Fenomena Quick Count Berbeda Hasil

iki cokOleh
M. Amir  HT
Peneliti Kebijakan Publik Balitbang Provinsi Jatim

Piala bola dunia sudah berlalu kemenangan juara diraih oleh Jerman. Pilpres sudah kita laksanakan dibulan penuh berkah, insyaallah kemenangan akan ibadah puasa kita raih pula dengan penuh ketakwaan. Namun gejolak setelah Pilpres selesai yakni perbedaan hasil quick count yang dilaksanakan berbagai lembaga survei. Ada semboyan yang sering didengung-dengungkan pemilu jurdil, namun banyak di antara kita yang tidak memahami hakikat dan tujuan utama quick count itu sendiri. Di publik kita sekarang, quick count lebih dikenal sebagai cara untuk mengetahui secara lebih cepat siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam Pemilu atau Pilkada. Pengertian ini tidak salah, tapi bukan pengertian yang sebenarnya mengapa quick count lahir.
Quick count lahir dari kebutuhan untuk menjaga agar penghitungan suara pemilu atau Pilkada tidak curang. Kalaupun ada kecurangan, diharapkan tidak merubah siapa yang seharusnya menang atau kalah. Quick count menjaga suara pemilih; membantu agar proses pemilu atau Pilkada berlangsung secara jurdi, berdasarkan berbagai sumber yang dihimpun, quick count atau penghitungan cepat atau sebagian kalangan menyebutnya exit poll, pertama dilakukan pada tahun 1986 di Pemilu Philipina. Sebuah LSM yang bernama NAMFREL melaksanakan PVT (parallel vote tabulation) yaitu pencatatan atau penabulasian secara paralel hasil penghitungan suara pemilu.
Di Indonesia, metode quick count sebenarnya sudah dilaksanakan sejak pemilu 1997 dan pemilu 1999 oleh LP3ES. Namun waktu itu LP3ES tidak terlalu mempublikasikan secara besar-besaran hasilnya. Seiring berjalannya waktu, teknik yang digunakan dalam quick count semakin berkembang. Dengan menggunakan prinnsip dasar statistika, penyelenggara quick count tidak perlu menempatkan orang di setiap TPS. LP3ES menyebutkan quick count atau penghitungan suara cepat adalah proses pencatatan hasil perolehan suara di ribuan TPS yang dipilih secara acak.
Quick count adalah prediksi hasil pemilu berdasarkan fakta bukan berdasarkan opini. Karena itu ia tidak sama dengan jajak pendapat terhadap pemilih yang baru saja mencoblos atau yang biasa disebut exit poll. Untuk kepentingan quick count ribuan relawan diturunkan untuk mengamati pemilu secara langsung demi memperoleh informasi yang diperlukan. Mereka mencatat ke dalam formulir yang telah disediakan mengenai informasi proses pencoblosan dan penghitungan suara di TPS yang diamati, termasuk perolehan suara masing-masing kandidat. Setelah selesai mereka akan menyampaikan temuan-temuannya ke pusat data (data center).
Mengapa kita bisa mempercayai hasil quick count? Pertanyaan ini seringkali diajukan ketika banyak pihak yang meragukan akurasi data. Jawabannya karena quick count tidak mendasarkan diri pada opini siapapun, melainkan berbasis pada fakta lapangan, yaitu perolehan suara di TPS. Organisasi yang melakukan Quick Count mengumpulkan data dari tiap TPS, dan berusaha melakukan penghitungan cepat dari daerah pantauan yang dipilih secara acak. Para pemantau berada di TPS, dan melaporkan secara langsung proses pemungutan dan penghitungan surat suara. Quick count dapat memperkirakan perolehan suara Pemilu secara cepat sehingga dapat memverifikasi hasil resmi KPU. Lebih jauh quick count mampu mendeteksi dan melaporkan penyimpangan, atau mengungkapkan kecurangan. Banyak contoh membuktikan Quick Count dapat membangun kepercayaan atas kinerja penyelenggara pemilu dan memberikan legitimasi terhadap proses pemilu. Selanjutnya agar kita bisa memahami quick count, kita pun harus mengerti metodologi dan cara penarikan sampel yang dipilih penyelenggara. Karena kekuatan data quick count sebenarnya bergantung pada bagaimana sampel itu ditarik. Sebab, sampel tersebut yang akan menentukan mana suara pemilih yang akan dipakai sebagai basis estimasi hasil pemilu. Sampel yang ditarik secara benar akan memberikan landasan kuat untuk mewakili karakteristik populasi.
Seberapa akuratkah hasil quick count bila dibandingkan dengan hasil resmi pemilu atau pilkada? Estimasi quick count akan akurat apabila mengacu pada metodologi statistik dan penarikan sampel yang ketat serta diimplementasikan secara konsisten di lapangan. Kekuatan Quick Count juga sangat tergantung pada identifikasi terhadap berbagai faktor yang berdampak pada distribusi suara dalam populasi suara pemilih. Apabila Pemilu berjalan lancar tanpa kecurangan, akurasi quick count dapat disandarkan pada perbandingannya dengan hasil resmi KPU. Tetapi apabila Pemilu berjalan penuh kecurangan, maka hasil quick count dapat dikatakan kredibel meskipun hasilnya berbeda dengan hasil resmi KPU. Oleh karena itu Quick Count biasanya diiringi dengan kegiatan lain yaitu pemantauan yang juga menggunakan metode penarikan sampel secara acak.
Maka setiap ajang pemilu, sejumlah lembaga beramai-ramai menggelar apa yang dinamakan quick count dan exit poll saat pemungutan suara. Tak jarang satu lembaga menggelar quick count dan exit poll sekaligus. Lalu apa beda dua metode itu?. QUICK count atau hitung cepat lebih familiar di telinga masyarakat. Dengan metode ini, partai dan pasangan capres-cawapres terpilih sudah bisa diprediksi hanya beberapa jam setelah Tempat Pemungutan Suara (TPS) ditutup. Hasilnya pun tidak pernah meleset. Hasil quick count nyaris persis karena sampelnya jumlah suara faktual di TPS. Hal ini berbeda dengan survei sebelum pemungutan suara, yang sampelnya pemilih yang sangat mungkin mengubah pilihan saat pencoblosan. Meski lebih presisi ketimbang survei pra-pemungutan suara, hasil quick count setiap lembaga juga berbeda-beda. Biasanya, paling besar selisihnya 1 persen. Hal ini wajar mengingat quick count hanya mengambil sampel suara di TPS untuk memproyeksi hasil perolehan suara sebenarnya. Di sinilah timbul kesalahan (error).
Batas kesalahan (margin of error) bisa ditetapkan masing-masing peneliti/lembaga, tergantung dari seberapa banyak sampel TPS yang akan diambil. Semakin banyak sampel TPS yang diambil, semakin kecil margin of error sebuah hasil quick count. Semakin banyak sampel TPS tentu baik untuk meminimalisasi kesalahan. Namun semakin banyak sampel juga akan memakan banyak biaya. Bayangkan, untuk pemilu 2014 ini saja terdapat 585.218 TPS. Sampel 10 persen saja sudah 58.521 TPS. Soal metode penarikan sampel, lembaga biasa menggunakan stratified random sampling atau multistage random sampling. Lalu bagaimana dengan exit poll? Metode polling ini dilakukan dengan cara menanyai pemilih setelah mereka keluar dari TPS. Berbeda dengan quick count yang menjadikan suara TPS sebagai sampel, exit poll menjadikan pemilih yang baru keluar TPS sebagai respondennya. Karena itu, exit poll lebih menargetkan data demografi pemilih, bukan memprediksi siapa yang bakal menang dalam pemilu. Data demografi yang dicari biasanya adalah usia, agama, suku, gender, tingkat pendidikan, pendapatan, latar belakang pilihan partai politik, afiliasi ormas keagamaan dan lain-lain.
Exit Poll adalah polling terhadap hasil sebuah pemilihan yang dilakukan dengan cara menanyai voter/pemberi suara/pemilih ketika mereka keluar dari TPS. (lihat wikipedia) Seperti polling-polling lainnya, Exit Poll tetap memiliki masalah-masalah kesalahan, diantaranya adalah masalah perbedaan rata-rata respons pemilih dan masalah minimnya data demografi yang digunakan dan sedikitnya pilihan terhadap sampling points.

——————- *** ——————-

Rate this article!
Tags: