Fragmen Masa Lalu

foto ilustrasi

Oleh:
Tyas W

Nyaris gila! Seorang lelaki bercengkerama dengan kecoa dan ikan di akuarium kecilnya yang berlumut. Matanya melotot tegang hingga membuat kedua binatang diam tak berani berarak. Ya, lelaki tambun itu biasa berbicara dengan kecoa yang sebulan lalu resmi menjadi kawannya. Sesekali wajahnya masam dihadapan ikan hias itu, lalu menumpahkan segala kesedihan yang bergelayut di dadanya.

Kebiasaannya itu memang tidak wajar dilakukan oleh lelaki terpelajar. Itu adalah ungkapan keputusasaan atas hidupnya sejak wabah virus pertama kali muncul di kota yang kini disinggahinya untuk menuntut ilmu.

Kini dia yakin, beras yang setahun silam disiapkan oleh ibunya dalam selamatan matta sebelum keberangkatannya kuliah di Wuhan telah berubah warna menjadi lebih keruh. Begitulah tradisi Madura. Ritual menyuguhkan benda mentahan di atas nampan seperti beras, cabai, lampu teplok, kelapa dan air putih sebelum melepas kepergian seseorang. Jika benda itu menjadi kelam berarti sinyal bahwa ia yang dirantau tengah mengalami musibah.

Berkali-kali ponselnya tak henti dari deringan telepon. Mulai dari kampus, teman-temannya hingga KBRI. Kadang benda elektronik itu tak cukup memuaskan dirinya untuk berinteraksi karena ibunya tidak bisa dihubungi. Alih-alih kabar dari Sareh-teman masa kecilnya, ibu lelaki itu sedang dirawat di rumah sakit. Betapa tidak ia semakin cemas.

Sejak akses Wuhan ditutup untuk mengendalikan penyebaran virus, kota itu bak kota mati. Semua orang dihimbau berada di rumah masing-masing. Pusat pembelanjaan tutup. Kantor dan kampus juga diliburkan. Sepi senyap.

Lelaki itu menyesali wabah yang terjadi. Bahkan ia mempermasalahkan seandainya dulu ia memilih pulang ke kampung halaman daripada menerima beasiswa magister Pendidikan Bahasa Mandarin di Negeri Tirai Bambu. Namun, ibunya menaruh harapan besar agar anak satu-satunya yang dibesarkan di pesisir Pulau Kangean itu menjadi orang yang sukses.

Lelaki muda itu akhirnya rela menyeberangi lautan selama 10 jam dengan kapal kayu milik nelayan yang berlayar ke daratan Jawa. Jangan tanya soal resikonya. Pastilah mempertaruhkan nyawa. Ia harus siap terombang-ambing bersama ombak, menerima laju angin malam yang semakin kencang serta tidur beralas box berisi ikan dan beratapkan bintang-bintang. Hanya saja tidak ada pilihan lain. Semua dilakukannya demi menuntut ilmu dan membahagiakan ibunya.

***

“Perbanyaklah doa di atas kapal, jangan duduk terlalu menepi. Jangan lupa berhati-hati di negeri orang, jaga nama baik keluarga. Ingatlah kehilangan nyawa lebih mulia daripada harus merendahkan harga diri!” pesan ibu kepadanya di tepi dermaga.

“Dek remah [Bagaimana dengan], Emak?” tanyanya ragu.

“Je’ kebeter [Jangan khawatir], Emak akan baik-baik saja.”

Perasaan lelaki itu terguncang, ia akan meninggalkan ibunya seorang diri dalam waktu yang cukup lama. Sekitar dua tahun. Sementara, ibunya masih bertahan di kontrakan nelayan. Menjual ikan-ikan dari pengepul ke pasar. Terkadang ada Mak Sri-kakak kandung emak yang selalu membantu. Namun, kondisinya juga serba repot. Mak Sri punya keluarga sendiri.

Tidak tergambarkan perasaan ibunya yang sedih, cemas bercampur bangga. Bahkan meski kapal telah berlayar 20 menit dan jarak pandang lelaki itu mulai mengecil, ibunya tetap berdiri di posisi yang sama. Sosok ibunyalah yang memberi semangat tersendiri. Bahwa ia akan berjuang untuk memperbaiki kehidupannya.

Akan tetapi keadaan berubah. Wabah virus datang membuat kekhawatiran. Semangatnya jadi melemah. Lelaki itu ingin segera meninggalkan Wuhan dan menemui ibunya. Yang ia pikirkan hanya satu. Bayang-bayang kematian datang menyergap sebelum bertemu dengan ibunya. Begitu pula terbayang penderitaan ibunya yang bertambah karena terdampak wabah.

Ia tahu resiko pedagang pasar. Banyak dari mereka yang terpaksa tetap berjualan untuk menyambung hidup. Padahal mereka rentan tertular virus. Apa boleh buat. Sareh bilang, ia waktunya membayar kontrakan, sudah nunggak 3 bulan. SPP adiknya juga sudah nunggak 5 bulan. Kalau tidak segera dibayar bisa-bisa mereka diusir. Dan jika SPP adiknya belum lunas, Ipeh tidak bisa mengikuti ujian akhir.

“Cong [sebutan Madura untuk laki-laki], bapak akan dibawa petugas kesehatan, lalu siapa yang akan mencari ikan? Aku sama Ipeh makan apa?” cerca Sareh-gadis yang selalu memberi kabar perihal kondisi ibunya di kampung halaman dalam sebuah perbincangan di ponsel.

“Demi kesehatannya, Sar, biarkan bapakmu diperiksa, kalau terpaksa dirawat, bantulah emakku berjualan agar kamu dapat upah,” jawabnya setengah optimis. “Kamu doakan agar KBRI segera mengurus kepulanganku, aku akan membantumu,” tandasnya.

Perbincangan dengan Sareh sedikit banyak membuat lelaki itu panik. Kondisi Sareh bisa saja menimpa ibunya. Pasar ditutup, pedagang yang membangkang tetap berjualan akan diperiksa petugas kesehatan. Bagaimana lagi? Penutupan pasar membuat perekonomian tak lancar, ibunya tidak akan bisa membayar uang kontrakan. Sareh juga mengatakan, telah ada tetangganya yang terpaksa pindah dan harus tinggal di hutan bambu karena tagihan kontrakan naik. Sementara mencari pekerjaan juga susah. Rumah hutan bambu adalah sebutan rumah kayu yang dibuat seadanya di tengah hutan. Mirip rumah kardus di bantaran kota besar.

Berkali-kali ia menelepon Sareh untuk memastikan kondisi ibunya.

“Bagaimana kabar emak, Sar? Aku sedang menunggu penjemputan WNI untuk pulang ke Indonesia. Mungkin esok akan tiba di Pulau Natuna untuk dikarantina selama 14 hari,” tuturnya.

“Buruk, Cong. Aku kelimpungan mencari bapak. Dia positif wabah. Petugas rumah sakit dan aparat sedang mencarinya karena kabur lewat jendela. Kabar terbaru dari petugas, seorang emak-emak yang juga minggat dari perawatan sehari sebelumnya ketemu di dukun seberang. Jangan sampai itu emak kamu, sebab dia juga dirawat di rumah sakit karena batuk.”

Mendengar kabar itu, tubuhnya seakan lemah tak bertulang. Yang ia khawatirkan hanya keselamatan ibunya. Ia tidak menyangka ibunya dirawat. Pasalnya, wabah virus sangat berbahaya. Ia menyaksikan sendiri, orang-orang tergeletak begitu saja di jalanan Wuhan. Mereka mati. Rasanya mengerikan. Semua rumah sakit penuh. Mayat-mayat hanya dibungkus plastik lalu dikubur menjadi satu. Tanpa upacara, tanpa penghormatan. Mungkin itu yang membuat pasien menjadi ketakutan.

Lelaki berlesung pipi itu ingin segera tiba di tanah air. Bis dari KBRI telah mengantarnya ke bandara. Dengan perasaan membuncah ia segera bertemu ibunya. Melupakan mimpi buruk dan menyambut ramadhan bersama. Rasanya sudah tidak sabar menikmati hidangan berbuka dengan peccek-peccek [olahan ikan] buatan ibunya.

Namun, kegelapan yang pekat dan sesak semakin membuat urat-uratnya menegang. Pemandangan kematian mendadak semakin menghunjam. Kepalanya yang berdenyut dan ingin meledak seketika itu tertahan tidak berdaya. Lelaki muda itu hanya bisa terisak gemetaran. Gemuruh di dadanya terasa lebih kencang. Mahasiswa peraih beasiswa itu rupanya harus menerima kenyataan pahit tinggal lebih lama di kota asal wabah lantaran tidak lolos pemeriksaan kesehatan saat akan dipulangkan ke tanah air.

“Wo zhi kesou [Saya hanya batuk]!” katanya penuh emosi.

“Nin yinggai jinyibu jianca [harus diperiksa lebih lanjut]!” tegas petugas bandara sambil menghadang masuk pintu keberangkatan.

***

Wuhan benar-benar sepi. Sebagian besar mahasiswa Indonesia telah tiba di Pulau Natuna. Hanya tersisa ia dan dua orang lainnya yang terpisah jarak. Ramadhan kali ini ia lalui sendiri. Tidak ada tarawih, tadarus dan buka puasa bersama teman-teman seperti tahun sebelumnya.
Yang ia lakukan hanya berdiam diri di sebuah kamar asrama yang entah sampai kapan. Tak ayal ia mengalami goncangan jiwa. Bercengkerama dengan kecoa dan ikan di akuarium kecilnya yang berlumut. Lalu menumpahkan kesedihan yang bergelayut di dadanya.
Terkadang secercah semangat bangkit jika mengingat pesan emak bahwa kehilangan nyawa lebih mulia daripada harus merendahkan harga diri, tapi keadaan itu cepat berlalu pergi. Selalu naik dan turun bagai tarikan pegas. Apakah ia dapat bertahan? Tuhan Yang Maha Tahu, lelaki itu hanya diminta menunggu.[]

Tentang penulis:
Tyas W
Alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Pegiat FLP (Forum Lingkar Pena) Sidoarjo. Penulis dapat dihubungi melalui surel tyaswulan1606@gmail.com atau ig: tyaswulan16.

——— *** ———

Rate this article!
Fragmen Masa Lalu,5 / 5 ( 1votes )
Tags: