Fenomina Krisis Kepemimpinan Manusia Modern

Judul Buku : Pemimpin Yang “Tuhan”
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : 1. 2018
Tebal : 388 Halaman
ISBN : 978-602-291-512-6
Peresensi : Ahmad Wiyono
Pegiat Literasi, tinggal di Pamekasan Madura

Sebentar lagi kita akan betul-betul memasuki tahun pemilu, hiruk-pikuk dinamika politik tanah air sudah menyedot perhatian jutaan rakyat dari sabang hingga merauke. Saling hantam, saling sikut, saling caci sudah menjadi warna dunia politik tanah air, padahal tujuan dari kontestasi ini sejatinya adalah melahirkan pemimpin yang baik, amanah dan bermanfaat untuk masa depan bangsa.
Proses menuju kontestasi 2019 yang diwarnai dengan menu kebencian ini tentu menjadi catatan hitam dunia politik kita hari ini, bisa jadi inilah masa kebebasan demokrasi yang kebablasan, di mana setiap orang merasa memiliki kemampuan untuk bicara politik, bahkan untuk menebar fitnah dan kebencian sekalipun. Lalu, bagaimana masa depan bangsa ini bisa dipertaruhkan jika dalam prosesnya sudah saling hantam?.
Inilah fenomina krisis kepemimpinan manusia modern, mereka nyaris tak bisa meneguhkan semangat leader dalam dirinya, merasa menjadi orang yang paling benar, dan lain salah. Emha Ainun Nadjib Dalam buku berjudul Pemimin Yang “tuhan” ini mengilustrasikan sosokk manusia semacam itu seperti pemimpin yang selalu hadir tanpa merasa bersalah, padahal ada banyak suara hati di luar hatinya yang mestinya didengar lebih dekat dan diresapi lebih nikmat untuk menjadi wahana aktualisasi dalam menebar cinta kepada sesamanya.
Melakukan kelaliman terbukti bisa tidak ketahuan sampai berapa lamapun mekanisme sejarah berlangsung. Mencuri, mengutil, korupsi, bahkan menjampret atau merampok bisa tidak sukar disembunyikan dari pengetahuan umum. Mengerjakan pelanggaran-pelangaran semendasar apa pun secara konstitusional, yuridis, moral, etis, bahkan sampai tingkat menentang hokum kekuasaan Tuhan pun bisa dikamuflase, disamarkan, atau ditutupi dengan cara yang bisa sangat sederhana, atau dengan perangkat yang simpel atau tidak pelik. (Hal. 237-238).
Sebuah gambaran bagaimana kejahatan bisa diorganisir dengan baik sehigga menjadi sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh orang banyak. Dan hal ini sudah menjadi karakter pemimpin masa kini yang nyaris melupskan kodrat kepemimpinannya. Cak Nun memvisualisasikan hal itu dengan bahasa yang sangat sederhana, bahwa itu semua bisa dipolitisir. Bahkan kata Cak Nun mereka berani menutupi kebohongan itu atas nama Tuhan. Luar biasa potret kepemimpinan manusia abad ini.
Seperti pada karya-karya Cak Nun yang lain, buku ini juga tampil dengan gagasan kritis terkait beragam fenomina yang terjadi di dunia ini. Salah satunya adalah fenomina kepimpimpian yang mulai menjadi problem dasar kegaduhan bangsa saat ini. Untuk itu Cak Nun menegaskan agar setiap kita tidak terlalu fanatik buta atas keberadaan seorang pemimpin atau pun calon pemimpin, meski di satu sisi kita harus meyakini bahwa pasti ada pemimpin yang baik.
Buku terbitan Bentang Pustaka menarik utnuk dibaca dalam kondisi bangsa yang tengah bergemuruh akan fenomina kontestasi, karena di dalamya kita akan menemukan petuah hikmah dari cak Nun tentang bagaimana menyiapkan calon pemimpin yang baik dan dengan cara baik, dan bagaimana pula kita sebagai rakyat menyikapi proses kontestasi tersebut dengan arif. Sehingga, krisis kepemimpinan abad modern ini bisa diselesaikan dengan cara yang mudah, praktis dan sederhana, yaitu menajdikan diri sebagai sosok yang mampu membumikan semangat leadership dalam diri kita masing-masing. Selamat membaca.

———- *** ————-

Tags: