“Gerombolan Belalang dan Jangkrik”

Najamuddin KhairurrijalOleh :
Najamuddin Khairur Rijal
Pengajar Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Memasuki tahun kedua masa kerja anggota DPR-RI di lembaga legislatif pusat, nampaknya tugas dan fungsi para wakil rakyat di parlemen semakin jauh. Terlebih lagi karena mereka menduduki jabatannya melalui kendaraan partai politik (parpol), tarik ulur kepentingan kelompok dan golongan begitu terlihat. Apalagi mereka bukan hanya “wakil rakyat” melainkan juga “wakil parpol”.
Dua posisi ini menjadikan mereka sering kali berada pada persimpangan dilematis: antara mengutamakan kepentingan rakyat atau mengutamakan kepentingan politik partai.
Ironisnya, alih-alih menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat, mereka (dan juga parpol atau koalisinya) justru sibuk dengan upaya pencitraan dan berebut “paling suci.” Artinya, mereka berusaha membersihkan dirinya dari kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan kewenangan, pelanggaran etika dan asusila, pelanggaran hukum dan lainnya dengan beragam dalih.
Dalam situasi ini, semakin sulit rasanya jika dikatakan bahwa parpol adalah media atau sarana rakyat untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingannya kepada pemerintah dan negara. Sebabnya, betapa banyak dagelan politik yang tersaji di hadapan publik tentang perebutan kepentingan politik di antara mereka, ketimbang upaya memikirkan rakyat konstituennya.
Lalu, bagaimana mungkin kita, rakyat biasa, menaruh harapan yang besar kepada lembaga legislatif sebagai penyambung lidah rakyat kepada negara jika mereka seakan lebih nyata menjadi “wakil partai dan golongan” dibanding sebagai “wakil rakyat.” Dalam pembahasan itu, parpol dan perilaku korupsi menjadi dua hal yang saling bersinergi.
Parpol dan Korupsi
Membincangkan parpol tidak dapat dilepaskan dari perbincangan mengenai korupsi. Begitu pula sebaliknya, membahas korupsi akan lekat dengan pembahasan mengenai kinerja parpol. Sekalipun begitu, parpol dan korupsi adalah dua hal yang berbeda dan secara definisi tidak memiliki hubungan.
Akan tetapi, kaitan antara partai politik dan korupsi adalah mengenai aktor dan perilaku. Sebagai konsekuensi dari jabatan publik dan politik yang diperoleh secara kompetitif melalui sarana parpol, seorang elit politik berpotensi untuk menyalahgunakan kekuasaan atau jabatannya. Hal itu karena kekuasaan dan jabatan sarat dengan tarik ulur kepentingan dan pragmatisme politik. Akibatnya, berbagai cara akan dilakukan untuk mencapai kepentingannya, termasuk melakukan korupsi. Terlebih lagi jika kekuasaan dan jabatan itu diraih dengan cara yang tidak gratis melainkan melalui sandera politik.
Menurut Syamsuddin Haris, profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2012), saat ini parpol hampir tidak lagi menjadi pilar demokrasi, tetapi berubah menjadi pilar korupsi. Parpol disebut pilar korupsi karena banyak penyelenggara negara (khususnya di lembaga legislatif) yang berasal dari parpol terjerat korupsi. Sungguh ironis memang, karena parpol dan elit politik telah diidentikkan dengan perilaku korupsi.
Korupsi di Indonesia memang kian mengganas. Korupsi menghancurkan kehidupan manusia serta merusak negara dan institusi. Korupsi juga dapat membangkitkan kemarahan masyarakat yang berpotensi mengancam stabilitas dan menambah konflik (Santoso, 2012). Dalam laporan Transparency International (TI), indeks persepsi korupsi (corruption perception index/CPI) Indonesia nyaris stagnan di posisi bawah.
Parahnya, korupsi banyak menyeret elit-elit politik dari latar belakang parpol. Imbasnya, rakyat kemudian alergi dan membenci parpol sekalipun parpol adalah elemen penting dalam berdemokrasi. Akhirnya, terjadinya deparpolisasi yang pada dasarnya terjadi akibat elit politik korup serta demoralisasi demokrasi akibat abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).
Parpol, Gerombolan Belalang, dan Jangkrik
Lebih lanjut, meminjam istilah Komaruddin Hidayat (2012) fenomena korupsi elit politik dianalogikan sebagai “gerombolan belalang”. Kumpulan belalang itu berbondong-bondong terbang ke sana kemari untuk mendapatkan hasil makanan yang tinggal memanennya tanpa kerja keras dan memikirkan masa depan bangsa. Terbangunnya budaya politik yang dikuasai oleh “gerombolan belalang” itu terjadi karena parahnya mutu parpol akibat kader yang duduk di legislatif tidak mumpuni.
Uraian di atas memberi gambaran betapa parpol di Indonesia dipandang tumpul dalam memainkan peran dan fungsinya dalam sistem politik. Buktinya, anggota parlemen yang keseluruhan berasal dari parpol dan seharusnya mendengar aspirasi warga negara justru banyak yang melakukan komersialisasi politik dan jabatan. Kasus terbaru adalah dugaan pencatutan nama presiden dan wakil presiden yang dilakukan oleh pemimpin lembaga legislatif untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Lalu, jika begitu, bagaimana mungkin parpol bisa memenuhi hakikat keberadaan dan penciptaannya sebagai sarana penyampai aspirasi rakyat jika faktanya jauh panggang dari api.
Meminjam analogi Sobary (2000), hal seperti itu sama laksana membandingkan parpol dengan jangkrik. Memang tidak ada korelasi serta tidak ada kaitan ganjil antara keduanya. Lalu apa beda dan samanya parpol dan jangkrik? Parpol hidup seolah cuma di DPR dan di dewan pimpinan pusat partai. Sedangkan jangkrik hidupnya di sawah, terutama sawah yang tidak digenangi air. Musim jangkrik berlangsung setahun sekali, yakni mulai sekitar bulan pertama turun hujan sampai bulan keempat, setelah panen jagung selesai, disusul panen kacang tanah. Namun ketika sawah mulai diairi untuk dibajak dan diganti tanaman padi, jangkrik bagaikan lenyap tanpa jejak dari persawahan dan malam menjadi sunyi oleh suara jangkrik.  Lain lagi dengan parpol. Ia muncul di tengah kita, menghiasi berbagai sisi kehidupan tiap lima tahunan terutama ketika masa kampanye tiba dengan segala janji politis. Selebihnya kita seolah tidak pernah tahu, apakah partai itu ada atau tidak dalam masyarakat kita. Setelah masa kampanye dan pemilu usai, parpol di parlemen disibukkan oleh pilihan antara koalisi atau oposisi. Kedua pilihan itu memiliki konsekuensi yang berbeda. Setelah memilih jalannya, partai kemudian hanya disibukkan dan menyibukkan dirinya dengan urusan politik partainya.  Soal urusan rakyat yang telah memilih dan mendudukkan kadernya di parlemen? Itu urusan belakang. Sementara kehadirannya di masyarakat akan kembali lima tahun mendatang. Persis seperti jangkrik yang nyanyiannya menghias malam hanya saat musimnya tiba.

                                                                                                              —————- *** —————–

Tags: