Film HULA-KETA: Bukan Maluku Tanpa Sagu Diluncurkan

Wakil Wali Kota Malang Sofyan Edi Jarwoko saat peluncuran film dokumenter pendek HULA-KETA: Bukan Maluku Tanpa Sagu” di Bioskop Movimax Sarinah Malang. Sabtu akhir pekan kemarin.

Kota Malang, Bhirawa
Peluncuran Film dokumenter pendek “HULA-KETA: Bukan Maluku Tanpa Sagu” resmi dilakukan Bioskop Movimax Sarinah Kota Malang Sabtu (18/3), akhir pekan kemarin.
Sejumlah undangan, hadir pada acara tersebut, antara lain, Wakil Wali Kota Malang Sofyan Edi Jarwoko, Perwakilan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI, Arifin Abbas, Astrolog penyusun kalender adat dan pamong budaya Kota Tidore Kepulauan, Deny Yudo Wahyudi, arkeolog dan Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang.
Ulasan film dibawakan oleh Purnawan Basundoro, sejarawan dan Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya; Lusiana Margareth Tijow, Kepala UPT Laboratorium Pancasila Universitas Negeri Malang, dan Moh. Rizki A. Karim, Himpunan Mahasiswa Halmahera Barat di Malang diikuti testimoni beberapa peserta.
Pelantikan kepengurusan baru Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Komisariat Malang (tahun bakti 2023-2028) yang dipimpin Daya N. Wijaya dan dikukuhkan oleh sejarawan Purnawan Basundoro yang juga Ketua MSI Jawa Timur, menjadi acara penutup peluncuran film tersebut.
Moh. Rizki A. Karim dari Himpunan Mahasiswa Halmahera Barat di Malang mengaku surprise dengan adanya film ini.
“Kami dari generasi muda akhirnya menjadi paham bagaimana sejarah sagu itu sendiri menjadi pokok di tempat kami,”ujarnya.
Sementara Lusiana Margareth Tijow menyingggung, tentang kesetaraan gender dalam film ini.
“Saya melihat bahwa kaum lelaki hanya mengambil hula, namun pengolahan hingga jual beli dilakukan oleh kaum perempuan,”ujarnya.
Asumsinya, lanjut dia ibarat orang perempuan yang memberi kehidupan kepada umat manusia.
Lusiana menuturkan, bahan cetakan ternyata dibuat oleh para ibu, bahkan saat tradisi memberi makan papeda pada bayi, sehingga menurutnya perlu dicari àdakah hukum adat terkait kesatuan filosofi dalam hal pemanfaatan kearifan lokal tersebut.
Purnawan Basundoro menganggap film ini luar biasa, karena risetnya dilakukan orang-orang di luar Maluku.
“Pengungkapan object pemajuan kebudayaan lewat sebuah produk visual seperti film yang bisa menembus zaman, sebuah langkah strategis yang bisa dinikmati generasi mendatang.
Purnawan menilai tidak banyak buku yang mengulas tentang sagu terkait histografi Maluku, selain rempah.
Dari film ini, kata dia, bahwa sagu merupakan produk kosmopolit, yang bahannya dari berbagai belahan dunia.
“Ubi kayu dari Amerika Latin yang hadir pada abad 15-16 lewat Portugis, dan masuk ke Jawa akhir abad 18, sementara forno, tungku pemanas berasal dari Eropa, sedangkan mengacu dari bahasanya berasal dari Tidore,”pungkasnya.
Ia juga melihat bahwa produksi Hula Keta di sana bukan monopoli, tapi sharing antar wilayah maupun gender.
Tetapi sebuah proses yang melibatkan banyak orang dan negara dalam aspek historis,.” tandasnya.
Dokter Subagjo Sp.BTKV, yang hadir pada acara tersebut mengatakan film ini menginsipirasi sagu sebagai karbo dengan kandungan yang tidak setinggi nasi.
Menurutnya, tidak berlebihan jika diadopsi di Jawa, karena terlihat mereka sudah berdikari, minimal dari Tidore sudah eksis, maka negara perlu orientasi ke Tidore, jika perlu menteri belajar ke sana,” ujarnya.
“Disana yang ada adalah gotong royong, tidak ada penguasaan hulu hilir, dan spirit juangnya luar biasa,”pungkasnya.
Sagu menjadi jawaban untuk pola makan sehat dengan catatan dilengkapi kebutuhan lainnya seperti protein dari ikan, maupun mineral dan vitamin dari buah dan sayuran di tempat tersebut. [mut.why]

Tags: