Generasi Milenial Minus Moral?

Oleh :
Amarta Risna D Faza
Penulis adalah Ketua Bidang Program Pendidikan Ilmu politik Monash Institute dan Ketua Umum Badan Pengelola Latihan Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Semarang 2017 – 2018.

Era digital semakin memudahkan kita dalam menjalani hidup. Keberadaan internet dan media sosial, semakin memperlancar komunikasi. Begitupun dengan akses sumber informasi, hanya tinggal menggerakkan jari pada layar telepon pintar. Semua bisa didapat secara praktis dan cepat. Semua dapat menikmati akses internet. Tak pandang laki-laki atau perempuan, orang tua atau anak-anak, semua kalangan tanpa pandang batas usia bisa bermedia sosial. Asalkan memiliki perangkat yang memadai.
Disaat teknologi sedang gencar-gencarnya, Indonesia juga tengah memasuki fenomena bonus demografi. Yang mana, jumlah penduduk produktif seharusnya meningkat secara signifikan. Penduduk produktif pada era ini, didominasi oleh generasi Y atau sering kita kenal sebagai generasi milenial (selanjutnya dibaca milenial).
Menurut penelitian Ali dan Purwandi, milenial memiliki karakter yang fasih dalam menggunakan teknologi serta tidak bisa lepas dari internet. Terlebih dengan munculnya media sosial, membuat orang-orang sibuk dengan dunianya masing-masing. Dunia maya telah menjelma menjadi dunia nyatanya mereka. Era digital yang ditandai dengan adanya smartphone, membuat seolah dunia berada dalam genggaman.
Generasi yang terlahir pada kisaran 1980 – 2000 ini, mendominasi jumlah penduduk Indonesia. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2017, 33,75 % milenial menjadi penghuni dominan dengan jumlah berimbang antara laki-laki dan perempuan. Mengikuti naluri darah muda, dimasa-masa seperti ini mereka ingin dikenal banyak orang, ingin eksis, ingin diakui dan ingin mengeksplore kemampuannya. Tak sedikit kita jumpai dimedia sosial, milenial ramai mengekspos dirinya.
Milenial yang kini kita kenal sebagai generasi yang aktif bermedia sosial. Namun, apakah milenial sadar bahwa kemudahan teknologi dapat mendatangkan kerugian selain manfaat bagi mereka? Apakah milenial telah terlena dengan semua itu? Hingga dalam penggunaan media sosial, mereka mengabaikan garis-garis kesopanan.
Mulai dari foto-foto bergaya alay, video, nyanyian tak bermakna hingga menjadi selebgram dadakan. Semua dilakukan demi mendapat kepopuleran. Mereka menganggap, media sosial merupakan sarana untuk menampilkan eksistensi serta mempublikasikan diri.
Tergolong masih viral akhir-akhir ini, milenial yang ingin mendapat kepopuleran sukses menggegerkan dunia maya. Melalui aplikasi tik-tok, milenial bebas bergaya layaknya seorang artis. Menirukan para penyanyi dengan gaya alay. Dalam sekejap, namanya melejit bak roket yang ramai dikenal netizen.
Menjaga Akhlaq Milenial
Sering kita jumpai bahkan tak jarang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Kerap kali kita dengar guyonan bahkan cercaan mengenai milenial yang tidak bisa lepas dari smartphone. Bahkan dalam acara-acara keluarga sekalipun, banyak milenial yang mengahbiskan waktunya duduk sambil menunduk berjam-jam memandang layar telepon pintar. Walaupun kasus “gila smartphone” sesungguhnya tidak seperti yang diperkirakan.
Satu yang perlu dipertimbangkan adalag fungsi telepon pintar yang bisa digunakan untuk semua. Saat teknologi belum se-maju ini, orang-orang harus membawa catatan, kamera dan berbagai dokumen lain secara terpisah. Era dimana semua bisa digabungkan dalam satu tempat. Hingga tidaklah terlalu mengherankan jika kita melihat seseorang terpaku pada satu alat dalam melakukan semua pekerjaan.
Perlu kita sadari, semua media sosial itu bisa membawa banyak manfaat yang sangat besar apabila kita gunakan dengan baik, bijak dan sesuai kebutuhan. Sayangnya, media sosial merupakan produk globalisasi yang sangat bebas, mudah diakses dan sulit untuk dikontrol jika tanpa kesadaran penggunanya sendiri. Kebebasan media sosial itulah yang tak jarang kemudian banyak disalahgunakan.
Banyak orang menggunakan media sosial untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan kepribadian masyarakat Indonesia. Sehingga banyak pula tindakan yang menunjukkan tanda-tanda degradasi moral bangsa. Sadarkah kita bahwa bentuk penyalahgunaan media sosial sudah semakin menjalari lingkungan sekitar atau bahkan kita sendiri telah melakukannya?
Melihat media sosial sekarang – seperti WhatsApp, Instagram, Twitter, Youtube dan Line – yang banyak digunakan masyarakat untuk sekedar bersosialisasi atau eksis di dunia maya. Hal ini sangat rentan untuk disalahgunakan. Kerap kali kita jumpai media sosial yang menampilkan postingan-postingan bebas baik berupa foto, video, status atau tweet.
Namun, apa-apa yang telah dilakukan generasi milenial tidak semuanya buruk. Untuk ingin tetap eksis, tampil dan diakui mereka memiliki cara masing-masing yang terkadang belum bisa sepenuhnya diterima oleh generasi pendahulu. Misalnya, milenial mau melakukan usaha keras agar hasil kerja mereka dihargai. Ini sama halnya sebagai bentuk narsisme, walau sesungguhnya merupakan bentuk usaha pengembangan diri.
Salah satu kontribusi media sosial pada milenial adalah sebagai tempat mencurahkan ‘kenarsisan’. Meskipun kata ‘narsis’ disini masih memiliki stigma negatif dikalangan masyarakat. Melalui media seperti Twitter, Instagram, milenial memiliki kesempatan menjadi pusat perhatian. Baik dari sisi prestasi, penampilan maupun sensasi. Hal ini sering memicu rasa tak mau kalah. Sehingga banyak pula milenial yang berlomba-lomba menampilkan sisi baik kehidupan mereka di dunia maya.
Oleh karena itu, perlu menjadi perhatian bagi semuanya. Terutama orang tua, bahwa anak-anak harus ditanamkan ajaran agama yang kuat. Tanamkanlah nilai etika, moral, kesopanan dan akhlaq baik lainnya. Karena di zaman serba digital, segala sumber bisa diakses untuk kemudian dilihat dan ditiru. Tanpa filter dari diri sendiri dan kontrol orang tua, akan berakibat buruk terhadap diri milenial.
Untuk para milenial, marilah kita manfaatkan media sosial secara bijak. Seperti menggunakannya sebagai sarana meningkatkan kualitas diri maupun media dalam menyebar kebaikan. Dengan begitu, kita akan menjadi investor dunia dan akhirat sekaligus. Sesungguhnya, milenial merupakan aset berharga, inti pergerakan masyarakat. Sehingga kita harus kritis terhadap permasalahan yang terjadi. Serta peka terhadap lingkungan sekitar. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: