Finlandia dan Budaya Guru

Eko-Prasetyo-227x300Oleh :
Eko Prasetyo
Aktivis Ikatan Guru Indonesia, mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Unitomo Surabaya

Pemerintah melalui Mendikbud Anies Baswedan menyatakan serius meningkatkan kualitas guru sebagai kunci kemajuan pendidikan. Nah, selama ini yang menjadi sorotan adalah budaya guru yang dianggap belum mampu mengatasi persoalan kualitas dan pemerataan pendidikan di tanah air.
Ketika Indonesia terus berupaya meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan di daerah-daerah, barangkali Finlandia bisa dijadikan salah satu acuan. Sebab, sistem pendidikan Finlandia menempati deretan terbaik karena sekolah terpadu sembilan tahun (peruskoulu) untuk semua anak, kurikulum modern yang berfokus pada pembelajaran, perhatian sistematis kepada siswa-siswa berkebutuhan khusus yang beragam, serta otonomi lokal dan tanggung jawab bersama.
Finlandia diakui menjadi salah satu kiblat pendidikan terbaik di dunia. Model pendidikan di Finlandia memiliki keunggulan karena lebih menekankan pada kemampuan kreatif dan inovasi. Sebagaimana dijelaskan Haidar Bagir (2014:14), hal ini didasarkan pada model belajar yang berorientasi membangkitkan rasa ingin tahu dan “menyalakan” momen a-ha serta kemampuan belajar mandiri siswa.
Keunggulan lainnya, meski seperti di mana pun di seluruh dunia selalu ada kesenjangan penguasaan kekayaan, Finlandia dikenal sebagai negara yang bertengger di puncak daftar negara-negara dengan indeks kebahagiaan tertinggi. Warga Finlandia memang dicatat memberikan nilai penting pada faktor-faktor yang mendukung terciptanya lingkungan hidup yang kondusif bagi berkembangnya kebahagiaan: kesehatan, pendidikan, kualitas hidup, pemerataan ekonomi, dan sebagainya.
Budaya Guru
Pakar pendidikan Finlandia dan internasional Pasi Sahlberg menegaskan bahwa kunci maju atau tidaknya pendidikan terletak pada gurunya (2014:160). Pendidikan senantiasa menjadi bagian integral kultur dan masyarakat Finlandia. Meski akses ke pendidikan dasar enam tahun secara hukum baru menjadi hak dan kewajiban untuk semua pada 1922, masyarakat Finlandia sudah lebih dahulu memahami bahwa tanpa menjadi terpelajar dan memiliki pengetahuan umum yang luas akan sulit memenuhi aspirasi hidup mereka. Sebelum persekolahan publik yang formal mulai tersebar luas pada 1860-an, sejak abad ke-17 penyemaian literasi publik adalah tanggung jawab para pendeta dan kelompok keagamaan Finlandia.
Sekolah-sekolah katekis menawarkan pendidikan literasi awal berorientasi keagamaan di sekolah Minggu dan sekolah keliling di desa-desa terpencil di Finlandia. Sudah menjadi tradisi bahwa kemampuan membaca dan menulis kedua mempelai menjadi syarat pernikahan di gereja. Karena itu, menjadi terpelajar menandai masuknya seseorang ke pintu kedewasaan dengan segala hak dan kewajibannya.
Sejalan dengan mulai meluasnya sistem sekolah publik di Finlandia pada awal abad ke-20, guru juga mulai mengemban tanggung jawab ini. Terutama karena status sosial mereka yang tinggi, guru menikmati penghormatan tinggi dan juga kepercayaan tanpa tandingan. Sesungguhnya, orang-orang Finlandia tetap memandang guru sebagai profesi prestisius dan mulia -sejajar dengan dokter, pengacara, dan ekonom- lebih karena sebab-sebab moral daripada kepentingan dan imbalan materi atau karir.
Hingga 1960-an, tingkat pencapaian pendidikan di Finlandia masih terhidung rendah. Sebagai gambaran, ketika pada 1952 Finlandia menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas -untuk pertama dan terakhir kalinya- sembilan di antara sepuluh orang dewasa Finlandia hanya menyelesaikan 7-9 tahun pendidikan dasar. Gelar dari universitas dipandang sebagai pencapaian luar biasa di Finlandia ketika itu (Sahlberg, 2010a). dibandingkan dengan negara-negara lain, tingkat pendidikan Finlandia dekat dengan Malaysia atau Peru dan secara signifikan tertinggal dari negara-negara tetangganya -Denmark, Norwegia, dan Swedia.
Pada 1960-an, guru-guru SD masih dipersiapkan di seminar-seminar pendidikan guru selama 2 atau 3 tahun, bukan oleh lembaga akademik, melainkan oleh unit-unit yang menawarkan pelatihan singkat praktik mengajar. Salah seorang yang lulus seminar penyiapan guru pada akhir decade 1950-an adalah Martti Ahtisaari. Ia meniti karir dari guru SD, lalu menjadi diplomat internasional dan presiden Finlandia (1994-2000) sampai menjadi pemenang Hadiah Nobel untuk perdamaian dan juru damai global terpuji.
Sekarang, ketika merayakan pencapaian pendidikannya, Finlandia secara terbuka mengakui betapa berharganya guru-gurunya dan secara implisit mempercayai wawasan dan penilaian mereka tentang persekolahan. Secara gambling, tanpa guru-guru hebat dan sistem pendidikan guru yang modern, tidaklah mungkin Finlandia mencapai reputasi pendidikan internasional seperti sekarang ini.
Sistem pendidikan Finlandia secara khas berbeda dengan pendidikan public di Amerika Serikat, Kanada, ataupun Inggris. Sejumlah perbedaan erat terkait dengan kinerja guru. Contohnya, pendidikan Finlandia tidak mengenal pengawasan sekolah yang ketat. Tidak ada pula ujian terstandar eksternal bagi siswa untuk memberi tahu public tentang kinerja sekolah atau efektivitas guru. Guru memiliki otonomi professional untuk membuat kurikulum dan rencana kerja sendiri berbasis sekolah. Semua pendidikan di Finlandia dibiayai publik dan tidak ada penarikan biaya di sekolah atau universitas.
Guru sebagai profesi terkait erat dengan pemeliharaan kultur nasional Finlandia dan pembangunan masyarakat yang terbuka dan multikultural. Sesungguhnya, salah satu tujuan persekolahan formal adalah mewariskan pustaka, nilai-nilai, dan aspirasi kultural dari satu generasi ke generasi berikutnya. Guru, menurut pendapat mereka sendiri dalam Sahlberg (2014:163), adalah pemain kunci dalam membangun masyarakat berkesejahteraan Finlandia. Yang terutama, budaya literasi adalah tulang punggung kultur Finlandia sehingga menjadikan negara ini salah satu yang pendidikannya terbaik di dunia.
Sementara itu, saat ini dunia pendidikan di Indonesia tengah hangat dalam isu faktual tentang kebijakan hijrah dari kurikulum 2013 ke kurikulum 2006 serta pro-kontra e-sabak (e-book) untuk para pelajar. Belum lagi masalah evaluasi ujian nasional. Kita semua tentu sadar dan sepakat bahwa kunci keberhasilan pendidikan terletak pada guru. Sebagaimana kisah inspiratif pendidikan di Finlandia, kita tak perlu sungkan untuk mengadopsi pola pengembangan budaya guru untuk mengangkat kualitas pendidikan di tanah air. Belum terlambat.

                                         ——————- *** ——————

Rate this article!
Finlandia dan Budaya Guru,5 / 5 ( 1votes )
Tags: