Garap Industri Kreatif, UK Petra Buka Program DFT

Rektor UK Petra Prof Djwantoro (merah) bersama Koordinator DFT Maria Nala (kiri) dan jajaran dosen DFT saat diskusi pembukaan program DFT, kemarin (24/8).

Surabaya, Bhirawa
Sebagai bentuk jawaban atas himbaun Presiden Joko Widodo agar Perguruan Tinggi gesit dalam melakukan perubahan dalam menyongsong era Distrupsi 4.0, Universitas Kristren (UK) Petra Surabaya, buka program Desain Fashion Tekstil (DFT).
Program sarjana yang sudah dimulai sejak pertengahan Agustus ini, mengusung konsep pembelajaran Fashion yang berbeda dari sebelumnya. Ketua Koordinator program (DFT), Maria Nala Damajanti mengungkapkan, para mahasiswa DFT akan mendapatkan ilmu pola busana dari basic anatomi. Sehingga nantiya akan menghasilkan sebuah karya kontemporer yang mampu menjawab permasalahan fashion sekaligus dekat dengan kepedulian sosial-lingkungan.
“Misalnya mengusung ide zero waste fashion hingga fashion untuk difabel,” ujar dia. Selain itu, program yang berada di bawah naungan Program Studi Desain Komunikasi Visual (DKV) ini, juga akan mengajarkan berbagai konsep problem solving melalui fashion.
“Kami menyebutnya ‘Innofashion’. Inovasi di bidang fashion yang tidak hanya mempunyai dampak positif pada lingkungan melainkan juga bernilai komersial,” papar dia.
Innofashion’ merupakan nyawa atau inti dari semua karya fashion yang dihasilkan. Misalnya, sebuah karya mempunyai prinsip ethical fashion, nilai sustainability, isu sosial, kaum marjinal dan sebagainya, ini akan membuat fashion mempunyai kekuatan lebih.
“Hal itu yang kita tekankan dalam DFT ini. kita lebih konsern pada hal-hal yang harus diperbaiki. Salah satunya fashion sebagai media untuk berkomunikasi lebih dekat,” lanjut dia. Lebih lanjut, lulusan DFT UK Petra nantinya diklaim akan menjadi desainer yang memiliki solusi kreatif yang bisa menghasilkan looks yang tak biasa, serta ‘epik’.
Sementara itu, Rektor UK Petra, Prof. Djwantoro menuturkan, DFT merupakan kesempatan baik dalam memberikan peluang untuk mengembangkan energi kreatifnya, khususnya dibidang industri kreatif. Menurut Prof Djwantoro, di Jawa Timur sendiri pemerintah akan membangkitkan dan menguatakan sektor industri kreatif. Sehingga DFT ia nilai menjadi jawaban atas kebutuhan pemerintah maupun masyarakat umum.
“Program ini memang masih baru dibuka. Namun, peminatan fashion sudah berjalan cukup lama,” papar dia.
Meskipun baru mendapatakan empat mahasiswa untuk program sarjana DFT, pihak UK Petra tetap optimis dalam berkontribusi guna meningkatkan sektor industri kreatif.
Terbukti, tenaga pendidik professional juga akan dihadirkan dalam perkuliahan ini. seperti Embran Nawawi (fashion designer Surabaya), Aryani Widagdo (pendiri Arva School of Fashion), FX Heru seorang tenaga ahli fashion dan tekstil di Kementerian Perindustrian, sekaligus fashion designer dan pelaku industri fashion dan tekstil dan Desainer nasional Anne Avantie.

Dorong Dunia Fashion Manfaatkan Potensi Lokal
Menuntaskan permasalahan sampah khususnya di kota Surabaya, belakangan ini gencar dilakukan Fakultas Desain Komunikasi Visual, peminatan Fashion. Dua tahun belakangan ini, mahasiswa desain fashion tidak hanya diminta untuk membuat karya daur ulang sampah melainkan juga sindiran bagi pelaku industri kreatif khususnya yang bergerak di bidang fashion.
Seperti yang dilakukan mahasiswa peminatan fashion semester 8, Stacia Angela yang mengangkat konsep permasalahan lingkungan.
Ia menjelaskan, secara umum dalam karya yang bertema re-puriffy ini merupakan bentuk dari keprihatinannya atas limbah yang dihasilkan dalam industri tekstil. Menurut dia, dampak polusi air terbesar, disumbangkan oleh sektor industri tekstil. Di mana limbah pembuangan langsung mengarah pada saluran air sungai.
“Untuk mengesankan polusi air dari limbah tekstil saya membuat siluet air dalam karya busana saya,” kata dia. Selain itu, ia juga menggunakan media kapas untuk mengesankan busa limbah pada air. Dengan begitu, sebagai seorang desainer pihaknya mengaku harus memperhatikan berbagai aspek yang tidak hanya merugikan namun juga menguntungkan.
“Fashion bukan hanya sekedar estetika. Tapi juga karya yang harus memikirkan dampak lingkungan. Lebih dihargai bukan hanya sebagai pembuat pakaian, melainkan seni kanvas untuk berkarya,” pesan dia kepada pelaku industri tekstil.
Berbeda dengan Stacia yang mengusung konsep desain fashion permasalahan lingkungan sebagai hasil karyanya, Grace Kezia Harsono justru mengangkat potensi lokal asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan yaitu kain Sasirangan. Karya yang dinamakan Sama Sasirangan Mamikat ini menurut dia mempunyai daya tarik tersendiri. Dengan mengemas konsep desain menggunakan fotografi fashion. Di sampung itu, keberadaan kain Sasirangan belum sepenuhnya diketahui masyarakat luas, diluar Kalimantan.
“Orang di daerah Jawa kalau di Tanya kain ini, pasti nggak tahu. Padahal kain ini memiliki motif dan warna yang beragam,” tutur dia
Akan disayangkan, jika kain ini hanya dikenal oleh masyarakat Kalimantan. Oleh karenanya, Kezia sapaan akrabnya, mengemas menjadi sebuah karya yang tidak hanya bisa dilihat. Melainkan juga dinikmati oleh siapa saja.
“Saya gunakan konsep Fotografi Fashion karena dia bisa mengeluarkan model dan kain. Menitikberatkan pakaian dan aksesoris. Tekstur kain akan lebih jelas,” tandas dia. [ina]

Tags: