Generasi Net dan Problem Tradisi Literasi Kita

ABD HANNANOleh :
Abd Hannan
Akademisi Sosial di Pascasarjana Sosiologi, Sekaligus Anggota Tim Riset Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Surabaya.

Barangkali tak banyak yang tahu jika bulan September dikenal dengan bulan Gemar Membaca. Di bulan ini, banyak diperingati hari-hari yang berkaitan dengan keaksraan. Yaitu, hari keaksaraan dunia pada tanggal 8 September. Kemudian, ada hari kunjung perpustakaan pada tanggal 18 setelahnya. Peringatan tersebut untuk menggiatkan tradisi literasi. Khusunya berkaitan dengan kegiatan membaca. Tujuan besarnya tidak lain adalah untuk mewujudkan bangsa yang cerdas dan berkeadaban.
Momentum bulan  gemar membaca (September) sebagai upaya menguatkan tradisi membaca memiliki relevansi kuat dengan semangat pembangunan bangsa-negara. Hal itu, termuat jelas dalam alinea ke empat pembukaan UUD 45 yang menyebutkan, bahwa salah satu visi pembangunan nasional adalah ikut mencerdaskan bangsa. Artinya, bangsa yang mencita-citakan kemajuan wajib dibingkai dengan kecerdasan. Dengan kata lain, ada semangat dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
Untuk mencapai itu semua, maka dibutuhkan peran perpustakaan. Karena, di perpustakaanlah beragam media literasi tersedia lengkap, sehingga seoptimal mungkin dapat bergumul dengan buku dan menyerap banyak ilmu pengetahuan dari berbagai bidang. Itulah mengapa antara perpustakaan dan keilmuan tidak dapat dipisahkan. Keduanya adalah varibel beriringan yang integral.
Hanya saja, pentingnya dunia perpustakaan dalam meningkatkan kapasitas keilmuan ternyata belum sepenuhnya menggugah kesadaran masyarakat. Hal ini didasarkan pada realitas masyarakat yang masih memiliki minat rendah untuk berkunjung, menjadikan ruangan baca sebagai bagian aktivitas sehari-hari. Dalam survey tahun 2015, untuk perpustakaan dalam negeri paling besar dengan koleksi buku paling lengkap, rata-rata dikunjungi 403.000 orang per tahun. Bandingkan dengan negara tetangga, Singapora misalkan. Jumlah  rata-rata pengunjung yang mendatangi perpustakaan nasional setempat bisa mencapai 1 juta orang. Karenanya, wajar jika kemudian Singapura sebagai negara kecil dengan sumber daya alam terbatas bisa melebihi dan mendahului kemajuan negara kita.
Problem Literasi
Perpustakaan identik dengan kegiatan literasi, khususnya membaca. Ada korelasi yang menunjukkan antara keduanya, bahwa seseorang yang rajin ke tempat-tempat buku memiliki kecenderungan minat baca serta kesadaran pendidikan yang tinggi. Begitu pun juga sebaliknya.
Karenanya, sejalan dengan hasil survey di atas, efek keseragaman itulah yang kemudian nampak jelas dalam tradisi literasi kita. Sebuah survey yang dilakukan oleh Central Connicticute State University di New Britain yang bekerja sama degan sejumlah peneliti sosial menempatkan Indonesia peringkat 60 dari 61 negara terkait minat baca (litarasi). Artinya, Indonesia berada di peringkat 2 dari bawah, hanya unggul dari Bostwana. Sedangkan dalam penelitian lain, UNESCO menunjukkan, persentase minat baca anak Indonesia berada pada angka 0,01 persen. Itu artinya, dari 10.000 anak bangsa, hanya ada seorang yang membaca buku.
Membangun tradisi literasi pada masyarakat dan membuat mereka gemar membaca bukanlah parkara mudah. Sampai detik ini aktivitas literasi, khususnya berkaitan dengan kegiatan membaca masih belum bisa dikonstruksi oleh kesadaran kolektif kita, bahwa literasi adalah aktivitas subtansial dalam hidup, dalam pendidikan bernilai besar bagi pengembangan wawasan dan keilmuan.
Sejauh ini, kontruksi pemikiran kita mengartikan aktivitas literasi, khususnya membaca identik sebagai bagian dari proses belajar sebagaimana di ruang kelas pada umumnya. Membaca bukan karena unsure kesenangan diri, hobby dan teman ngobrol yang asyik. Sehingga, yang pertama kali dirasakan ketika melihat buku adalah rasa malas, tertekan, dan rasa bosan. Padahal, sejatinya, membaca sebenarnya juga bisa menimbulkan rasa relaksasi dan terlepas dari tekanan hidup sehari-hari (Usherwood & Toyne, 2002).
Faktor Penyebab
Dalam perspektif teori generasi (generation theory), masyarakat yang hidup pada era sekarang disebut sebagai generasi Z, atau dapat pula disebut generasi net/internet (netizen). Ciri paling khas adalah kecakapan mereka menjalankan teknologi komputerisasi. Khususnya, media sosial. Itulah sebabnya, model interaksi sosial masyarakat era ini lebih pada hubungan melalui dunia maya, bukan kontak secara langsung.
Generasi net bisa menyasar siapa saja dan kemana saja, apakah itu masih anak-anak, remaja, ataupun dewasa. Bahkan, seorang anak yang masih duduk di tingkat sekolah dasar sekalipun dapat dengan mudah dipengaruhi dan dibentuk. Era net memiliki nilai universalitas yang memuat banyak pilihan, sehingga dengan leluasa bisa memanjakan pengguna. Konten-konten semacam game online, media sosial seperti facebook, dan twitter menjadi pilihan paling banyak disenangi. Mereka berselancar bebas di sana, melakukan penjelajahan dan membangun relasi sosial dengan siapapun dan dimanapun, dimana itu tidak dapat mereka temukan di dunia sesungguhnya.
Penjelasan mengenai teori generasi di atas dapat menjelaskan mengapa dekade ini minat mendatangi tempat-tempat buku begitu rendah. Itu, tidak lain karena kebanyakan masyarakat telah tersimulasi dalam (red: hiperealitas) dunia maya dari pada beraktivitas di dunia sebenarnya. Sehinga mereka menjadi pengguna adiktif yang sulit melepaskan dari dunia internet.  Hal ini pula yang kemudian menyebabkan mereka tidak produktif. Lebih suka berselancar di internet ketimbang di dunia literasi.
Sialnya, dunia kampus yang sejatinya diharapkan menjadi agen/agensi-dalam bahasa Gidens-dunia literasi (membaca) terlihat lemah dalam merespon. Sebaliknya, mereka ikut terpengaruh. Sehingga, Wajar kemudian jika saat ini peran dan fungsi kampus sebagai tempat bersemayamnya intelektualitas dipertanyakan.
Kaitannya dengan ini, jelas kita tidak  mengharapkan generasi yang gagap teknologi, namun kita juga tidak menginginkan  generasi yang salah menggunakannya. Artinya, sebagai aktor kita harus bisa memposisikan diri sebagai pengguna yang cerdas. Memanfaatkan kehadiran teknologi sebaik mungkin sebagai media meningkatkan tradisi literasi. Karena, sesungguhnya literasi merupakan akar gerakan kebangkitan kebangsaan yang harus kita bumikan.

                                                                                                                ————– *** ————-

Tags: