Globalisasi dan Perjuangan Identitas LGBT

Najamuddin KhairurrijalOleh :
Najamuddin hairur Rijal
Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Perdebatan tentang Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender/Transeksual (LGBT) kembali mengemuka. Ada pihak yang pro, tetapi lebih banyak lagi yang berdiri pada posisi kontra. Masing-masing pihak memiliki argumentasi. Bagi yang pro, salah satu alasannya adalah menjadi LGBT merupakan bagian esensial dari hak-hak asasi manusia. Namun bagi mereka yang kontra, LGBT adalah penyimpangan bahkan pengingkaran terhadap hakikat penciptaan manusia. Mereka terus berdebat, bahkan kiranya hingga di masa-masa mendatang, apalagi isu dan wacana tentang tuntutan para LBGT untuk diakui eksistensinya bukanlah sesuatu yang baru.
Meski begitu, tulisan ini tidak ingin berdiri pada salah satu pihak, baik pro maupun kontra. Tulisan ini berusaha mengambil posisi objektif tanpa tendensi untuk membela pihak manapun. Tulisan ini diarahkan untuk menjawab bagaimana globalisasi berperan dalam perkembangan kelompok LGBT, terutama di Indonesia? Pertanyaan tersebut menjadi penting, sebab ekspansi wacana (discourse) tentang LGBT kian mengemuka di tengah derap perkembangan globalisasi di berbagai dimensi, dan menjadi sebuah gerakan yang menuntut untuk diterima dalam sistem sosial-masyarakat dan politik.
Fenomena LGBT
Dalam konteks Indonesia, fenomena tumbuh suburnya kelompok dan gerakan LGBT menjadi menarik. Konstruksi sosial, budaya, agama, bahkan politik menjadikan eksistensi mereka sulit untuk diterima dan diakui. Kaum LGBT mendapatkan pandangan negatif dan “kebencian” dalam relasi kehidupan sosial mereka. Kondisi tersisihkan oleh dominasi budaya dan diskursus agama tersebut menjadikan kaum LGBT terus berusaha merebut “identitas” mereka dengan beragam cara.
Instrumen globalisasi kemudian menjadi fasilitas bagi mereka untuk mempertahankan eksistensinya sebagai “manusia” yang ingin dipandang sama dengan manusia yang lain. Hal itu semakin nyata sebab di tengah arus globalisasi kelompok LGBT kian berani menunjukkan eksistensi dan jati diri mereka. Tidak hanya di negara-negara Barat yang menjunjung kebebasan dan nilai-nilai liberal, di Indonesia kelompok LGBT semakin aktif dan gencar memperjuangkan dan menampakkan orientasi seksual dan identitas gender mereka. Tidak heran kemudian jika kelompok atau komunitas LGBT tumbuh subur dengan berusaha menuntut pengakuan atas hak-hak mereka sebagai warga negara dan sebagai manusia.
Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa eksistensi dan perkembangan kelompok LGBT tidak terlepas dari globalisasi politik yang mendorong universalisasi nilai-nilai universal hak asasi manusia. Berjalin berkelindan dengan itu, perjuangan identitas kelompok LGBT menemukan momentumnya seiring keterbukaan sistem politik di Indonesia yang membuka ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan menuntut apa yang mereka sebut sebagai hak.
Isu Global
Selain itu, globalisasi dalam konteks revolusi teknologi informasi dan komunikasi yang berimplikasi pada kesalingterhubungan global memfasilitasi penyebaran ide dan gerakan kelompok LGBT untuk semakin dipandang “ada”. Hal tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa fenomena LGBT merupakan isu global. Kelompok LGBT berusaha memperjuangkan identitas mereka di banyak negara di dunia, beberapa telah berhasil dan beberapa lainnya sedang berjuang.
Menurut Jackson (2009), kapitalisme dan pasar di tengah proses globalisasi telah berkontribusi secara signifikan dalam mengembangbiakkan budaya dan identitas kelompok LGBT. Menurutnya, globalisasi yang ditandai dengan intensifikasi cross-border arus modal, barang, manusia, dan bahkan ide merupakan simbol dari kesalingterhubungan global masyarakat dan budaya. Pada saat yang sama, globalisasi menjadikan ide dan “budaya” LGBT menyebar menembus sekat kultur karena kuatnya penitrasi globalisasi, termasuk mempengaruhi tindakan dan pemikiran seseorang.
Lebih lanjut, pada saat yang sama, banyak negara di dunia belum menerima LGBT sebagai sesuatu yang “normal.” Beberapa negara masih melakukan kriminalisasi terhadap kaum LGBT, sehingga mereka mendapatkan berbagai perlakuan diskriminatif. Perlakuan diskriminatif terhadap LGBT pada akhirnya melahirkan sikap dan stigma negatif serta perasaan tidak suka terhadap keberadaan mereka atau homophobia. Terlebih lagi, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia belum menyebutkan secara eksplisit mengenai orientasi seksual dan identitas gender dalam konsepsi hak asasi manusia.
Menyikapi hal itu, pada tahun 2006 diadakan sebuah Konferensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia LGBT di Montreal, Kanada yang selanjutnya melahirkan Deklarasi Montreal. Deklarasi Montreal berisi rekomendasi agar semua negara mengakui, memenuhi, dan melindungi hak-hak LGBT. Sekaligus, mendesak semua negara dan PBB untuk mengakui dan mempromosikan tanggal 17 Mei sebagai International Day Against Homophobia (IDAHO). Tanggal 17 Mei dipilih karena pada hari yang sama di tahun 1990 World Health Organization mencabut homoseksualitas dari daftar penyakit mental.
Dilematis
Dasar itulah yang bisa jadi menjadi titik beranjak bagi kaum LGBT untuk menuntut eksistensinya diakui dan diterima. Pasalnya, masyarakat internasional melalui PBB memiliki instrumen legal untuk mengakui dan melindungi hak-hak LBGT. Namun alih-alih diterima, di Indonesia, LGBT justru dicaci dan dimaki dengan segala sumpah serapah. LGBT seolah “anak haram ibu pertiwi” yang tidak boleh mendapat tempat.
Apalagi bagi Indonesia, tidak ada kewajiban untuk menerima dan melaksanakan rekomendasi dari Deklarasi Montreal sebab masing-masing negara memiliki kedaulatan dan kepentingan nasionalnya sendiri. Alhasil, ini menjadi dilematis, mengakui hak-hak LGBT sebagai bagian dari penghargaan kepada hak asasi manusia atau tetap berlandaskan pada konstruk sosial-budaya masyarakat (dan juga agama). Sementara pada saat yang sama, massifikasi globalisasi terus mendera dan menjadi instrumen penting kaum LGBT dalam memperjuangkan eksistensinya, seperti melalui penyebaran wacana dengan memanfaatkan fitur-fitur kemajuan teknologi berbasis internet. Kita tidak boleh menutup mata dan abai, namun juga tak boleh menerima tanpa nalar kritis. Mungkin, semua hanya soal waktu.

                                                                                                                     ———- *** ———–

Tags: