Globalisasi dan Nasionalisme Kita

Umar SholahudinOleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Surabaya

Tanggal 20 Mei 1908 merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia. Dan persitiwa tersebut menjadi salah satu embrio paling penting dalam sejarah lahirnya Indonesia. Bermula dari pertemuan sebuah gagasan-gagasan besar nan cerdas dari dua anak bangsa yang terpelajar, yakni dr. Wahidin Yudirohusodho dan Dr. Soetomo, lalu berdirilah Boedi Utomo.
Kini usia kebangkitan nasional bangsa ini telah memasuki usia 107 tahun. Sebuah usia yang sudah penuh dengan kematangan. Dan di hari Kebangkitan Nasional di tahun 2015 ini, diharapakan semua anak bangsa ini melakukan refleksi dan revitalisasi semangat nasionalisme dan kebangkitan baru menuju bangsa yang lebih beradab dan mandiri.
Arus perubahan besar telah terjadi dan bergerak begitu cepat di seantero dunia. Dan ternyata perubahan besar tersebut tidak sekedar perubahan yang bergerak secara alamiah, namun by design. Ada idiologi dominan yang menggerakan perubahan besar tersebut, yakni kapitalisme. Perubahan besar ini digambarkan secara detail oleh Karl Polanyi (2003) sebagai transformasi besar yang dikendalikan oleh idologi dominan dunia, yakni kapitalisme.
Idiologi ini yang coba disemburkan ke berbagai pelosok dunia untuk bisa diterapkan sebagai idiologi tunggal dalam praktek pembangunan. Kita hidup di dalam dunia transformasi yang mempengaruhi hampir setiap aspek dari apa yang kita lakukan. Entah baik atau buruk, kita didorong masuk ke dalam tatanan global yang tidak dipahami sepenuhnya oleh siapapun, tetapi dampaknya dapat dirasakan kita semua. Ini yang disebut oleh A. Giddens sebagai globalisasi (Giddens, 2001: 1).
Kondisi tersebut apa yang digambarkan oleh Futurolog John Naisbit dan Alvin Tofler sebagai gambaran dunia yang semakin sempit. Sebagaimana dikemukakan ahli komunikasi Kanada, McLuhan; dunia bagaikan suatu kampung besar (global village). Dan kehidupan kita tak dapat melepaskan diri dari kehidupan global. Batas-batas teritorial sebuah negara dipahami bukan sekedar batas geografis yang memisahkan sebuah negara dengan negara lain, melainkan batas-batas budaya, yang memisahkan sebuah komunitas budaya yang satu dengan yang lain. Mengikuti integrasi sistem ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi global, dalam aspek budayapun akan terjadi hal yang sama. Globalisasi menuntut adanya pengintegrasian sistem budaya nasional ke dalam sistem budaya global yang liberalistik. Dalam pandangan kaum modernism, globalisasi dan modernisasi akan melahirkan homogenisasi cultural (penyeragaman budaya).
Tesis Homogenisasi Budaya
Tesis homogenisasi budaya menyatakan bahwa globalisasi, kapitalisme, dan konsumerisme cepat atau lambat akan mendorong hilangnya keanekaragaman budaya. Tesis ini menekankan tentang kekhawatiran meningkatnya “kesamaan” budaya massa dan berasumsi mulai hilangnya otonomi budaya-budaya lokal. Karena semuanya direduksi dan terintegrasi ke dalam sistem budaya global. Penetrasi budaya global yang dominan direpresentasikan oleh budaya Barat dan Amerika yang semakin kuat dan keras seiring bergulirnya globalisasi. Di sana ada standarisasi yang dibalut dengan idiologi liberalisme dan kapitalisme
Homogenisasi kultural memiliki kecenderungan sangat kuat akan mendorong hilangnya keragaman budaya, sekaligus menghapuskan otonomi dan identitas budaya lokal. Nilai, norma dan lembaga sosial dan kultural masyarakat -pelan tapi pasti-  akan mengalami proses erosi yang terstruktur, sistematis dan massif yang kemudian berujung pada pelenyapan struktur budaya lokal.
Perlu diingat bahwa globalisasi, kapitalisme dan konsumerisme bukanlah agenda atau proyek global yang tanpa nilai dan kepentingan. Globalisasi, kapitalisme, dan konsumerisme adalah proyek global yang dirancang dan dijalankan secara matang, terstruktur dan sistematis oleh negara-negara industry maju (kapitalis) untuk menata sistem kehidupan global ini menjadi seragam sesuai dengan nilai, ideology dan kepentingan mereka. Konsekwensi dari rancangan global tersebut tentu saja akan berdampak pada hilangnya berbagai kearifan lokal dan beragaman budaya lokal. Dan efek dominonya, akan berdampak pada nasionalisme bangsa.
Budaya lokal “dipaksa” tunduk  pada kemauan dan kepentingan global atau negara-negara industry maju. Ini mengingatkan nalar pikir saya pada pernyataan Anthony Gidden (2001:XVI) yang mengatakan, globalisasi telah merombak cara hidup kita besar-besaran. Ia bermula dari Barat, membawa jejak kuat kekuasaan politik dan ekonomi Amerika, serta mempunyai konsekwensi yang sangat tidak seimbang. Globalisasi juga melahirkan pola hubungan yang tidak seimbang dan sarat dominasi negara maju atas negara berkembang atau miskin.
Homogenisasi budaya yang dirancang dan disemburkan melalui globalisasi, kapitalisme, dan konsumerisme semakin merombak tata laku dan pola perilaku budaya masyarakat (lokal). Keseragaman juga telah menimbulkan kekacauan dan hilangnya identitas sosio-kultural di tingkat masyarakat.  Identitas sosio-kultural masyarakat semakin tergerus seiring dengan kuat dan gencarnya penetrasi budaya global (Barat). Contoh yang paling sederhana dalam masalah perilaku dan budaya makan. Masyarakat kita sudah gandrung dengan pola makan instan ala Barat (baca: Mcdonald, KFC,  dll). Budaya serba instan juga merembet pada aspek kehidupan yang lain. Gaya hidup, norma, dan nilai, adat dan kebiasaan, keyakinan agama, pola kehidupan keluarga, cara produksi, dan konsumsi masyarakat pribumi rusak akibat penetrasi dan homogenisasi kultur Barat (Sztompka, 2004:108).
Memperkuat Imunitas Nasionalisme
Globalisasi adalah sebuah keniscayaan. Namun demikian, sebagai bangsa yang memiliki nilai dan idilologi Pancasila, kita mesti berfikir dan bertindak kritis. Salah satu yang penting dalam merespon dampak globalisasi adalah, bagaimana membangun imunitas nasionalisme kita. Kita sekarang sedang menghadap “perang asimetris” melalui teknologi informasi dan komunikasi. Kita sangat membutuhkan sikap nasionalisme genuine, bukan kepura-puraan yang sarat dengan pencitraan.
Membangun imunitas nasionalisme dengan cara menyuntikan “virus kekebalan” ke setiap tubuh pribadi-pribadi anak bangsa. Salah satunya adalah membudayaan sikap mencintai Indonesia seutuhnya. Contoh sederhana; “cintailah produk-produk dalam negeri”. Pada saat yang sama kita butuh masinis unggul; bangsa ini membutuhkan pemimpin yang memiliki nasionalisme organik, yakni pemimpin yang otentik, genuine yang lahir dari rahim rakyatnya, merasakan penderitaan ibu pertiwi. Pemimpin yang mampu merasakan emosi, semangat dan apa yang dirasakan rakyat Indonesia, memihak kepada mereka dan mengungkapkan apa yang dialami dan kecenderungan-kecenderungan objektif masyarakat. Pemimpin yang memiliki ketegasan dan keberanian untuk melawan setiap upaya dari pihak manapun yang akan menghancurkan kedaulatan nasional.
Bukan pemimpin “topeng”, karbitan yang penuh dengan pencitraan dan kepura-puraan. Bukan pula pemimpin yang mudah gadaikan harga diri bangsa dan mudah “mesem-mesem” ketika ditawati dollar.Mantan Presien Soekarno pernah mengingatkan, indonsia akan menjadi bangsa yang besar dan maju, jika nasionalisme bangsa ini dibangun diatas tiga pilar utama “Trisakti”, yakni , 1. Berkemandirian dalam Ekonomi; 2. Berkedaulatan dalam Politik; dan 3. Berkepribadian dalam Kebudayaan. Pemimpin berjiwa nasionalisme otentik ini, diharapkan akan dapat membangun kembali nasionalisme baru Indonesia menuju negara yang maju, mandiri dan berdaulat. Inilah pekerjaan rumah kita sekarang dan akan datang.

                                                                                    ————————– *** ————————–

Rate this article!
Tags: