pengetatan dispensasi pernikahan dini dapat menjadi shock terapi masyarakat. Pada awalnya mungkin akan banyak protes akibat banyaknya anak yang berusia dibawah 19 tahun melahirkan bayi tanpa suami. Akan tetapi, lambat laun akan menjadi peringatan keras bagi orangtua dan anak-anaknya. Karena mereka akan menanggung rasa malu yang luar biasa. Hal ini dapat menggugah perhatian orang tua lain agar mengikat anak-anaknya dengan adab yang mulia.

Ketentuan usia nikah wanita sudah diamandemen. Dari 16 menjadi 19 tahun. Tetapi masih ada peluang usia anak-anak melakukan pernikahan, yaitu dengan dispensasi dari pengadilan. Maka sebenarnya bola ada di tangan para hakim. Jika palunya bapak hakim ringan meloloskan dispensasi, maka pernikahan dini akan terus terjadi. Tetapi jika dispensasi nikah kurang umur hanya diberikan kepada mereka yang punya uzur syar’i insya Allah tidak akan ada lagi berita pernikahan dini yang terus meningkat seperti saat ini. Dan yang perlu dicatat, hamil karena perzinahan bukanlah uzur syar’i yang layak memperoleh dispensasi nikah dini.

Pembelajaran daring adalah suatu upaya yang dilakukan oleh pemerintah agar siswa mendapat hak pembelajaran di tengah-tengah pandemi dengan segala kekurangan yang ada, diantaranya adalah sumber penyebab meningkatnya pernikahan dini. Diharapkan peran guru, orangtua dan pemerintah akan selalu bersinergi dalam upaya pencegahannya. Semoga pandemi segera berlalu dengan meninggalkan hikmah yang luar biasa.

————– *** ————–

Tags: