FFI Kehilangan Apresiasi

festival-film-indonesiaPerfilman dalam negeri semakin dilanda krisis apresiasi oleh masyarakat. Bakan penyelenggaraan FFI (Festival Film Indonesia), bagai memperoleh “boikot” sosial. Nyaris tidak digubris oleh masyarakat. Juga hanya menempati rating sangat rendah pada tayangan televisi, serta pemberitaan media masa cetak maupun elektronik. Maka stake-holder perfilman nasional perlu ber-inovasi membangkitkan apresiasi masyarakat, sebagai salahsatu even seni budaya nasional.
Rendahnya apresiasi masyarakat, tercermin dari nominasi unggulan peraih iala Citra dalam FFI 2015 yang baru lalu. Misalnya, kelima film unggulan, seluruhnya belum dikenal masyarakat! Tak terkecuali film terbaik, “Siti,” (yang memperoleh 3 piala Citra). Begitu film A Copy of My Mind (juga memperoleh 3 piala Citra) baru akan rilis Pebruari 2016. Tiga nominator film terbaik lainnya, mengalami asib yang sama (kurang di-apresiasi).
Di luar negeri, kelima nominator film terbaik dalam FFI 2015, sebenarnya cukup berprestasi memadai. Tetapi bukan di gedung bioskop, melainkan pada tataran festival. “Siti,” berhasil meraih penghargaan dua kategori sekaligus dalam ajang Festival Film Internasional Shanghai. Yaitu sebagai film dengan sinematografi dan kategori naskah terbaik. Sebelumnya, Sekar Sari (pemeran Siti) juga berhasil meraih Best Performance di Festival Film Internasional, Singapura 2015.
Begitu pula “A Copy of My Mind,” diputar pada Toronto Film Festival, Kanada. Film tersebut juga diboyong ke Busan International Film Festival (BIFF) di Korea, beberapa waktu lalu. Film ini pada FFI 2015, meraih tiga piala Citra. Yakni, untuk kategori Pemeran Wanita Terbaik (oleh Tara Basro), Sutradara Terbaik (Joko Anwar), serta Penata Suara Terbaik (Hikmawan Santoso dan Yusuf A).
Harus diakui, film-film terbaik dalam FFI 2015, belum teruji pada pasar perfilman nasional. Inilah permasalahannya, bahwa seolah-olah FFI benar-benar terlepas dari keterkaitan dengan kehendak publik-nya. FFI kali ini, benar-benar meninggalkan kemungkinan pangsa pasarnya. Berbeda dengan FFI terdahulu (terutama dua – tiga dekade silam), film yang meraih piala Citra, bisa dipastikan box office. Bahkan awet larisnya, sampai beberapa tahun.
Film-film kala itu adalah: Naga Bonar (1987), Tjoet Nja’ Dhien (1988), Pacar Ketinggalan Kereta (1989), Taksi (1990), serta Cinta Dalam Sepotong Roti (1991). Kelima film tersebut, bukan kebetulan, ternyata memang box office pada tahun peredarannya, hingga beberapa tahun kemudian. Bahkan untuk film Naga Bonar, telah didaur-ulang pada tahun 2007 diberi judul Nagabonar Jadi 2, meraih predikat film terbaik pula pada FFI 2007. Begitupun penayangannya di televisi swasta, berhasil mencatat rating tertinggi (tahun 2010).
Penyelenggaraan FFI, jika diruntut sejak pertama tahun 1955, FFI tahun  ini menjadi yang ke-35. Seharusnya semakin menjadi ikon pergelaran seni budaya nasional paling akbar. Seperti piala Oscar, yang menjadi ikon perfilman sedunia. Semestinya pula, film-film unggulan-nya menjadi kiblat perhatian publik. Sistem unggulan (nominasi) dalam FFI mulai dipergunakan tahun 1979. Pada dekade ini pula (1970-an hingga 1980-an) film Indonesia mencapai kejayaan, karena didukung ribuan gedung bioskop.
Persis pada awal dekade 1990-an, tepatnya tahun 1992, perfilman Indonesia mengalami kemerosotan tajam, dalam kuantitas maupun kualitas. Sampai FFI pun dihentikan pada tahun 1993, dan baru diselenggarakan lagi pada tahun 2004. Tapi kini FFI semakin kehilangan gebyar. Konon, kelesuan ini dampak dari tutupnya gedung-gedung bioskop yang keok bersaing dengan teknologi CD player. Juga makin maraknya film gratis melalui layar kaca (televisi).
Ini sudah berlangsung selama lebih dari dua dekade. Puncaknya dulu, FFI dihentikan pada tahun 1993, dan baru diselenggarakan lagi pada tahun 2004. Apakah (tragedi) penghentian FFI akan terjadi lagi ?

                                                                                                                  ——— 000 ———-

Rate this article!
FFI Kehilangan Apresiasi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: