Gafatar dan Ideologi Kebangsaan

Syaprin ZahidiOleh :
M. Syaprin Zahidi, MA
Dosen Pada Prodi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang dan Peneliti di Maycomm

Dalam beberapa pekan ini kita dikejutkan dengan pemberitaan mengenai hilangnya beberapa orang di beberapa daerah. Terakhir berita yang cukup sering diliput oleh media adalah hilangnya secara misterius Dr. Rica Tri Handayani sejak 30 Desember 2015 walaupun akhirnya Ia ditemukan oleh tim Polda DIY di kawasan Bandara Iskandar, Pasir Panjang, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah pada hari Senin (11/1/2016). Selain Dr. Rica ada beberapa orang yang juga dilaporkan hilang diantaranya adalah di Boyolali Jawa Tengah seorang Ibu bernama Sukinah melaporkan kehilangan tiga anaknya yaitu Eko Purnomo, Bentar Setiarto dan Krisma Fitri Arta.
Hilangnya Dr. Rica dan beberapa orang tersebut dikaitkan dengan bergabungnya mereka semua dengan Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara). Ini menjadi menarik bagi penulis untuk mengamati alasan apa sebenarnya yang mendasari mereka semua untuk bergabung dengan gerakan Gafatar tersebut. Jika penulis kaitkan dengan statement dari Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anton Charliyan yang menyebutkan bahwa Gafatar menggunakan asas kasih sayang dan antikekerasan serta menawarkan keringanan dalam beragama misalkan bagi anggota Gafatar yang beragama islam tidak wajib shalat, puasa dan Ibadah haji memang menjadi daya tarik tersendiri dari gerakan ini. Namun, sebenarnya yang menjadi faktor utama penyebab mereka bergabung menurut penulis adalah kekecewaan mereka pada negara ini yang menurut mereka tidak mampu memenuhi hajat hidup masyarakatnya dan sistem pengelolaan negara yang menurut mereka tidak benar. Hal yang paling mengkhawatirkan dari gerakan-gerakan dengan model seperti ini adalah upaya mereka nantinya untuk membuat negara didalam negara karena mereka memiliki peraturan-peraturan sendiri bagi para anggotanya atau malah yang lebih ekstrem lagi ketika nantinya mereka berupaya untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menurut penulis pemerintah sudah harus waspada dengan gerakan-gerakan semacam ini karena sangat berbahaya bagi kesatuan negara ini. Dengan memunculkan ideologi-ideologi baru mereka mengalienasi ideologi kebangsaan negara kita yang termaktub dalam pancasila. Kewaspadaan tingkat tinggi pemerintah menjadi penting karena belajar dari kasus Gafatar ini walaupun sudah dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah sejak 20 November 2012 namun mereka tetap merekrut anggota secara diam-diam dan mereka menyasar kalangan profesional dan pegawai negeri sipil sebagai anggota.
Tentunya pemerintah harus sadar dengan sejarah Republik ini yang diawal pembentukannya memang banyak menghadapi gerkan-gekan sejenis Gafatar namun pelan-pelan memang bisa ditangani dengan baik. Tentunya kita ingat dengan gerakan NII SM. Karto Suwiryo yang ingin membentuk negara islam indonesia atau dengan gerakan-gerakan sejenis lainnya seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), Fretilin (Timor-timur) serta Republik Maluku Selatan (RMS). Benang merah dari semua gerakan yang penulis sebut itu hanya satu yaitu kekecewaan kepada pemerintah pusat yang tidak pernah memperhatikan nasib mereka dan menurut mereka tidak dapat mengelola Republik ini dengan baik.
Lalu bagaimana cara menangkal gerakan-gerakan ini?. Penulis berpendapat ada beberapa cara yang relevan dalam menangkal gerakan ini. Pertama, menanamkan ideologi kebangsaan kepada masyarakat yang bisa dilakukan melalui pendidikan sejak dini. Terobosan kurikulum bela negara yang diterapkan disekolah-sekolah menurut penulis menjadi salah satu cara untuk memupuk ideologi kebangsaan bagi generasi muda Indonesia agar nantinya tidak terseret pada gerakan-gerakan yang kontradiktif dengan cita-cita republik ini. Peranan dari stakeholder dalam hal ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) juga penting untuk menanamkan ideologi kebangsaan ini sebagaimana diungkapkan oleh ketua MPR Zulkifli Hasan yang mengatakan pentingnya penguatan ideologi pancasila untuk menangkal gerakan yang mengancam tatanan berbangsa dan bernegara yang merupakan tugas dari MPR. Disisi lain Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu juga mengatakan program bela negara yang mencakup pendidikan kebangsaan berbasis pancasila mampu untuk menangkal gerakan seperti Gafatar.
Kedua, peranan dari tokoh agama dan juga tokoh masyarakat untuk lebih memberikan pemahaman kepada masyarakat agar jangan sampai terperangkap pada gerakan-gerakan sejenis Gafatar ini. Sebagaimana diungkapkan oleh sekretaris umum pimpinan pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti yang menyatakan bahwa gerakan Gafatar ini menjadi introspeksi bagi ormas keagamaan agar lebih fokus lagi memberikan pemahaman kepada masyarakat dan juga memberikan solusi terhadap berbagai problem kehidupan masyarakat agar tidak terjebak dengan gerakan-gerakan yang memiliki pemahaman yang bisa dikatakan sesat ini. Sesatnya Gafatar ini disinyalir oleh Majelis Ulama Indonesia karena Gafatar ini diduga sebagai metamorphosis dari Al Qiyadah Al Islamiyah dimana pimpinannya Ahmad Moshadeq pernah di vonis 4 tahun penjara pada kasus penistaan agama pada tahun 2008. Alasannya karena Moshadeq mengaku sebagai nabi terakhir setelah Nabi Muhammad SAW.
Ketiga dan ini yang paling penting menurut penulis adalah persuasi dari pemerintah untuk menjaga agar tidak terjadi disintegrasi bangsa ini yang dapat dilakukan dengan memprioritaskan kebijakan pemerintah pada pemenuhan hajat hidup masyarakat yang berkaitan dengan sandang, pangan dan papan. Disisi lain pemerintah juga harus sensitif dengan pembangunan wilayah-wilayah terluar dari Indonesia karena kepulauan Indonesia ini berjajar dari sabang sampai merauke maka pembangunannyapun harus menyeluruh dan menyentuh wilayah-wilayah terluar agar jangan sampai masyarakat-masyarakat di propinsi-propinsi seperti Kalimantan, Ambon ataupun Papua tidak merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat.
Oleh karena itulah Hal-hal simpel yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi seperti memperingati Natal di Kupang serta menyambut tahun baru di Raja Ampat Papua menjadi suatu langkah awal untuk perlahan-lahan mengalienasi gerakan-gerakan seperti Gafatar dan ini menjadi simbol bahwa Presiden tidak hanya milik masyarakat di Jawa namun juga menjadi milik seluruh masyarakat Indonesia. Semoga kedepannya Indonesia terbebas dari gerakan-gerakan yang menyebabkan disintegrasi bangsa ini… semoga.

                                                                                                              ————— * * * —————

Rate this article!
Tags: