First Travel dan Pesan Kesederhanaan

Habibi Bk
Dosen Universitas Wiraraja Sumenep, Kandidat Doktor Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

Kasus First Travel yang menyalahgunakan uang para jemaah umrohnya hingga ratusan milyar sedang menyedot perhatian masyarakat saat ini. Gaya hidup serba gemerlap Anniesa Hasibuan, sang bos yang sekaligus seorang desainer, bersama suaminya diekspos habis-habisan. Komentar-komentar seakan tak percaya bermunculan. Kini, yang terlihat adalah gambar sang ratu yang lusuh dengan seragam tahanan.
Sebenarnya kita tak perlu kaget dengan kasus semacam ini. Semua kasus korupsi yang melibatkan para pejabat negara atau pengusaha, jika ditelusuri dengan seksama, motifnya tak jauh dari para bos First Travel tersebut. Dimana gaya hidup dan uang menjadi orientasi utama hidup. Kepekaan sosial, terutama pada orang-orang kurang beruntung di sekitar pun hilang. Bahkan, kalau perlu, tak jadi masalah mengorbankan orang-orang itu demi keuntungan pribadi. Hidup cuma sekali, mengapa tak menikmatinya sebisa mungkin?
Tak perlu jauh-jauh membahas para koruptor atau bos First Travel. Mari kita lihat bagaimana kondisi kita sendiri, yang sepertinya masih sering terlibat korupsi kecil pada masing-masing profesi. Entah korupsi waktu, energi (bermalas-malasan) atau juga keuangan walaupun tak terlihat karena kecilnya. Kita pun masih heboh dan iri pada gaya hidup mewah dan kesenangan orang-orang di sekitar. Kesuksesan diukur dari kemapanan dan kemelimpahan materi. Sedangkan orang-orang sederhana kita pandang buruk tanpa simpati. Bukankah masih sering seperti itu?
Abad milenium ini ditandai oleh perang informasi (meminjam istilah Alvin Toffler information war). Yaitu perang di antara perusahaan raksasa melalui berbagai media untuk menghisap perhatian dan pikiran kita. Yang parah merasakan dampaknya adalah anak-anak. Setiap hari, sejak bangun tidur, kita dibombardir oleh iklan-iklan hingga tanpa disadari otak kita penuh oleh produk-produk tersebut. Gaya hidup pun mengikutinya, dan sungguh sial karena barang-barang saat ini cepat sekali usang. Perusahaan di jaman ini begitu inovatif, model-model baru sangat cepat diproduksi. Alhasil, otak kita, perasaan kita dan hidup kita sebagian besar diisi gairah mengejar tren.
Tertangkapnya para koruptor, tersingkapnya aib buruk bos First Travel, sebenarnya dapat menjadi pelajaran nyata bagi kita semua. Bukan hanya untuk diperbincangkan atau dicibir. Tapi untuk menjadi cermin, tentang apa yang akan kita alami kelak ketika hidup hanya diorientasikan pada materi. Apalagi jika anda adalah seorang pendidik, baik itu di rumah ataupun di sekolah.
Sebenarnya mengapa kita memiliki kecenderungan untuk ikut tren atau berperilaku konsumtif? Karl Albrecht dalam www.psikologytoday.com menjelaskan bahwa sumbernya adalah kondisi emosional manusia untuk tidak mau kalah dari orang lain. Menurutnya, orang-orang seperti itu adalah mereka yang tidak memiliki kepercayaan terhadap apa yang ada pada diri sendiri (self esteem). Ketika tetangga membeli mobil, kita menjadi terdorong untuk juga berusaha membelinya. Sedangkan orang yang memiliki kepercayaan pada diri sendiri tetap tenang, tidak merasa rendah diri walaupun hanya menggunakan sepeda motor. Ia melihat bahwa nilai utama seorang manusia adalah pada kemampuannya, pikirannya, akhlaknya dan diri itu sendiri. Bukan pada benda-benda yang dimiliki. Karakter itulah yang melandasi kesederhanaan.
Kesederhanaan hidup dapat diajarkan sedini mungkin, bukan hanya untuk menjauhkan anak-anak dari kebiasaan konsumtif, hedonis atau pengaruh buruk teman-temannya seperti merokok dan narkoba. Lebih dari itu, adalah agar mereka menghargai diri sendiri dan dapat terus berkembang. Mereka juga akan lebih dapat menghargai orang lain secara manusiawi, memiliki kepekaan sosial, karakter yang kita ketahui merupakan sifat dasar pemimpin yang baik.
Hidup sederhana tidak dapat diajarkan melalui mata pelajaran khusus. Sifat itu dapat ditanamkan melalui interaksi sosial sehari-hari, baik di rumah dengan orang tua maupun di sekolah dengan para guru dan teman-teman mereka. Orang tua dan guru sebaiknya mencontohkan bagaimana menjadi pribadi yang sederhana. Tokoh-tokoh nasional yang penuh kesederhanaan namun mengagumkan dapat dikenalkan secara intensif, baik mengenai sejarah hidup maupun pemikiran-pemikiran mereka. Hindarkan anak-anak dari berbagai tontonan yang mengunggulkan budaya hedonis dan materialistis.
Kesederhanaan juga meliputi kemampuan untuk mengatur keuangan yang rasional dan sesuai dengan kebutuhan. Perilaku boros adalah dasar dari banyak perilaku buruk lainnya, termasuk korupsi. Benih-benih hemat atau boros mulai muncul pada diri anak terutama ketika mulai sekolah, dimana mereka sudah memiliki uang saku. Mengajari mereka pengaturan uang saku mungkin terlihat remeh, namun bisa berdampak besar di masa depan. Salah satu program internasional yang berfokus untuk mengajarkan kemampuan manajemen finansial pada anak-anak adalah AFLATOUN, yang di-launching di Amsterdam. Program ini masuk ke Indonesia mulai tahun 2010. Namun perlu disadari, bahwa program terbaik tetap berada di rumah, di bawah bimbingan orang tua.
Buya Hamka, ulama ahli tafsir, sastrawan dan sekaligus tokoh pergerakan nasional dalam bukunya Tasawuf Modern mengatakan,
“Kekayaan majazi, menurut kebiasaan aturan hidup di zaman sekarang ini ialah menumpahkan cinta kepada harta-benda semata-mata, yang menyebabkan buta dari pertimbangan sehingga hilang cinta kepada yang lain, kepada bangsa dan tanah air, agama, bahkan Tuhan sudah tidak dipercaya lagi. Hilang cinta kepada segala yang patut dicintai, bahkan kadang-kadang diri sendiri sudah lupa mencintainya.”
Ringkasnya, hidup sederhana akan membawa kita pada kemuliaan diri sebagai manusia. Mari ajari anak-anak kita sifat mulia tersebut. Dimulai dari diri sendiri.

                                                                                                       ————- *** ————-

Rate this article!
Tags: