Geluti Dagang Rombeng Secara Turun-temurun

2-poto kakiSurabaya, Bhirawa.
Pedagang barang bekas atau yang biasa dikenal loakan bahkan sering disebut sebagai rombeng ini semakin bertambah tiap tahunnya. Bukan hanya keinginan meraup untung besar, melainkan eksistensi pedagang bekas berkualitas import terus diminati oleh sebagian masyarakat. Keberadaan pedagang tersebut juga ditunjang dari turun menurun sejak nenek moyangnya merintis bisnis jual barang bekas.
Setiap hari Pasar Gembong yang terbagi di tiga wilayah yakni, Jalan Tebasan, Kapasari, Ngaglik selalu dipadati oleh masyarakat. Maklum, kebutuhan konsumen setiap harinya selalu meningkat. Hal ini dibuktikan bahwa kualitas barang tersebut lebih awet karena kualitas import. Dibandingkan, barang baru tapi kualitas yang kurang bagus.
Apalagi masyarakat kontemporer yang semakin percaya bahwa barang bekas import memliki keunikan tersendiri dari segi bahannya. Selain itu, konsumen pun juga ingin mencari barang kualitas import namun dengan harga miring. Meski bekas, tak membuat masalah bagi mereka yang hobi dalam hunting barang bekas.
“Mencari barang bagus kwalitas import akhir-akhir ini susah. Jadi harus utun dan telaten dalam memilah. Dari situ pasti tersimpan barang bagus yang bakal dicari orang,” kata Arfian warga Sidoarjo di sela mencari pakaian yang ada ditumpukan bermatras karung saat ditemui Bhirawa, Kamis (21/1) kemarin.
Penjual barang bekas bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan primer konsumen, melainkan eksistensi pedagang dalam dunia perdagangan. Maklum, mayoritas pedagang adalah warga asli Madura yang telah lama tinggal di Kota Surabaya.
Pada dasarnya, pasar Gembong memiliki tingkat keramaian penjual dan pembeli yang berbeda-beda menurut waktu. Di hari biasa, pasar ini ramai pada sore hari sebelum maghrib untuk memanfaatkan jam orang pulang dari kantor, pada akhir pekan lebih ramai lagi. Sementara di pagi hari, hanya ada beberapa penjual saja yang menggelar barang dagangannya.
“Dulu itu, awal mulanya Pasar Gembong itu jual barang bekas dari penggadaian. Setelah itu dijual di sekitar Jalan Tebasan dengan alas karung. Karena Nenek saya dulu ingin bekerja di Kota Surabaya sangat susah, akhirnya jual barang bekas,” cerita Muhammad Yasidi (43) yang meneruskan bisnis nenek moyangnya ini kepada Bhirawa.
Yasidi penjual pakaian bekas generasi ketiga ini pun tidak mengetahui betul sejarah awal adanya Pasar Gembong. Dirinya hanya mengetahui dari cerita neneknya pada saat itu. Sejak tahun 1972 silam neneknya sudah berjualan. Dan itupun sudah generasi kesekian kalinya.
“Saya sendiri sampai sekarang belum tahu sejak tahun berapa keberadaan Pasar Gembong ini. Dulu saya awal berjualan hanya pakai keranjang bekas untuk mewadahi dagangan. Jadi, pembeli memilih sendiri dengan cara diurai satu persatu,” terangnya.
Saat ini, Pedagang pakaian bekas telah menggunakan gantungan baju (kapstok) sebagai alat displaynya. Ada yang memisahkan pakaian-pakaian sesuai jenisnya. Sederet gantungan kapstok khusus celana jeans, gantungan lainnya khusus jaket windbreaker, gantungan lainnya khusus kemeja flanel, dan sebagainya.
“Saat ini tak hanya pakaian saja yang bekas, melainkan segala barang bisa ditemukan di sini asal ulet dan bersabar dalam mencari harta karun,” tutur bapak lima anak ini yang bisa menafkahi dengan hasil berjualan baju bekas.
Dirinya sempat menceritakan di tahun 2007 silam, pemerintah kota sempat menertibkan pedagang yang ada di Jalan Gembong Tebasan ini. Dari peristiwa tersebut, tiga temannya yang sesame profesi berjualan baju bekas mengalami shock dan trauma.
“Jadi waktu itu tiga teman saya stress akibat diobrak dan satu diantaranya meninggal dunia akibat trauma itu tadi,” katanya.
Ia pun berharap kepada Pemerintah Kota Surabaya saat ini untuk tidak gegabah dalam menertibkan. Apalagi, rencana akan merelokasi Pasar Gembong di tahun 2016 ini. “Kami ini mau-mau saja direlokasi ke tempat lain, asal ada tempat yang layak buat pedagang. Sampai saat ini saja belum ada sosialisasi sama sekali, gimana kita bisa tahu,” katanya. [geh]

Tags: