Getir Sanggar Tari Mardi Budoyo di Tengah Covid-19

Siswa-siswi sekolah tari Mardi Budoyo, Kota Probolinggo. Selama pandemi Covid-19 ini, tak pernah ada pemasukan karena tidak pernah tampil. [Wiwit Agus P]

Tak Pernah Mendapatkan Penghasilan untuk Biaya Sekolah Tarinya
Kota Probolinggo, Bhirawa
Di era serba uang seperti saat ini, masih ada pengajar yang mau mengajar tanpa gaji sepeser pun. Mereka adalah pengajar di sekolah tari Mardi Budoyo, Kota Probolinggo. Tembang guru tanpa tanda jasa, mungkin hanya disandang lima pengajar di Sekolah Tari Mardi Budoyo. Pengajar di sekolah yang berlokasi di Jalan Juanda, Kelurahan Tisnonegaran, Kecamatan Kademangan, Kota Probolinggo tersebut tak memperoleh gaji.
Pihak sekolah tidak memungut iuran sama sekali ke muridnya. Sedang bantuan dari pemerintah atau swasta, bahkan sumbangan dari wali atau orang tua murid juga tidak ada. Meski begitu, sekolah kesenian yang didirikan Yuyun Widowati itu, tetap berjalan hingga saat ini.
Sekolah yang masih menempati rumah tinggal orang tuanya tersebut, didirikan pada 3 Desember 2009 lalu. Untuk menjaga sekolah yang didirikan tetap survive, Yuyun mencari dana dengan cara mengamen. Anak didiknya menari dan beratraksi, dan dana yang didapat dari warga dimasukkan ke kas. “Uang saweran dari warga itu kita kumpulkan,” ujarnya, Selasa (6/10).
Namun, sejak pandemi Covid-19 kegiatan seperti itu tidak ada lagi. Bahkan, pertunjukan menyambut tamu kapal pesiar dari mancanegara, juga tidak ada. Sehingga selama itu, Yuyun tidak pernah mendapatkan penghasilan untuk biaya sekolah tarinya. “Kami berharap kapal pesiar ke sini lagi pasca Covid-19,” harapnya.
Adapun pengajar yang aktif hingga kini, meski tak mendapatkan apa-apa, berjumlah 4 orang. Di antaranya, Rahmat Hidayatullah Rizki Trisyahoutra, Ines Septiyarining dan Nur Aulia. Sementara murid yang belajar di sana hingga 80 orang. Namun, kini tinggal 65 anak karena ada yang sudah menikah dan bekerja di luar kota.
Anak-anak yang belajar di sanggar tari Mardi Budoyo terdiri dari siswa SD, SMP dan SMA. Sedangkan belajar tarinya setiap Sabtu pukul 19.00 WIB hingga pukul 21.00 WIB untuk SD. Sementara untuk pelajar SMP dan SMA jadwal belajar narinya, setiap Minggu pagi. “Saat pelajaran, tidak ada konsumsi. Uang dari mana kami. Air minum dan kue anak-anak bawa sendiri,” tuturnya.
Para siswanya diajari tari Reog Ponorogo, Klono Sewandono, Bujangganing, Jatilan, Reog Singo Barong , Barong Jeprok, Gambyong Parianong, Serimpi, Bondan, Bajdor Jahit atau Jaipong, Lenggang Probolinggo atau Rerere dan Lenggasor (Lengger Banyumasan) dan Tari Minak Jinggo Dayun.
Selama ini kalau beberapa kali pernah tampil di Taman Mini Indonesia (TMII) Jakarta. Bahkan, siswanya pernah diminta menari di lautan Pasir Gunung Bromo oleh warga berkebangsaan Amerika. “Ternyata tarian Srimpi yang kami bawakan dipakai iklan RedBull. Shootingnya 2 hari tahun 2014,” paparnya.
Meski tidak memiliki penghasilan sama sekali, namun ia tetap konsisten berusaha agar sekolah tarinya tidak sampai ditutup. Mengingat, tujuan dari pendirian sekolah kesenian ini untuk melestarikan kesenian tradisional. Selain itu, untuk mengajari anak-anak atau generasi muda mengenal alat musik, tarian dan tokoh-tokoh kesenian.
“Mereka kan tidak tahu siapa Warok itu. Kami juga mengajarkan Macapat. Macapat itu tembang-tembang Jawa yang berisi petuah kehidupan,” bebernya. Perempuan yang pernah mengajar ekstra kurikuler kesenian di salah satu sekolah swasta ini mengatakan, sanggar atau sekolahnya selalu terbuka untuk dikunjungi.
Terutama siswa yang ingin tahu secara kilat nama dan jenis tembang Jawa, nama-nama alat gamelan dan tokoh-tokoh yang ada di kesenian tari. “Kami selalu membuka diri. Yang penting bisa membantu sekolah kami, sehingga tetap survive,” harapnya.
Ketua DKKPro Peni Priyono mengatakan, saat ini perkembangan kesenian di Kota Probolinggo semakin baik. “Meski belum tentu baiknya perkembangan kesenian itu selaras dengan minat warganya,” terangnya. Terlebih, masyarakat kini lebih menyukai kesenian dan budaya impor.
Karena itu, butuh kepedulian semua pihak agar kesenian lokal mendapat tempat di hati warganya. Kebanggaan dengan kesenian lokal itulah yang selama ini menjadi salah satu fokus kegiatan yang digagas DKKPro. Tentu, seniman juga wajib untuk terus berkarya. Karya-karya baru wajib dibuat dalam proses berkesenian. Serta, tidak mengabaikan perkembangan zaman.
Dalam Apresiasi Seni Probolinggoan yang didakan setiap tahun, ditampilkan kesenian yang memiliki napas Kota Probolinggo. Di antaranya seni tari yang menampilkan tarian Bujang Ganom dan Linggo Sengkolo karya Sanggar Mardi Budoyo. Serta, tari Ngoco dan Tebalan karya sanggar Bina Tari Bayu Kencana (BTBK).
Rangkaian Apresiasi Seni Probolinggoan sendiri sudah dimulai sejak beberapa tahun lalu. Selain lomba cipta lagu, juga ada lomba cipta puisi Probolinggo, lomba cerita rakyat Probolinggo, serta lomba musik bonang papat. Selain itu, ada juga kegiatan apresiasi seni tari dan kemah teater.
“Kami berharap, semakin banyak seniman yang terlibat untuk mengembangkan kesenian di kota ini. DKKPro hanya memfasilitasi, tentu bekerja sama dengan banyak pihak. Terutama pemkot dalam hal ini Disbudpar,” ujar Peni yang merupakan seniman tari tersebut.
Dalam setiap kegiatan, juga diberikan penghargaan pada seniman kota yang sudah meninggal dunia. Di antaranya, Soepinto Basuki atau yang akrab dipanggil Trombol, yang merupakan seniman teater anak. Kemudian, Ningrat, seniman musik tradisi serta Joko Sudarto yang merupakan seniman rupa.
Sementara itu, Kepala Disbudpar Kota Probolinggo Budi kris mengatakan, Disbudpar akan terus mendukung upaya DKKPro dalam mempertahankan dan mengembangkan kesenian di kota mangga.
“Dewan kesenian itu menjadi mitra kami dalam mengembangkan seni dan budaya daerah. Kami tentu tidak bisa sendirian membina kesenian di kota ini. Salah satunya kami butuh dukungan dari dewan kesenian,” jelasnya. Ia berharap, upaya yang dilakukan DKKPro ini nantinya membuat masyarakat bangga akan kesenian lokal.
Hal senada juga disampaikan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Mochamad Maskur. DKKPro yang juga membina kesenian lokal melalui sanggar, juga sangat membantu lembaganya. “Anak-anak di sanggar itu kan rata-rata pelajar. Karena itu, pembinaan yang kami lakukan juga selaras dengan yang diupayakan oleh Dewan Kesenian,” tambahnya. [Wiwit Agus P]

Tags: