Ghibah dan Merendahkan Orang Lain

Dr Lia Istifhama, M.E.I.

Oleh:
Dr Lia Istifhama, M.E.I.
Wakil Sekretaris MUI Jatim

Dalam Q.S Al-Hujuraat ayat 11-12 diterangkan: ‘Wahai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang’.
Dari kedua ayat tersebut, kita diingatkan bahwa engganlah meremehkan orang lain karena bisa jadi, yang kita pandang rendah sehingga mudah kita ghibah, justru jauh lebih tinggi kualitas dirinya. Ghibah atau menggunjing, memang tidak membatalkan puasa, namun menghilangkan ibadah puasa kita. Dan ghibah sendiri, tanpa disadari adalah perbuatan yang menunjukkan sikap seseorang merendahkan orang lain. Keburukan orang lain yang dibahas dalam sebuah forum terbatas, seakan menunjukkan bahwa subyek yang dighibah adalah orang yang lebih rendah kualitasnya sehingga mudah untuk dijadikan sasaran ghibah.
Tentu, hal ini sangat disayangkan. Mengingat, seseorang yang direndahkan sehingga layak menjadi bahan ghibah, bisa jadi orang yang kita butuhkan kelak. Secara sederhana, bisa jadi, siapa yang kita pandang inferior saat ini, kelak akan superior. Superior adalah seseorang yang dighibahkan, kelak menjadi orang mulia yang dibutuhkan belas kasihnya.
Dengan begitu, ghibah seharusnya menjadi aktivitas yang dihindari karena mengandung hukum karma atau konsekuensi. Dalam Islam, peringatan untuk tidak merendahkan orang lain, dicontohkan pada Surat Al An’am ayat 10: ‘Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa Rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (‘azab) olok-olokan mereka’.
Sedangkan dalam hadis, juga diterangkan konsekuensi dari mengghibah ataupun mencari kekurangan orang lain: ‘Barangsiapa mengintai-ngintai (menyelidiki) keburukan saudaranya semuslim maka Allah akan mengintai-intai keburukannya. Barangsiapa diintai keburukannya oleh Allah maka Allah akan mengungkitnya (membongkarnya) walaupun dia melakukan itu di dalam (tengah-tengah) rumahnya. (HR. Ahmad)’.
Oleh sebab itu, marilah kita berhati-hati dalam menilai kekurangan orang lain sehingga mudah menjadikannya bahan ghibah. Terlebih dalam sebuah hadis diterangkan: ‘Berhati-hatilah terhadap buruk sangka. Sesungguhnya buruk sangka adalah ucapan yang paling bodoh’. (HR. Bukhari).
Maka, kebodohan akan nampak pada kebiasaan orang yang suka mengghibah. Dan sebaliknya, berprasangka baik adalah bagian dari ibadah, seperti yang ditegaskan dalam Hadis berikut: ‘Baik sangka adalah termasuk ibadah yang bagus’. (HR. Abu Dawud, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 3722).
Dengan begitu, jikalau kita temui sifat manusia yang memiliki sifat ghibah dan merendahkan orang lain, maka justru itulah ciri manusia yang belum menyadari atas kebodohannya sendiri. [*]

Rate this article!
Tags: