Garam Lokal kian “Getir”

Garam-FeaturepicsBulan September ini, cuaca seharusnya menghembuskan angin laut yang kering. Tetapi sejak lepas Idul Fitri (awal Agustus 2014) terjadi anomali cuaca cukup ekstrem. Di perairan yang mengitar daerah Sumenep (beserta kepulauannya) malah terjadi ombak besar. Angin laut membawa butiran air terlalu banyak. Kondisi angin basah dapat mencairkan buih-buih, sehingga potensi garam tidak menjadi “tua.” Ini akan mengancam produksi garam di Madura tidak bisa memenuhi target.
BMKG pos Juanda, mengkonfirmasi bahwa angin kencang itu datang dari Australia ke Asia. Tetapi angin muson timur ini terlambat datang yang seharusnya bulan Juni lalu. Selain angin muson timur, juga terdapat badai Halong yang berhembus dari arah timur laut Filipina. Desakan Halong ini mendorong kecepatan angin menjadi lebih kencang, khususnya di Jawa Timur dan wilayah timur Indonesia. Diperkirakan angin kencang terjadi sampai bulan September.
Banyak kapal besar tidak berani berlayar. Begitu pula banyak kapal nelayan yang diparkir di pantai, terhempas ombak. Situasi cuaca ini juga tidak menguntungkan petambak garam. Tahun ini target produksi garam di Sumenep dipatok sebanyak 295 ribu ton. Nyaris mustahil bisa dipenuhi. Pada keadaan cuaca baik saja (terjadi pada Agustus-September tahun 2012 lalu), produksinya cuma  222 ribu ton. Karena itu  diperkirakan realisasi produksi garam hanya sekitar separuh dari target (menjadi 150-an ribu ton).
Saat ini harga garam rakyat di pasaran hanya sebesar Rp 25.000,- per-karung (isi 100 kilogram). Seharusnya (sesuai Ketetapan pemerintah) seharga Rp 550,-. Sedangkan untuk garam berkualitas terbaik harganya Rp 500,- (seharusnya Rp 750,-). Padahal dulu (sekitar 50 tahun lalu) harga garam setara dengan harga gula. Mengapa harga garam terus merosot? Konon disebabkan pola produksi dan jumlahnya yang melimpah.
Selain itu garam rakyat tidak bisa langsung dikonsumsi, melainkan harus melalui tambahan proses pembersihan dan pemutihan. Nah, pada saat proses tambahan itulah volume garam mengalami penyusutan. Sehingga ketersediaan garam tidak mencukupi untuk kebutuhan nasional. Dus, pemerintah membuka keran impor garam dari India dan Australia. Padahal sesungguhnya saat ini masih terdapat cadangan sebanyak 270 ribu ton (di Madura), di gudang maupun gundukan-gundukan yang berjejer di tepi tambak.
Produk garam dari 40 kabupaten/kota (di 10 propinsi) seluruh Indonesia, tahun ini ditaksir sebanyak 1,1 juta ton. Untuk kebutuhan konsumsi (rata-rata selama 5 tahun terakhir 1,4 juta ton) masih kurang sekitar 300 ribu ton. Tetapi pemerintah mengimpor garam konsumsi sampai 500 ribu ton. Bahkan pemerintah juga mengimpor garam untuk industri sebanyak 1,6 juta ton. Jadi total impor mencapai 2,1 juta ton. Maka tidak dimengerti benar, mengapa pemerintah memilih impor garam.
Terdapat selisih harga Rp 100,- per-kilogram, antara garam rakyat kualitas baik Rp 500,-) dengan garam impor untuk industri (Rp 400,-). Pada volume sebanyak 2,1 juta ton akan terdapat selisih sebesar Rp 210 milyar. Tetapi konon, pemerintah juga tak ingin untung sendiri dengan selisih (Rp 210 milyar) itu. Pada saat yang sama pemerintah (Kementerian Kelautandan Perikanan) menggulirkan program “Pugar” (Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat), berupa hibah sebesar Rp 107 milyar.
Juga ada bantuan fasilitasi sebesar Rp 83 milyar untuk pembelian sarana produksi kincir dan pompa air yang diberikan kepada 28 ribu petambak garam. Problemnya adalah, benarkah Indonesia kekurangan garam? Seharusnya hal itu tak boleh terjadi. Karena Indonesi memiliki garis pantai yang sangat panjang. Bahkan bisa menjadi hamparan yang terbesar di dunia. Kualitas olahan seyogianya ditingkatkan agar garam rakyat bisa menjadi garam industri (dan garam obat-obatan).

                                                                                    —————— 000 ———————

Rate this article!
Tags: