Papua adalah Indonesia, tersambung secara adat, budaya, dan ke-sejarah-an. Perbedaan warna kulit, dan bahasa, menjadi keniscayaan pluralisme (ke-bhineka-an) Indonesia. Bahkan pada abad ke-17 (tahun 1646), Kerajaan Tidore memberi nama pulau di sebelah timurnya, sebagai Papa-Ua, wilayah yang tidak menyatu (terpisah). Sebagian masyarakat (dan pembesar) Ternate, dan Tidore, telah memiliki ladang di Papua, selama berabad-abad.
Berdasar catatan sejarah, pertautan kekeluargaan (hubungan perkawinan) antara sultan-sultan di Maluku dengan masyarakat Papua. Setidaknya tercatat 14 kerajaan di Papua, merupakan keturunan sultan-sultan Maluku. Antara lain, di pesisir pulau Biak, dan kabupaten Raja Ampat (Papua Barat) terdapat empat kerajaan yang merupakan lingkaran kerajaan Bacan, dan kesultanan Ternate. Juga dua kerajaan di pulau Salawati, dan kerajaan Kaimana (di Papua Barat).
Sigi sejarah lebih tua, Papua terhubung dengan kerajaan asal Jawa Timur. Tahun 1365, kitab Negarakertagama mencatat kerajaan Majapahit telah menguasai, dan memberi perlindungan masyarakat pulau Wanin (disebut Onin), pemukiman di pesisir kabupaten Fak-fak. Paradigma sejarah Indonesia sebelum kemerdekaan, beranggapan bahwa Papua, adalah keluarga kesultanan Ternate dan Tidore. Bagian tak terpisahkan dari Nusantara (Indonesia).
Kelompok kriminal bersenjata (KKB) tidak dapat meng-klaim sebagai gerakan kemerdekaan Papua. Terutama dengan alasan bukan sebangsa rumpun Melanesia, disebabkan perbedaan fisik dan bahasa. Republik Indonesia didirikan dengan menyatukan bangsa menjadi satu kedaulatan negara. Paradigma kenegaraan seluruh dunia mengakui keragaman suku bangsa dalam satu negara. Antara lain menjadi realita kenegaraan di Eropa, Arab, Afrika, Australia, dan Amerika.
Maka kelompok kriminal berkedok separatisme yang mengacaukan keamanan di Papua, lebih sesuai dianggap sebagai terorisme. Seluruh tindakan brutal, dan kekejaman yang dilakukan, dapat “ditimbang” dengan UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Definisi tentang terorisme tercantum dalam pasal 1 ayat (2). Terdapat frasa “motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.”
Ragam terorisme, yakni, “perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yangmenimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakanatau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.”
Dengan menggolongkan realita kriminal bersenjata di Papua, maka negara dapat melakukan operasi pemberantasan terorisme lebih effisien. Termasuk dengan mengerahkan Komando Operasi Khusus (Koopsus) TNI anti terorisme. Beranggota personel TNI lintas matra, Koopsus ini memiliki 100 “ahli gebug” terlatih, disertai 400 intelijen fungsional yang mahir. Pembentukan Koopsus, menjadi jawaban setelah DPR bersama Presiden menyepakati revisi UU Nomor 15 tahun 2003 (menjadi UU Nomor 5 tahun 2018).
Terorisme di Papua telah terjadi berseri-seri, meningkat selama 5 tahun terakhir. Bagai menyandera status otonomi khusus dengan modus separatisme. Sebenarnya hanya kelompok kecil, dan lemah. Tetapi sangat brutal. Sesungguhnya tidak ada tempat di seantero Indonesia memberi peluang tindakan terorisme. Walau masih terdapat peluang “pertobatan” segera sebelum diburu.
Cara “kemanusiaan” akan disertai pembinaan paradigama ideologi ke-Indonesia-an. Jika tidak menyerah? Tiada jalan lain kecuali ditumpas.
——— 000 ———