Generasi Milenial di Persimpangan Jalan

Oleh:
Fileksius Gulo
Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Generasi milenial saat ini sedang berada di persimpangan jalan. Membutuhkan referensi dan refleksi untuk melangkah. Namun cenderung acuh tak acuh karena merasa eksistensi sebagai generasi informative. Setidaknya sedang mengabstraksi diri ke dalam dunia online-offline. Revolusi digital telah menghantar generasi ini saling mengintegrasikan diri dalam komunitas-komunitas yang hanya mengenal net dan konektif. Tentunya menarik mendiskusikan simpul-simpul globalisasi saat ini, generasi milenial mau kemana?
Sejarah mencatat bahwa pemuda sewaktu berstatus mahasiswa selalu ikut ambil bagian dalam perubahan sosial. Setidaknya ini dapat kita lihat jauh sebelum republik ini terbentuk. Sejak awal abad ke-20 misalnya, mahasiswa STOVIA, telah merangkai pergerakan Kebangkitan Nasional; Generasi muda angkatan 1928, melahirkan Sumpah Pemuda. Sedangkan Angkatan 45 telah melahirkan Revolusi Kemerdekaan. Menariknya lagi, generasi Angkatan 66 ikut andil dalam menggulingkan liberalisme ala Demokrasi Terpimpin sampai memuncak pada Angkatan 98 yang merobohkan “tembok” kapitalisme Orde Baru. Keterlibatan generasi muda ini bertujuan untuk mengubah tatanan sosial-politik yang tidak mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Lebih-lebih, generasi muda bergerak untuk mengubah tatanan penindasan (kemiskinan) menuju kehidupan yang lebih beradab.
Dalam sejarahnya, paling tidak ada dua kondisi yang menyebabkan mahasiswa terlibat dalam kegiatan politik tersebut. Pertama, pemikiran tentang generasi muda (mahasiswa intelektual) sebagai ujung tombak perubahan sistem sosial-politik. Doktrin ini sendiri berangkat dari pernyataan bahwa generasi muda sebagai “komunitas” yang lebih maju dibandingkan dengan komunitas masyarakat lainnya. Landasannya adalah mahasiswa mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kedua, pemikiran ideal generasi muda menempatkan diri sebagai komunitas sosial yang lebih cepat merespon ketimpangan sistem politik-ekonomi. Biasanya idealisme ini dipicu karena adanya penindasan secara “struktural” dari atas ke bawah. Yang akibatnya tak jarang menimbulkan krisis secara horizontal dalam masyarakat.
Generasi muda milenial saat ini tengah meringkuk diri dalam ruang pengap budaya yang dikonstruksi oleh ideologi-ideologi besar dunia. Para founding father bangsa ini telah lama menggaungkan “lampu kuning” terhadap isme-isme tersebut. Dengan keperkasaannya, “kapitalisme” misalnya telah mengasingkan generasi milenial dari realitas sosial dan kebiasaan berpikir kritis (pendalaman ilmu), baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Kekuatan “nekolim” saat ini telah menelikung eksistensi generasi milenial agar tak lagi dapat menggaung menjadi generasi penerus yang “sebenarnya” dengan getol membela kebenaran dan keadilan (ekualitas), sehingga lahirlah generasi milenial bergaya hidup anti-ilmiah, anti-diskusi dan anti-advokasi kerakyatan.
Meski masih ada segelintir generasi muda yang berusaha loyal dengan fitrahnya sebagai agen perubahan (generasi perubahan), keberadaan mereka mirip sepercik tinta yang menetes di lautan. Mereka gagal membangun secara masif gerakan intelektualitas terhadap generasi milenial lainnya. Ironisnya, justru citra negatif yang kerap melekat pada eksistensinya, karena acapkali tersandung kasus-kasus amoral. Itulah sekelumit fenomena buram gaya hidup generasi milenial yang bisa kita potret saat ini, mulai dari melemahnya tradisi berpikir kritis lewat forum-forum diskusi yang tergantikan oleh budaya instan dan ngerumpi sambil pencat-pencet gawai, menguatnya sikap hedonistik dengan gemar berbelanja di mall ketimbang membeli buku, dan sebagainya.
Hal ini mengindikasikan kehidupan generasi milenial sebagai “agen perubahan” kian berjarak dengan realita ketidakadilan, semakin terjerumus dalam “budaya” koruptif, dan seterunya. Generasi milenial saat ini tak menyadari bahwa semakin masuk dalam pusaran kultur yang diciptakan oleh globalisasi, maka eksistensi dan gaya hidup mereka pada hakikatnya tengah diteror. Generasi milenial kini hidup di ruang hampa. Gaya hidup generasi ini telah menyimpang dari idealisme sebagai generasi pembawa perubahan. Dalam hal ini, perlu dipertegas bahwa moral bukanlah sebab, melainkan akibat dari kontradiksi-kontradiksi “isme-isme” yang semakin mendunia. Oleh karena itu, cukup masuk akal bila generasi milenial saat ini perlu membaca dan merefleksikan sejarahnya. Biarlah “mahkamah” sejarah yang akan berkata apakah generasi milenial sekarang ini mampu melihat fenomena bangsa dalam mengaktualisasikan idealisme agent of change. Semoga.

———- *** ———-

Tags: