Generasi Millenial Melawan Narkoba dan Radikalisme

(“Bambu Runcing” VS Politik “Belah Bambu”)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Sosial Politik

Rangkaian hari kemerdekaan wajib diperingati seksama, dan selalu membahagiakan semua generasi. Generasi usia 70-an mengenang seksama upaya mempertahankan proklamasi dari berbagai rong-rongan makar politik dalam negeri. Sekaligus kesulitan ekonomi, sampai dekade tahun 1960-an. Generasi usia 50-an tahun, mengenang momentum perayaan proklamasi Agustusan dengan berbagai cerita (dan pemutaran film) heroik.
Generasi millenial (masa kini), bisa merayakan hari proklamasi 17 Agustus, dengan situasi zaman yang khas: Yakni, berbagi cerita sukses melalui media sosial (medsos), sambil menambahkan kata “merdeka!!!.” Juga disertai posting gambar bendera Merah-Putih. Generasi millenial (usia 17-35 tahun) tetap menjadi pelaku utama upacara peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Peran generasi millenial takkan tergantikan, sepanjang masa.
Seperti pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia, 74 tahun silam, juga dimotori generasi millenial. Termasuk penentuan hari kemerdekaan (proklamasi). Sampai tokoh generasi millenial harus menjemput Ir. Soekarno di Rengasdengklok, agar proklamasi bisa dibacakan pada esok hari, 17 Agustus 1945. Tidak boleh ditunda lagi. Alasannya, karena di Indonesia terjadi “lowongan kekuasaan” setelah Jepang bertekuk lutut, kalah perang melawan tentara Sekutu (di bawah pimpinan Amerika Serikat dan Inggris).
Generasi millenial saat itu (Agustus 1945), kini tersisa hanya beberapa orang. Yang pernah turut berperang merebut kemerdekaan, kini usianya (paling muda) 90 tahun. Ada pula yang telah berusia 100 tahun, masih hidup dengan kebanggan cerita heroik. Juga tatap mata menerawang zaman, sembari menitikkan air mata. Karena banyak teman sebaya se-perjuangan gugur menjadi pahlawan. Demi mempertahankan proklamasi kemerdekaan.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, sesungguhnya, suatu keajaiban. Menumbuhkan euphoria dari cita-cita yang terpendam selama ratusan tahun. Namun Belanda sebagai kolonial, tidak mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia. Begitu pula tentara Sekutu (Belanda termasuk geng tentara Sekutu) masih memahami Indonesia sebagai “milik” Belanda. Bahkan tentara Jepang yang berkuasa di Indonesia, juga tunduk pada Sekutu (dan Belanda).
Euphoria rakyat, sampai ada yang naik keretaapi (KA), tanpa karcis, tidak mau bayar. Serta tuntutan pembebasan pajak. Berbagai tanah ulayat (aset adat) yang pernah dikuasai penjajah (Belanda maupun Jepang) diminta lagi, dan dibebaskan dari pajak. Termasuk tanah aset adat, yang digunakan untuk latihan tentara (dan fasilitas ke-tentara-an lainnya), maupun perkebunan. Seluruh tanah adat dahulu direbut penjajah tanpa ganti rugi.
Millenial Perangi Narkoba
“Ke-gila-an” terhadap kemerdekaan RI, menyebabkan pejabat tertinggi di kawasan eks-karesidenan Surabaya, Residen Sudirman, menyatakan dukungan terhadap proklamasi. Pada tanggal 25 – 27 Agustus 1945, diselenggarakan rapat para aktifis pergerakan rakyat. Tujuannya untuk mempersiapkan pembentukan KNI (Komite Nasional Indonesia, semacam DPR) di daerah.
Tetapi orang-orang Indo-Belanda di Surabaya, juga tak mau kalah. Berani mendirikan kelompok yang diberi istilah “Komite Kontak Sosial.” Kelompok ini berhasil menggertak tentara Jepang. Sehingga kegiatan “Komite Kontak Sosial,” selalu dikawal oleh tentara Jepang, bersenjata lengkap. Kesombongan Indo-Belanda, menyulut perlawanan sosial sangat luas.
Tidak mudah melalui hari-hari setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Termasuk hari pengukuhan UUD 1945 sebagai hukum dasar yang tertulis. Di dalam (UUD) terdapat pokok pikiran tentang tujuan negara yang baru didirikan sehari sebelumnya (melalui Proklamasi 17 Agustus 1945). Juga dituliskan, alasan pembacaan Proklamasi. Kemerdekaan bukan sekedar mengejar hak segala bangsa. Para pendiri negara menyadari benar tidak mudahnya membentuk negara majemuk, dengan beragam adat dan bahasa.
Dibutuhkan semangat ke-negarawan-an untuk menjembatani perbedaan, demi melahirkan negara Indonesia. Dalam penjelesan UUD 1945, dituliskan: “Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara, ialah semangat. …Meskipun dibikin UUD … bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara para pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, (maka) UUD tadi tidak artinya.”
Semangat kekeluargaan, patut digelorakan setiap saat. Kepedulian wajib digalang melawan musuh bersama kaum millenial. Terutama narkoba. Sehari, 50 jiwa melayang karena narkoba! Ini korban penyalahgunaan zat psikotropika terbesar di dunia. Karena itu wajar Presiden menyatakan Indonesia dalam situasi darurat narkoba (sejak tahun 2015 lalu). Juga tidak sudi memberi ampunan, permohonan grasi akan ditolak.
Pengedar narkoba selama ini tetap menjalankan bisnis haramnya, walau sudah meringkuk dalam penjara. Seluruh Kepala Daerah di Indonesia diminta satu kata, satu barisan perang melawan narkoba. Seluruh dunia juga men-dendam kepada bandar narkoba. Sampai PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) menerbitkan konvensi khusus ani-narkoba. Yakni, United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (tahun 1988).
Menolak Radikalisme
Tujuh dekade (lebih) kemerdekaan, Indonesia telah menjadi tiga besar pengguna internet di dunia. Gadget berbasis android, telah digunakan di berbagai tempat, lokasi perkantoran, sampai di persawahan. Seluruh aplikasi media sosial (medsos) memiliki pelanggan dalam jumlah puluhan juta pengguna. Sebagian menggunakan secara bijak, untuk pekerjaan dan ke-ilmu-an. Namun lebih separuhnya digunakan melebihi batas kebebasan, menimbulkan kekacauan sosial.
Berbagai medsos juga disusupi gerakan radikalisme “kiri” (berbagai penyakit sosial, kelompok pedopilia, dan ateisme). Serta siar radikalisme “kanan” (ekstremitas ber-agama, sampai terorisme). Ironisnya, beberapa “ke-liar-an,” (radikalisme) kemerdekaan berlindung di balik kebebasan dan HAM (Hak Asasi Manusia). konflik internal umat beragama, niscaya sangat meresahkan. Bisa berujung tawur sosial. Kegaduhan sosial internal umat beragama terjadi pada seluruh agama-agama.
Tak jarang, dakwah keagamaan juga ber-altar pemerasan ekonomi terhadap anggotanya. Berjuta-juta ujaran kebencian dan penistaan, ditebar melalui medsos. Terutama pada musim Pilkada (pemiluhan kepala daerah), serta Pilpres, dan Pileg (pemilu legislatif). Persatuan masyarakat daerah, dan persatuan nasional, mudah terbelah karena perbedaan pandangan politik ke-partai-an. Maka seluruh elit parpol, mesti meneladani tatacara berpolitik generasi proklamasi (1945). Politik, bukan harga mati!
Ancaman ke-terbelah-an sosial, tak kalah bahaya dengan politik “belah bambu” (devide et impera) zaman penjajahan. Ironisnya, kebebasan siar di medsos berlindung di balik konstitusi. UUD pasal 28F, menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Tetapi kebebasan menggunakan internet, juga wajib tunduk pada konstitusi yang menjamin HAM. UUD pada pasal 28J ayat (2), menyatakan “… setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Amanat UUD ini mendasari terbitnya UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada pasal 28 ayat (2), dinyatakan larangan: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).” Larangan disertai dengan hukuman memadai, berupa pidana penjara selama 6 tahun ditambah denda.
“Kemerdekaan” di medsos, dapat dijadikan sarana me-merdeka-an masyarakat dari belenggu kebodohan dan ketertinggalan. Dengan teknologi informasi dunia terasa se-genggaman. Namun gadget android, patut dicermati. Karena dapat dijadikan propaganda fitnah, dan kebohongan. Mengacaukan keluarga, serta merusak tatanan sosial.

——— *** ———

Tags: