Gerakan Lingkungan Zero Sampah

Memeringati Hari Peduli Sampah Nasional, 21 Februari 2022

Oleh:
Rachmad K.Dwi Susilo, Ph.D
Pengajar Mata Kuliah Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam, Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Doktor Public Policy and Social Governance, Hosei University, Tokyo

Setiap 21 Februari kita memeringati Hari Peduli Sampah Nasional. Peringatan ini menjadi penting sebagai pengingat (pepeling) bahwa sampah masih menjadi persoalan yang butuh diatasi. Jumlah sampah masih menggunung, kesadaran untuk mengolah dan memilah sampah masih rendah dan ancaman kerusakan lingkungan akibat sampah di depan mata. Kondisi di atas semakin menyadarkan bahwa persoalan sampah dibelahan bumi manapun tidak akan pernah selesai.

Banyak faktor yang menjadi penyebab, salah satunya dinamika dan pergerakan penduduk. Kuantitas dan kualitas penduduk melahirkan penumpukan sampah, maka bertumpuk-tumpuknya sampah jelas melahirkan berbagai persoalan ekologis, kesehatan sampai masalah sosial. Pada tingkatan mikro sosial sampah mengganggu kesehatan dan estetik warga. Pada level meso sosial mempengaruhi kehidupan berkelompok yang rentan konflik sosial. Sedangkan, secara makro sosial pembakaran sampah menyebabkan pemanasan global (global warming).

Dunia tidak berdiam diri. Menanggapi permasalahan ini, prinsip 3R dan zero waste dikampanyekan. 3R memperlakukan sampah melalui aktivitas mengurangi (reduce), memanfaatkan kembali (reuse) dan daur ulang (recycle). Sedangkan zero waste mengevaluasi produk konsumsi yang memberikan dampak negatif pada lingkungan. Karena itu zero waste menjadi semacam “ideologi lingkungan” melalui prinsip 5R yaitu refuse (menolak), reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), recycle (mendaur ulang), replace ( memindah) dan replant (menanam kembali).

Kebijakan nasional sudah menetapkan desentralisasi kebijakan yang meminta pemerintah provinsi maupun daerah untuk aktif pada pengelolaan ini. Selain itu, target pengelolaan sampah selalu dibuat. Tindak lanjut pemerintah daerah diwujudkan dalam membangun TPS 3R, TPST, PDU dan program lain.

Sementara itu, melalui modernisasi ekologis, korporasi peduli pada pengelolaan produk-produk pabrik yang dihasilkan. Sedangkan masyarakat sipil mengampanyekan permasalahan sampah secara secara masif, misalnya Walhi, Ecoton dan komunitas peduli sampah berbasis komunitas mengampanyekan bahaya pencemaran sungai, bahaya sampah plastik dan menginisiasi program-program berbasis masyarakat seperti bank sampah, sodaqoh sampah dan eco-masjid. Pertanyaannya seberapa efektif dan seberapa besar perubahan sosial yang dihasilkan dari gerakan pengeloalan sampah ini?.

Kita masih belum beranjak dari masalah sampah. Menurut situs Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional, pengurangan Sampah di Indonesia baru mencapai 15.08% atau setara dengan 3,453,351.21 (ton/tahun). Kemudian, sampah terkelola 64.75% atau setara dengan 14,832,235.21 (ton/tahun) sedangkan sampah yang tidak terkelola 35,25% atau 8,073,013.24 (ton/tahun).

Selain sampah menjadi persoalan warga perkotaan dan pedesaan, sampah plastik dan pampers mencemari sungai dan laut yang dikonsumsi biota air, disinilah ancaman keanekaragaman hayati di depan mata. Hemat penulis, pengendalian sampah masih terkesan urusan negara. Karena itu kesadaran tentang permasalahan sampah harus diperkuat melalui kebijakan yang menekankan kepentingan negara dan komunitas.

Selain itu, penangulangan sampah masih belum mengaitkan perubahan gaya hidup. Rumusan sudah jelas dan sosialisasi juga kurang masif. Dengan demikian, inovasi pengelolaan sampah, inovasi kebijakan dan inovasi public private partnership perlu dikembangkan. Dan yang terpenting, kesemua strategi tersebut dilandasi substansi, nilai-nilai dan prinsip gerakan lingkungan.

Gerakan Lingkungan Semesta

KIta membutuh gerakan lingkungan yang masif dan terorganisir. Gerakan lingkungan menunjuk kepada gerakan sosial, maka definisi dan ciri-ciri gerakan sosial harus dipahami. Carthy dan Zald (1973) menyatakan gerakan sosial sebagai seperangkat pendapat dan kepercayaan yang mewakili preferensi untuk merubah elemen dari struktur sosial dan/atau distribusi im-balan dari sebuah masyarakat. Produk gerakan lingkungan yakni perubahan masyarakat yang sebelumnya tidak peduli sampah akhirnya menjadi subjek-subjek peduli dan penggiat gerakan peduli sampah.

Kemudian, fleksibilitas gerakan lingkungan bisa dilihat dari empat aspek gerakan sosial yang dinyatakan Mario Diani (1992) yaitu (1) Jaringan interaksi informal; (2) keyakinan dan solidaritas yang sama; (3) tindakan kolektif dari isu-isu yang bersifat konflik; dan (4) tindakan yang menggambarkan di luar wilayah institusional dan prosedur rutin kehidupan sosial

Gerakan lingkungan ditopang aktor-aktor pemilik sumber daya baik ekonomi, teknologi, sosial sampai sumber daya politik. Ia tidak menutup diri pada satu kelompok saja, tetapi inklusif dengan keterlibatan kelompok manapun yang kaya strategi kreatif, otonom dan melepaskan diri dari struktur resmi konvensional.

enthahelix dimanfaatkan demi memperkuat gerakan. Pemerintah sejatinya sebagai inisiator dan motor gerakan. Alasannya, pemerintah memiliki banyak sumber daya yang akan menutupi kelemahan korporasi, komunitas dan masyarakat sipil. Terlebih gerakan berbasis spontanitas rentan tidak berkelanjutan. Untuk itu dikotomi otoritas sebagai “penghambat” gerakan lingkungan dipupus dengan memperhatikan kolaborasi semua stakeholders.

Strategi gerakan lingkungan ini menggabungkan atas ke bawah (top down) dan aspirasi dari bawah ke atas (bottom up). Top down menyaratkan negara sebagai pembuat regulasi, pendampingan dan fasilitasi pada komunitas-komunitas swadaya. OPD yang bergerak pada isu lingkungan menjadi garda terdepan dengan memberi hidup dengan zero waste. Selain itu, ia bertanggung jawab pada keberlanjutan organisasi komunitas. Misalnya, saat komunitas berhasil mendaur ulang sampah kering, negara sigap memasarkan dan menjaga keberlangsung pengrajin. Negara juga mengaitkan komunitas dan korporasi melalui CSR.

Negara juga tidak lelah mencari langkah-langkah inovatif. Strategi mengikat (bonding) dan menghubungkan (bridging) dimanfaatkan. Bonding mengikat dan mengundang aktor-aktor lingkungan lingkup terbatas untuk kerja bersama, sedangka bridging yakni mengundang dan menggandeng aktor-aktor luar agar terlibat. Ia tidak dibatasi sekat geografis. Seperti kewenangan negara dalam menekan CSR perusahaan demi program pengelolaan sampah.

Sementara itu melalui strategi bottom up, masyarakat menggalang inisiatif perubahan lingkungan dari akar rumput (grassroot). Aktivitas dari pengaduan masyarakat atas tidak sigapnya pengelolaan sampah sampai mengusulkan inisiatif lokal (local initiative). Masih menggunakan sistem ini, jika ada kemacetan kaderisasi warga/komunitas, negara harus antisipatif dan sigap.

Kini kita butuh menyegarkan komitmen untuk tidak lelah menemukan berbagai macam inovasi. Pertanyaannya, sudahkah cita-cita tentang masyarakat zero sampah sudah dimiliki semua aktor? Dan, maukah semua pihak berkomitmen menghadapi permasalahan sampah.

———— *** ————–

Rate this article!
Tags: