Gelisah Lihat Sekolah Lebih Utamakan Kebutuhan Guru Ketimbang Anak

12-buku-Isa-AnshoriIsa Anshori, Penulis Buku ‘Berhentilah Sekolah, Mulailah Belajar’
Kota Surabaya, Bhirawa
Di sekolah, anak belum tentu dapat belajar. Sebaliknya, untuk belajar anak tak perlu harus ke sekolah. Dua penggal kelimat tersebut tentu tidak bisa dijadikan dalil kebenaran. Sama seperti saat kita membaca judul buku yang ditulis Isa Anshori dan baru saja dirilis beberapa hari lalu. Judulnya ‘Berhentilah sekolah, Mulailah Belajar’. Lantas mengapa harus terbit tulisan seperti itu?
Kalimat ‘Berhentilah sekolah’ dalam judul buku tersebut sekilas  menyimpan makna yang provokatif agar anak enggan lagi datang ke sekolah. Sebab, tanpa bersekolah pun, anak-anak masih bisa belajar. Memang tak bisa disalahkan, namun jika dimaknai lebih dalam, judul tersebut sejatinya jauh dari pengertian provokatif untuk menentang pendidikan. Sebaliknya, Isa kembali ingin mengajak sekolah untuk kembali pada peran dan fungsinya dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anak.
Berlatar dari kegelisahannya melihat realitas pendidikan saat ini, Isa pun akhirnya memutuskan untuk menulis sebuah buku. Menurut dia, keberadaan sekolah sejauh ini hanya menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan guru dan orangtua. Sementara kebutuhan anak semakin lama semakin terdegradasi. “Guru seakan-akan telah memenuhi tanggungjawabnya setelah tuntas secara administrasi mengajar selama 24 jam. Sementara, banyak anak yang lari atau berhenti dari sekolah,” tutur dia.
Di bab 1 dalam buku tersebut, Isa yang kini menjabat sebagai Ketua II Dewan Pendidikan Surabaya mengungkapkan pentingnya memahami kebutuhan dan situasi anak didik. Mengutip teori kebutuhan Maslow, tentang kebutuhan tertinggi adalah aktualisasi diri sebagai pengakuan eksistensi manusia. Berangkat dari pemahaman itu, dia menawarkan pembelajaran yang partisipatif. Di antaranya dengan melibatkan anak dalam perencanaan pembelajaran, mulai dari menyusun tujuan sampai menentukan indikator keberhasilan.
“Anak membutuhkan rasa aman dalam belajar, anak membutuhkan pengakuan dan diterima serta dicintai.  Anak mempunyai kebutuhan untuk dianggap mandiri,” tutur dia.
Hal yang membuat kegelisahannya semakin terasa orisinil dalam buku ini adalah testimoni dari anak-anak yang saja hampir putus asa terhadap pendidikan. Bukan hanya tulisan saja sebenarnya, sebelumnya Isa pun telah turun untuk melakukan pendampingan kepada anak-anak kurang beruntung itu. “Untuk menulis buku ini hanya butuh waktu tiga bulan saja. Tapi untuk mendalami persoalan dengan melakukan pendampingan kepada anak-anak korban perlakuan salah itu butuh waktu sampai Sembilan bulan,” ungkap dia.
Isa menunjukkan salah satu bagian yang berisi testimoni dengan judul ‘Maafkan Aku Telah Memilih Jalanku’. Beberapa pengakuan tersebut dicantumkan misalnya, pelajar berinisial Nd (16) yang kini duduk di bangku kelas XI di sebuah SMA di Surabaya. Dalam ceritanya, Nd merupakan korban perlakuan yang salah oleh pacarnya. Berhubungan seksual karena takut diputus pacarnya, hingga hamil di luar nikah. Penderitaan Nd terus berlanjut saat kehamilannya keguguran dan terdapat penyakit radang pada rahimnya.
“Hari-harinya penuh dengan kepiluan dan dia menghadapi tanpa peran dari sekolah. Hingga akhirnya dia lari mencari perlindungan di luar sekolah karena perlakukan sang pacar,” tutur Isa yang juga merupakan Ketua Telepon Sahabat Anaka (Tesa) 129 Jatim.
Beragam persoalan tentang anak, menurut Isa sejatinya dapat dipecahkan melalui pembelajaran partisipatif di sekolah. Sebab, ketikan anak dipahami kebutuhan belajarnya, maka dia  akan bisa bertanggungjawab dengan dirinya. Pendidikan yang partisipatoris akan memperpendek jarak antara siswa dan guru. Dan hal ini bisa menekan dampak negatifnya.
“Judul ini bukan untuk melarang anak pergi ke sekolah. Melainkan ingin mengembalikan suasana belajar yang sudah semestinya menjadi hak anak. Karena sekali lagi, sekolah adalah hak anak, bukan guru ataupun orang tua,” tutur dia. [tam]

Tags: