Fikih Media Dan Simulakra Medsos

Oleh :
Haeri Fadly
Mengajar Filsafat, dan Peneliti Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang.

Akhir-akhir ini, jagat media informasi menjadi perhatian banyak pihak, terutama layanan media sosial (medos) seperti Facebook (FB), Whatsapp (WA) Twitter, Line, Instagram dan lainya. Karena medsos tidak hanya dijadikan sarana komumikasi antar individu maupun kelompok, tetapi banyak disalahgunakan fungsi dan tujuannya. Salah satunya sebagai media penyebaran berita palsu maupun hoax.
Di era teknologi informasi seperti saat ini, ada informasi sedikit pun, akan segera menyebar dan menjadi viral di jejaring sosial. Jika informasi itu positif dan bermanfaat tidak akan menjadi persoalan. Namun yang terjadi, banyak informasi yang muncul sebagai ujaran kebencian (hate speech) dan hoaks. Dan bahkan ada fenomena gerakan pesan berantai medsos yang cenderung berisi hujatan, hinaan dan provokasi. Ini menjadi ironi dunia literasi kita. Padahal medsos diharapan menjadi sarana gerakan literasi bangsa Indonesia yang kini rangkingnya menempati urutan 60 dari 61 negara.
Medsos: Dari Kuasa ke Simulakra
Sudah mafhum bahwa medsos seperti FB, WA, twitter dan lainnya dijadikan sebagai sarana tukar menukar informasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam banyak hal, ia menjadi “mejelis ilmu” untuk belajar. Sehingga setiap orang dapat mengakses pengetahuan secara online tanpa harus terikat waktu dan tempat.
Dalam perkembangannya, medsos lebih dari sekadar alat komunikasi biasa. Ia dihadirkan seolah-olah sebagai kebutuhan hidup yang utama. Manifestasinya bermacam-macam. Ada yang selalu selfi dengan posting foto, update status kalau lagi ada di bandara dan tempat-tempat mewah. Bisa juga “pamer” dengan menunjukkan prestasi yang dimiliki.
Perkembangan selanjutnya, disamping sebagai alat komunikasi, medsos berperan penting dalam mempengaruhi opini orang lain. Untuk kasus yang menjadi perhatian publik, praktik-praktik diskursif dalam rangka mempengaruhi khalayak dilakukan secara massif. Medsos seperti FB, WA, BBM, dan Twitter menjadi sarana penting. Pihak yang pro maupun yang kontra sama-sama berusaha menebar wacana kebenaran untuk merebut kuasa. Ide, diksi dan aksentuasi pesan dikemas sedemikian rupa. Tujuannya agar khalayak terpengaruh dan ikut dalam kontestasi wacana (kebenaran) di ruang publik.
Meminjam istilah Michel Foucault bahwa kondisi tersebut dapat dipandang sebagai relasi wacana dan kuasa. Bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat, khususnya bidang politik, agama dan budaya, tidak ada yang berdiri tunggal. Di dalamnya ada wacana dan kuasa berjalan secara relasional dan tak terpisahkan.
Pemikir post-modernis ini ingin menegaskan bahwa realitas masyarakat berjalan atau digerakkan dalam kerangka wacana dan kuasa. Demikian juga dengan gerakan medsos terkait kasus-kasus publik. Khalayak diajak dalam kontestasi hitam-putih, benar-salah, dan kalah-menang. Siapa yang mampu memenangkan kontestasi wacana di ruang publik ini, maka kuasa (kekuatan massa) akan diraih. Tentunya, ia akan menjadi insentif sosial berupa legitimasi publik terhadap kebenaran yang diperjuangkan.
Selanjutnya, dalam pandangan Foucault, wacana (pengetahun) tidak berkembang sendiri di luar konteks kuasa. Jadi, tidak ada praktik kekuasaan tanpa melahirkan wacana (pengetahuan), begitu juga sebaliknya, tidak mungkin wacana (pengetahuan) tidak mengandung relasi kekuasaan di dalamnya. Gerakan pesan berantai medsos tentang kasus-kasus tertentu menunjukkan hal tersebut. Dimana masing-masing pihak mencoba mempengaruhi opini masyarakat dengan wacana-wacana yang diproduksi oleh pemilik kuasa. Obyeknya adalah khalayak atau masyarakat luas. Terkadang khalayak umum tidak perlu bertanya tentang orisinalitas, validitas, dan kebenaran pesan maupun isinya. Ada juga tulisan-tulisan yang tak bertuan, namun dipercaya begitu saja sebagai kebenaran.
Kebenaran informasi susah dibedakan. Yang benar dibuat seolah-olah salah, dan begitu juga sebaliknya. Silang sengkarut informasi susah diurai. Semua penuh rekayasa dan citraan. Inilah era simulacra, tegas Jean Baudrillard. Era dimana dunia penuh dengan simulasi, pencitraan, dan kerancuan.
Jika diamati, fenomena pesan berantai medsos terkait kasus keagamaan cenderung liar dan tak terkontrol. Ujaran kebencian (hate speech), provokatif dan agitatif dengan bebas dan mudah terlontar dari siapa pun. Yang sangat mengkhawatirkan bagi kita, munculnya bibit-bibit perpecahan akibat berita palsu atau hoax.
Fikih Informasi
Dalam kaitan dengan kasus yang menjadi perhatian publik, medsos kini memiliki makna tersendiri. Ia menjelma sebagai media untuk menghakimi, mengutuk, menghina dan memprovokasi baik dilakukan oleh yang pro maupun yang kontra. Pesan dan status medsos lebih banyak mengorek dan menyebarkan informasi negative yang terkadang belum jelas kebenarannya. Banyak yang terpancing dan tak sedikit juga yang mengabaikan. Dalam Islam, ketika kita mendapatkan imformasi, maka diajarkan untuk dikonfirmasi. Kalau ditarik ke dalam bahasa media, maka informasi harus dilakukan check and recheck. Tidak boleh semua informasi yang kita peroleh ditelan dan disebarkan mentah-mentah.
Itulah bedanya media FB, WA, Twitter yang tidak mengenal cover both sides. Pesan sesuai dengan keinginan pembuat maupun pengirimnya (copy paste). Sentimen ideologi, partai, golongan dan kepentingan menentukan isi kebenarannya. Setiap orang begitu mudah meng-share status dan pesan yang tidak jelas pembuat dan kebenaran isinya. Kadang cukup ditulis “copas dari group sebelah” atau “copas di status facebook teman”. Sesekali copy paste link media online dan youtube serta meme. Seolah-olah tanpa rasa tanggungjawab terhadap apa yang dilakukan.
Dalam al-Qur’an Surat al-Hujurat (49:6) ada ayat tentang “tabayyun”. Ayat ini menegaskan tentang pentingnya konfirmasi dan validasi terkait kebenaran suatu berita. Jadi, tidak serta merta semua berita atau informasi yang kita terima ditelan mentah-mentah. Apalagi disebarkan dengan tujuan-tujuan negative untuk orang lain. Begitu juga dalam Hadits ada ajaran tentang etika sharing informasi. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menegaskan: Kafaa bi al-mar’i kadziban an yuhadditsa bi kulli maa sami’a. “Cukuplah seseorang (dianggap) berbohong apabila dia menceritakan semua yang dia dengarkan”. Kata “mendengarkan” dalam Hadits tersebut dapat ditafsirkan “membaca” dalam konteks medsos. Sehingga kita tidak serta merta menyebarkan semua informasi yang kita dapatkan, apalagi status kebenarannya belum jelas. Terlebih terhadap informasi yang isinya provokatif, hinaan, cacian dan tuduhan.
Ungujaran-ujaran maupun “meme” negatif di medsos dengan tujuan menghina pada prinsipnya melanggar nilai-nilai agama. Perlu disadari dengan baik, kebaikan yang diperjuangan dengan cara yang tidak baik, akan melahirkan ketidakbaikan pula.
————- *** —————-

Rate this article!
Tags: