Fluktuasi Harga BBM Sulitkan Warga Jatim

BBMSurabaya, Bhirawa
Sejak dihapuskannya subsidi Bahan Bakar Minyak terutama jenis Premium yang memiliki kandungan Oktan 88, dinilai oleh kalangan pengamat ekonomi sebagai langkah yang keliru. Karena penjualan Premium yang mengikuti harga pasar minyak dunia hanya dapat dilakukan kepada negara maju, bukan negara berkembang. Kondisi ini tentunya juga menyulitkan masyarakat.
Drs.Wiyono Pontjo Haryo, M.M., Ak, dosen senior di Ubaya ini mengutarakan, harga BBM yang diserahkan ke pasar dan akan menaikkan lagi setiap dua minggu merupakan kebijakan yang kurang tepat. Pada dasarnya rakyatlah yang menjadi korban dari perubahan harga BBM tersebut.
“ Rakyat kecil yang semakin menderita apabila kenaikan BBM melebihi dari harga tertinggi yang pernah di keluarkan pemerintah yakni diatas Rp.8500 per liternya. Dengan harga Rp.8500 pada Bulan Januari lalu saja sudah cukup membuat kalangan industri kelabakan dan rakyat kecil juga mengeluhkan tentang kenaikan harga BBM yang semakin tidak jelas juntrungnya,” ujarnya Senin (12/4) kemarin.
Pontjo sapaan akrabnya menambahkan menteri perekonomian di kabinet Jokowi ini terlalu mengikuti pedoman yang disampaikan bank dunia. Pada hal aturan tersebut bukan diperuntukkan kepada negara berkembang seperti Indonesia, tetapi lebih condong kepada negara maju yang memiliki perekonomian yang lebih kuat dan masyarakatnya dapat mengikuti perubahan harga minyak dunia.
“ Ada dari masyarakat Indonesia yang memili penghasilan dibawah Rp.1.5 juta per bulan. Jika dibebankan kenaikan harga BBM melebihi Rp.7 ribu saja itu sudah cukup menganggu. Karena defisit pendapatan masyarakat yang bergaji dibawah Rp.1.5 juta akan sangat berpengaruh. Artinya setiap hari pembelian BBM jenis Premium dalam sehari mencapai Rp.10 ribu dikalikan 26 hari maka Rp.260 ribu. Seharusnya konsumsi BBM mereka harusnya dibawah Rp.7 ribu, semisal Rp.6.600 per liternya. Artinya mereka membeli BBM dapat lebih banyak dengan kilometer yang jauh lebih panjang,” terangnya.
Ia menyarankan harus ada pendekatan ekonomi yang mesti bersifat pendekatan struktural. Artinya setiap menteri yang akan membuat kebijakan harus memperhatikan kondisi ekonomi Indonesia secara makro dan mikro, setelah itu kebijakan dapat diambil. Setiap menteri di kabinet Pak Jokowi harus mampu memahami esensi dari UUD 45.
“ Kalau ekonominya liberal obatnya pasti sama di seluruh dunia. Obatnya yakni menyerahkan kepada mekanisme pasar. Tapi Indonesia sangat berebeda, karena ekonomi kita menganut ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD. Dengan keadaan yang seperti ini, pengusaha dan rakyat semakin kesusahan,” katanya.
Meskipun dengan penurunan harga minyak dunia terdapat keuntungan yakni mengurangi tekanan terhadap neraca perdagangan maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “ Dengan turunnya harga minyak dunia subsidi berkurang drastis dari Rp 276 triliun pada 2014 menjadi Rp 88 triliun dalam APBN-Perubahan 2015. Pemerintah pun bisa menambah anggaran pembangunan infrastruktur naik sampai Rp 100 triliun,” ungkapnya.
Ketika harga minyak dunia naik, seharusnya pemerintah kembali memberikan bantuan kepada masyarakat berupa subsidi yang tepat sasaran. Sehingga masyarakat dan pengusaha tidak merasa diombang-ambingkan. [wil]

Tags: