Gara-gara Kelamin Bayi Tabung Disoal, IDI Surabaya Digugat

Eduard-Rudy-kuasa-hukum-pasutri-TH-dan-ES-menunjukkan-kondisi-bayi-tabung-kasus-dugaan-ingkar-janjik-dokter-AG-Selasa-[18/7].-[Abednego/bhirawa].j

Surabaya, Bhirawa
Dokter AG, owner Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) terkenal di Surabaya dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang setempat digugat oleh pasangan suami istri, TH dan ES. Gugatan ini menyoal terkait janji bayi tabung berjenis kelamin laki-laki, namun kenyataannya perempuan.
Gugatan bernomor perkara 325/Pdt.G/2017/PN.Sby tertanggal 27 Juni 2017 ini dilayangkan korban TH dan ES ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Gugatan dilayangkan setelah IDI Surabaya memutus aduan kode etik atas dokter AG secara kilat. Penggugat (korban) menduga putusan IDI di luar prosedur karena diputus sehari setelah aduan.
“Tadi pagi digelar mediasi dengan pihak tergugat di Pengadilan,” kata Eduard Rudy, kuasa hukum pasutri penggugat, Selasa (18/7).
Dijelaskan Eduard, kasus ini bermula ketika TH dan ES menginginkan anak laki-laki. Konsultasi kemana-mana, ketemulah RSIA di Surabaya dan dilayani oleh dokter AG pada 2015. “Klien saya pasangan normal, sudah punya satu anak perempuan, sekarang usia dua tahun. Tapi mereka menginginkan anak laki-laki,” ujar Eduard.
Singkat cerita, TH dan ES mengikuti program bayi tabung di RSIA itu. Selain secara langsung, pada awal Mei 2015 keduanya juga berkonsultasi aktif melalui aplikasi WhatsApp dengan dokter AG. Dalam satu obrolan WA, dokter AG memberitahukan kepada penggugat empati hasil embrio.
“Satu (embrio) laki, satu perempuan, satu tidak bagus, satu lagi rusak,” kata Eduard menjelaskan percakapan WA antara dokter AG dengan ES, sembari menunjukkan bukti WA itu. “Klien saya memilih embrio laki-laki. Ada biayanya tiga belas juta dibayarkan, dan saya mempunyai bukti kuitansinya.”
Selanjutnya ditanamlah embrio tabung itu ke rahim ES. Saat usia kandungan enam bulan, klien Eduard mengalami pendarahan. Dia menyebut kliennya tiga kali mengalami kondisi kritis. Saat itu pula diketahui korban ES melahirkan secara premature berjenis kelamin perempuan, bukan laki-laki seperti dijanjikan AG.
Parahnya, selama masa kritis, dokter AG terkesan menghindar. Dan dokter AG, sambung Eduard, juga tidak merespons ketika diminta rekomendasi dokter anak dimana bisa didatangi. “Akhirnya kilen kami terpaksa melahirkan premature kemudian gendernya berubah menjadi wanita. Sedangkan keadaannya bayinya, mohon maaf, pada saat lahir dalam keadaan yang memprihatinkan dan kritis. Sampai mendapat penanganan dari beberapa dokter anak, akhirnya bisa dipulihkan kembali kondisi si anak,” ucapnya.
Sebetulnya, lanjut Eduard, kliennya menerima kenyataan meski bayi tabung hasil program di klinik UF perempuan. Tetapi yang disesalkan TH-ES ialah ogahnya dokter AG mengakui kesalahannya. “Bahkan klien kami dalam didatangi dua orang suruhan Dokter AG dan dipaksa meneken surat pernyataan tidak akan menuntut dan disodori uang damai seratus juta,” paparnya.
Surat pernyataan itu kiranya yang dijadikan dokter AG sehingga bebas dari sanksi kode etik IDI Surabaya. Padahal, surat pernyataan itu dicabut oleh TH-ES dan uang damai dikembalikan melalui Bank Danamon. “Lucunya, IDI memutus dokter AG tidak bersalah hanya satu hari setelah aduan klien kami,” ungkapnya.
Eduard menuturkan, gugatan terpaksa dilayangkan ke PN Surabaya karena tidak ada itikad baik dari dokter AG. IDI Surabaya ikut digugat karena diduga menyidangkan kode etik AG secara nonprosedural. “Klien kami adalah korban yang ingin mencari keadilan, dan pengakuan bersalah serta permintaan maaf yang tulus dari dokter AG,” pungkasnya. [bed]

Tags: