Gedung Dewan Kosong Petani Bakar Tembakau

Petani tembakau membakar daun tembakau di halaman gedung DPRD Jember sebagai bentuk protes atas harga tembakau yang anjlok.

Petani tembakau membakar daun tembakau di halaman gedung DPRD Jember sebagai bentuk protes atas harga tembakau yang anjlok.

Kab.jember, Bhirawa
Kecewa  akibat tak ditemui satu anggota DPRD pun saat akan dilangsungkan hearing, belasan petani tembakau Jember membakar lembaran tembakau di depan gedung DPRD Jember, Selasa (8/9). Mereka kecewa karena tak ada respon positif dari para wakil rakyat Jember atas kondisi tata niaga tembakau Jember yang kini carut marut.
“Kami sangat kecewa. Kemarin setelah surat hearing dilayangkan, Sekwan mengatakan bersedia hari ini ada hearing. Tetapi ternyata seperti ini (kosong),” keluh Hendro Handoko, perwakilan petani tembakau yang tergabung ke dalam Aliansi Masyarakat petani tembakau itu.
Belasan petani itu pun melampiaskan amarah dengan membakar tembakau jenis kasturi di depan gedung dewan. Menurut Hendro, pihaknya ingin mencari solusi atas nasib petani tembakau Jember yang saat ini masih belum jelas. “Kami kesini ingin mencari solusi. Larinya anggota dewan ini ada indikasi jika ada kongkalikong dengan cukong tembakau Jember,” geram Hendro.
Pihaknya berjanji akan melakukan gerakan yang lebih besar lagi. Hal ini ditujukan agar anggota dewan dapat mendengar aspirasi petani Jember. “Kami akan lakukan aksi unjuk rasa agar para dewan itu bisa mendengar aspirasi kami,” tandasnya.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Jember, Jumantoro yang saat itu turut hadir mengatakan, ada beberapa gudang atau pabrikan yang masih mau untuk membeli tembakau petani. “Jenis tembakau kasturi dan rajangan, petani tidak mendapatkan harga yang layak. Kami diberikan harga pelecehan. Jauh di bawah HPP (Harga Pokok Penjualan) tembakau,” kata Jumantoro.
Jumantoro menyebutkan, untuk tembakau jenis rajangan dihargai Rp 5.000 – Rp 10.000 per kilogram. Padahal tahun kemarin harga bisa mencapai Rp 40.000 – Rp 50.000 per kilogram. Sedangkan untuk tembakau jenis kasturi dihargai Rp 1 juta per kuintal. “Padahal tahun kemarin harga bisa mencapai Rp 4 juta – Rp 5 juta per kuintal. Maka dari itu kami menilai, harga yang ditawarkan petani ini adalah harga pelecehan,” tegas petani asal kecamatan Arjasa tersebut.
Mengenai alasan gudang yakni pasokan yang penuh, menurut Jumantoro itu adalah alasan klasik. Karena hal itu sudah dilakukan oleh pabrik pada tahun tahun sebelumnya. “Tahun lalu, nyatanya tembakau petani tetap dibeli. Saya melihat ada indikasi adanya trik untuk membunuh petani secara diam diam,” cetusnya.
Dia menyayangkan sikap Pemerintah Kabupaten (Pemkan) yang kurang taktis dalam menyelesaikan masalah petani ini. Dia mendesak agar Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT) di Kabupaten Jember bisa dimaksimalkan untuk kepentingan petani. “Jangan sampai hasil dari tembakaunya (DBHCT) mau, tapi petaninya mau dibunuh. Apalagi anggarannya Rp 70 Miliar tahun ini. Mana dampaknya untuk kami?” jelasnya.
Dia menginginkan agar Pemkab, DPRD, pabrik dan petani bisa duduk bersama berdiskusi untuk mencari solusi permasalahan ini. “Permintaan kami, beli harga tembakau dengan harga layak atau ganti saja lambang (tembakau) di Kabupaten Jember,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi B DPRD Jember, Bukri saat dikonfirmasi mengatakan, pihaknya tak berada di kantor saat petani berkunjung karena alasan mencari solusi bagi petani tembakau Jember. “Tadi, kami mengunjungi eksportir tembakau dan menanyakan kesanggupan untuk membeli tembakau petani. Jadi kami langsung fokus ke solusinya agar permasalahan ini tak berlarut larut,” terang Bukri.
Bukri justru heran dengan banyaknya organisasi petani tembakau di Jember ini. Pasalnya, Senin (7/9) kemarin, pihaknya telah melakukan hearing bersama APTI baik dari unsur petani tembakau kasturi ataupun tembakau Naa Oogst. “Terus petani ini mewakili siapa? Wong, kemarin kami sudah mendapatkan masukan dari APTI Jember berikut solusi dari pabrikan. Kok sekarang mau ada hearing lagi,” katanya heran.
Mengenai ancaman petani yang akan melakukan aksi unjuk rasa, menurut Bukri hal itu merupakan hal yang wajar. “Ya tidak apa apa, kami tunggu. Toh, mereka merupakan masyarakat Jember yang berhak menyampaikan aspirasinya,” pungkas Bukri. [efi]

Tags: