Formalisme Hukum dan Gagalnya Hukum Negara dalam Konflik Agraria

Ringkasan Disertasi (telah diujikan pada 9 Agustus 2021)

Oleh : Umar Sholahudin
Doktor Sosiologi FISIP Univ Airlangga Surabaya, menulis Disertasi tentang Konflik Agraria dalam Perspektif Sosiologi Hukum

Pertentangan dan perebutan kepentingan di antara para pihak (negara, korporasi, dan masyarakat lokal) dalam konflik agraria berlangsung sangat kompleks. Selain terkait dengan masalah sosial, politik, dan ekonomi, juga masalah hukum. Ada konflik hukum dalam persoalan konflik agraria, yakni antara hukum negara dan hukum rakyat. Realitas ini yang terjadi di konflik agraria tanah Bongkoran Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi. Di satu sisi, negara (pemerintah) dan perangkat lainnya menggunakan ketentuan-ketentuan hukum yang dituangkan dalam undang-undang (hukum negara) yang dianggap benar dan legitimate. Di sisi lain, masyarakat Bongkoran sudah bertahun-tahun hidup dan mendiami tanahnya, berbasis pada hukum rakyat untuk memperoleh hak penguasaan dan kepemilikan atas tanahnya.

Dalam konflik agraria tanah Bongkoran, negara/pemerintah dan aparatus di bawahnya menganggap dirinya adalah lembaga resmi yang berwenang untuk menentukan sesuatu itu legal atau tidak legal, benar atau salah dengan berdasarkan pada peraturan perundangan-undangan. Aspek legalitas dan formalitas hukum lebih mengedepan daripada legitimasi sosial dan etis. Secara teoritis, dalam bukunya Etika Politik, dengan mengutip Miriam Budiardjo, Frans Magnis Suseno (2016:70-72) menjelaskan sebuah kewenangan atau kekuasaan tindakan negara dapat disebut absah jika mengandung tiga aspek yang bersifat integratif, pertama, legitimasi sosiologis. Legitimasi ini terkait dengan pengakuan dan penerimaan masyarakat atas kewenangan yang dijalankan negara/pemerintah.

Kewenangan yang dijalankan secara wajar dan patut dihormati. Jika suatu kewenangan yang dijalankan pemerintah/penguasa mendapat resistensi dari masyarakat karena berlawanan dengan kepentingan masyarakat, maka kewenangan dan produk yang dihasilkan (baca; hukum) dianggap lemah. Kedua, legalitas sebuah aturan hukum, tidak saja legitimate secara sosiologis, tetapi juga legitimate secara legal. Suatu tindakan negara/pemerintah dianggap legal jika sesuai dengan hukum yang berlaku. Ketiga, legitimasi etis, bahwa tindakan hukum yang dilakukan negara/pemerintah tidak akan bermakna jika tidak mengandung nilai etis atau nilai-nilai moral. Artinya, setiap tindakan negara harus mengandung aspek moralitas dan kemanusiaan. Nilai-nilai etis dan moralitas ini merupakan unsur terpenting dalam penggunaan kekuasaan dan hukum yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Formalisme Hukum Selektif

Dalam menghadapi dan menangani konflik agraria tanah Bongkoran, pemerintah daerah menggunakan paradigma formalisme hukum, di mana hukum harus dipandang dari aspek formalnya daripada materialnya. Hukum yang dianggap absah dan resmi, dan karenanya harus dipatuhi masyarakat adalah hukum negara. Bagi pemerintah, kebasahan dan legalitas atas hak penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan tanah diukur dengan menggunakan kaca mata hukum negara yang resmi dan tertulis. Karena itu, hanya bukti-bukti tertulis yang formal yang diakui negara yang dianggap absah dan benar. Namun demikian, formalisme hukum ini digunakan pemerintah/negara dilakukan secara selektif, dimana pengunaan dan dominasi formalisme hukum ini lebih berorientasi pada kepentingan negara dan korporasi, dan praktek birokratisasi politik yang ramah bagi pemilik modal. Karena itu, wajar, tindakan sentralisme dan formalisme hukum ini mengesampingkan hak tradisional masyarakat Bongkoran yang sudah bertahun-tahun mendiami, dan menguasai, dan memanfaatkan tanah Bongkoran. Petani dan masyarakat kampung Bongkoran sebenarnya memiliki dokumen dan bukti-bukti sosio-historis terkait atas hak penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan tanah Bongkoran. Petani dan warga kampung Bongkoran memiliki dasar yuridis-sosiologis dan historis yang sudah berlangsung secara komunal dan turun-temurun, dna diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya, yang dapat dijadikan sebagai dasar keabsahan kepemiikan dan pemanfaatan tanah, tetapi semua itu tidak negara.

Sentralisme dan formalisme hukum semakin mengukuhkan dominasi negara/pemerintah dalam melakukan tindakan hukum dan marginalisasi terhadap kehidupan petani dan masyarakat kampung Bongkoran. Bagi negara/pemerintah seolah-olah hanya satu hukum yang berlaku di bidang agraria, yaitu hukum positif yang bersifat nasional. Di luar hukum negara yang resmi, bukan hukum dan karenanya tidak absah dan legitimate. Dalam secara historis dan faktual, masyarakat lokal, termasuk warga kampung Bangkoran sudah terbiasa dengan aturan tata kelola sumber-sumber agraria, sebelum kehadiran negara. Pemerintah tidak mengakui kenyataan sosio-historis masyarakat kampung Bongkoran atas penguasaan dan pemanfaatan tanah Bongkoran tersebut. Hukum rakyat ini sudah menjadi bagian inheren, tertib sosal, dan fungsional bagi masyarakat Bongkoran dalam pengalolaan tanah. Petani dan masyarakat Bongkoran sudah menikmati dan merasakan apa yang mereka lakukan dengan tanahnya untuk kehidupannya. Kehadiran PT. Wongsorejo yang difasilitasi dan diproteksi dengan hukum negara, yang mengakibatkan konflik. Intervensi hukum negara dalam konflik agraria tanah Bongkoran – tidak otomatis merupakan hukum yang sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat, bahkan sering kali merupakan produk yang dirasa asing oleh masyarakat.

Gagalnya Hukum Negara

Dalam praktiknya, pendekatan formalisme hukum dinilai gagal dalam menyelesaikan konflik agraria di berbagai daerah, termasuk dalam konflik agraria di tanah Bongkoran. Menurut Haryatmoko (2015), keprihatinan utama dari formalisme hukum adalah hukum yang dianggap absah dan benar adalah yang tertulis, tetapi secara substansial kurang mengenali jiwa/substansi hukum. Akibatnya, faham formalisme hukum menjadikan hukum menjadi sistem yang eksklusif dan represif. Menafsirkan hanya menggunakan logika hukum formal/negara, tanpa memperhatikan aspek non-hukum, seperti sosial, ekonomi, budaya dan politik. Karena itu, menghamba dan mengikuti aturan demi aturan (formalisme hukum), akan mengabaikan rasa keadilan dalam menilai kasus khusus. Padahal menilai pada kasus-kasus khusus akan dapat ditemukan hal yang substansial yang dapat mengantarkan pada pengembangan proses yang adil.

Hukum yang berkeadilan yang lebih substansial, bukanlah hukum yang beroperasi dalam pasal-pasal yang kaku (rigid), dan eksklusif, tetapi hukum yang bergerak dan beroperasi dalam dinamikanya yang aktual dan faktual dalam sebuah jaringan sosial-kemasyarakatan. Dari penjelasan ini, memberi pesan bahwa penggunaan hukum negara dalam penyelesaian konflik agraria senantiasa perlu memperhatikan dan menggali hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat lokal. Pendekatan hukum yang berbasis pada aspek sosio-kultural masyarakat jauh lebih memberikan solusi yang berkeadilan dalam memecahkan persoalan konflik agraria yang terjadi dalam masyarakat.

——— *** ———-

Tags: