Gian Cordana, Siswa SMA Petra 2 Peraih Medali Emas Olimpiade Matematik di Rumania

Gian Cordana (tengah) menunjukkan sertifikat juara I yang diraihnya dalam IMO 2018 di Rumania pertengahan Juni lalu pada Kepala Cabang Dindik Jatim wilayah Surabaya Dr Sukaryantho.

Hadapi Matematika dengan Logika, Tangguhkan 600 Lawan dari 107 Negara
Kota Surabaya, Bhirawa
Menyelesaikan soal matematika identik dengan rumus-rumus baku seperti yang ada di buku. Namun, matematika sebenarnya lebih terkait dengan logika pemecahan masalah. Itulah kunci yang dipegang Gian Cordana selama mengikuti International Mathematic Olimpiade (IMO) di Rumania pertengahan Juli lalu.
Bangga sekali Gian menenteng medali emas yang ia dapatkan jauh-jauh dari Rumania. Medali yang sudah tiga tahun ia nanti-nantikan setelah dua kali mengikuti olimpiade serupa, namun hanya puas dengan perunggu dan perak. Kegigihan Gian itu pun membuahkan hasil dan melambungkan nama Surabaya, Jawa Timur sekaligus Indonesia di kancah persaingan pelajar tingkat dunia.
“Mulai tahun 2016 sudah ikut, waktu itu cuma dapat perunggu. Tahun berikutnya dapat perak dan tahun ini dapat medali emas,” tutur dia bangga saat diterima Kepala Cabang Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim wilayah Surabaya Dr Sukaryantho.
Gian bercerita, dalam perhelatan IMO dia harus bertanding melawan 600 peserta dari 107 negara. Jauh ke Rumania, hanya enam soal yang harus dia hadapi. Tapi jangan salah, satu soal dalam IMO, Gian bisa menjawabnya dengan uraian sebanyak delapan halaman. “Kalau di sekolah, satu halaman bisa untuk menjawab lima soal. Ini sebaliknya,” katta dia.
Enam soal itu terdiri dari empat macam, antara lain seputar aljabar, kombinatorika, geometri dan teori bilangan. Dari empat macam soal tersebut, Gian sempat dibuat kewalahan dengan soal geometri. Masing-masing soal membutuhkan dua halaman untuk menjabarkan jawabannya. Sementara untuk soal aljabar yang paling dia sukai, masing-masing membutuhkan delapan halaman untuk menguraikan jawaban.
“Dua halaman itu paling pendek. Karena jawaban dari soal-soal itu lebih bersifat pembuktian dari sebuah permasalahan,” kata dia.
Berbeda karakteristik soal matematika di sekolah yang selalu erat dengan rumus untuk menjawabnya. Soal-soal dalam IMO lebih banyak diuraikan dengan penalaran. “Jadi nggak pakai banyak rumus. Malah jawaban isinya uraian tulisan,” tandasnya.
Gian mengaku, soal-soal karakteristik soal matematika seperti itulah yang membuatnya selalu tertantang. Sejak kecil, saat duduk di bangku SD, Gian sudah asyik dengan dunia matematisnya. Dia mengasah potensinya dengan memperbanyak menyelesaikan tantangan soal matematika. “Saya melihat matematika itu tidak sekadar angka. Dia lebih dari simbol-simbol. Tetapi lebih tentang permasalahan yang membutuhkan pembuktian,” kata dia.
Gian menilai, kebanyakan anak takut menghadapi matematika karena rumus-rumus yang banyak sekali untuk dihafalkan. Khususnya dalam kurikulum di sekolah. Padahal, matematika itu harus dipahami, bukan dihafalkan. Bahkan dalam soal konfigurasi dalam IMO, dia mengerjakan soal tanpa rumus sama sekali. Soal itu diselesaikan dengan uraian penjelasan dan gambar.
“Saya sendiri kesulitan menghafal rumus-rumus dalam kurikulum sekolah. Tapi saya terus berlatih soal-soal. Karena saya juga tidak terlalu senang ambil les,” tutur pemenang Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2015 tersebut.
Kepala Cabang Dindik Jatim Wilayah Surabaya Dr Sukaryantho mengakui, pencapaian Gian menjadi simbol kualitas pendidikan di Surabaya dan Jawa Timur. Pihaknya yakin, akan ada lebih banyak lagi anak-anak berbakat yang akan tumbuh layaknya Gian. “Ini menjadi motivasi kita bersama untuk mendongkrak potensi anak-anak Surabaya. Mereka layak menjadi ilmuwan kelas dunia di zaman yang akan datang,” tutur Sukaryantho.
Menurut Karyantho, usaha yang dilakukan Gian patut menjadi inspirasi bagi pelajar Surabaya lainnya. Khususnya dalam memaknai materi pelajaran tidak sebatas apa yang dilihat dalam buku. Lebih dari itu, pembelajaran di sekolah merupakan proses nyata dalam kehidupan. “Di sini, pelajar akan memaknai dirinya sebagai pembelajar sejati. Ketika apa yang dipelajari secara tekstual dipahami juga pada ranah kontekstual,” pungkas Karyantho. [Adit Hananta Utama]

Tags: