Gapeksi Minta BI Tetapkan Nilai Kurs Tengah Dolar AS

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Impor (Gapesi) Jatim yang juga Ketua Forum Komunikasi Asosiasi Pengusaha Jawa Timur (Forkas Jatim) Isdarmawan Asrikan minta kepada Bank Indonesia (BI) agar menetapkan nilai kurs tengah atas mata uang dolar AS untuk transaksi di dalam negeri, menyusul dikeluarkannya Surat Edaran BI No. 17/11/DKSP tanggal 1 Juni 2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di wilayah NKRI.
Hal tersebut didasarkan kondisi di lapangan, dimana kalangan perusahaan pemasok bahan baku penunjang ekspor maupun perusahaan pelayaran yang menetapkan nilai kurs hingga Rp14.000 – Rp15.000/dolar AS atas transaksi di dalam negeri yang dinilai memberatkan eksportir.
Dikatakan, peraturan BI itu bisa menghambat peningkatan ekspor, karena beban yang ditanggung eksportir cukup berat terutama berupa selisih kurs dolar AS (jual dan beli) atas berbagai transaksi seperti pembayaran jasa maupun pembelian bahan baku yang dilakukan di dalam negeri.
Menurut dia, para pelaku bisnis rekanan eksportir telah memathok nilai kurs dolar AS secara sepihak. Sebagai contoh, perusahaan pelayaran pekan ini menetapkan nilai kurs hingga Rp14.000 – Rp15.000/dolar AS atas ongkos pengangkutan barang untuk ekspor maupun impor, sehingga selisih kursnya abnormal. Selisih kurs yang normal adalah Rp25 – Rp50 per dolar AS.
“Kami mendukung kebijakan BI atas penggunaan rupiah dalam bertransaksi di wilayah NKRI, tetapi eksportir yang menghasilkan devisa jangan dikorbankan, maka BI harus mengendalikan penetapan nilai kurs yakni berupa kurs tengah BI,” ujarnya, Minggu (28/6) kemarin.
Ditemui secara terpisah, Woeidi Orso, Ketua Gabungan Industri Aneka Tenun Plastik Indonesia (GIATPI) Jawa Timur, juga meminta kepada BI agar bank sentral itu terlibat dan memantau sekaligus membuat aturan yang jelas tentang penetapan nilai kurs valuta asing (valas) atas transaksi barang-barang impor di dalam negeri.
Masalahnya, lanjut dia, kalangan agen bahan baku untuk pembuatan karung plastik yang berasal dari luar negeri seperti bijih plastik, tinta printing dan pelarut tinta memberlakukan harga jual dengan valas, meskipun transaksinya di dalam negeri. Setelah dirupiahkan, maka nilai kurs yang ditetapkan adalah kurs jual yang tinggi.
“BI perlu menetapkan nilai kurs tengah atau kurs rata-rata mingguan, agar tidak memberatkan pelaku industri yang memanfaatkan bahan baku maupun bahan penunjang impor. Kami harus melakukan rekalkulasi atas biaya produksi dan harga jual produk karung plastik akibat BI mewajibkan penggunaan rupiah,” papar Woeidi, yang juga Operation Manager Plastic Bag Operation PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. [ma]

Tags: