GMT sebagai “Ayat” Eksistensi Ilahi

Yunus Supanto(Menolak Mitos Gerhana Matahari Total)

Oleh :
Yunus Supanto
wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik   

Besok, fenomena jagadraya yang indah akan menghiasi atmosfir langit Indonesia. Pada hari Rabu (pasaran hari Jawa, Pon) 9 Maret 2016, akan terjadi gerhana matahari total (GMT). Itu hasil “hisab” ahli astronomi, bahwa posisi bulan dan matahari akan berada dalam satu garis dengan bumi. Sehingga seolah-olah rembulan “menelan” habis matahari. Walau siang, bumi akan gelap bagai malam. Situasi inilah (gelap sebentar) yang menimbulkan berbagai mitos di berbagai belahan dunia.
Berbagai bangsa, di Amerika, Jepang, Perancis sampai Afrika, memiliki mitos tentang gerhana. Termasuk Columbus (penjelajah dunia) pernah memanfaatkan gerhana bulan dengan mitos kemarahan dewa di Afrika. Di Jawa, lebih lagi. Dulu, GMT dihubung-hubungkan dengan situasi buruk, pertanda akan terjadi peristiwa besar. Situasi buruk bersamaan dengan penampakan Betara-kala, lambang perilaku buruk.
Tetapi mitos tentang gerhana (matahari maupun rembulan), dipatahkan pada sekitar dekade tahun 630-an Masehi. Saat itu warga Madinah (Arab) dilintasi gerhana matahari. Benar, terjadi raut sedih pada wajah nabi Muhammad SAW. Tetapi segera diutus seseorang memanggil masyarakat untuk mengerjakan shalat gerhana. Bahkan sebagian ulama menafsirkan ajakan shalat gerhana sebagai wajib, terutama pada area yang dilintasi (bisa melihat).
Raut sedih pada wajah Kanjeng Nabi SAW, ternyata disebabkan wafatnya putra beliau (Ibrahim r.a.). Pada hadits (shahih) dinyatakan, bahwa kedua matahari dan rembulan merupakan tanda kekuasaan-Nya. Dan kedua gerhana (matahari dan gerhana bulan) bukan pertanda kematian maupun kelahiran. Usai shalat gerhana, Nabi SAW ber-khutbah (mirip shalat Id, hari raya Idul Fitri). Isinya memerintahkan untuk berdoa,  bertakbir serta ber-sedekah.
Pada dekade itu peradaban dunia tentang astronomi mengalami revolusi pemahaman. Diantaranya, pernyataan tentang bentuk bumi yang bulat (bagai kelereng). Ingat dulu, Galelia Galileo, dihukum mati oleh rezim gereja karena menyatakan bentuk bumi yang bulat. Sehingga pengertian tentang bumi yang datar (tidak bulat) terus berlaku, sesuai dengan “perasaan” panca-indera. Pengertian ini berlaku sampai abad ke-7 Masehi. Bahkan sampai sekarang, banyak komunitas (ilmuwan pula) masih menentang bentuk bumi bulat.
Mitos menjadi Sunnatullah
Pada revolusi pemahaman ke-astronimi-an, Nabi Muhammad SAW menyampaikan wahyu. Semula otoritas (dan originalitas) wahyu juga dianggap “gila.” Hanya sebagian warga kota Madinah yang percaya. Itupun disebabkan yang mengajarkan adalah sosok Kanjeng Nabi SAW, yang bergelar al-Amin, terpercaya. Ke-astronomi-an, baru dikembangkan oleh ilmuwan muslim pada sekitar abad X dan XI. Salahsatunya, Al-Batanni, hidup pada tahun 858 sampai 929 Masehi.
Salahsatu karyanya yang paling populer adalah kitab “al-Zij al-Sabi.” Al-Batanni banyak mengoreksi perhitungan Ptolomeus mengenai orbit bulan dan planet-planet lainnya. Dia membuktikan kemungkinan gerhana matahari tahunan, menjadikan GMT bukan mitos, melainkan “sunnatullah” (keniscayaan) yang rutin. Ia juga menghitung secara lebih akurat sudut lintasan matahari terhadap bumi. Sehingga diketahui, sekali putar (setahun) bisa dihitung dalam hari.
Hasilnya, perhitungan yang sangat akurat mengenai lamanya setahun matahari 365 hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik. Padahal sampai saat itu, seluruh dunia menghitung waktu setahun sebagai 364 hari. Karena itu, diperlukan penambahan satu hari dalam empat tahun, atau dikenal sebagai tanggal tahun kabisat. Yakni, pada setiap bulan Pebruari pada tahun yang bilangannya bisa dibagi 4. Seperti tahun ini (2016) usia bulan Pebruari selama 29 hari. Biasanya 28 hari.
Sebagai keilmuan, astronom dalam Islam menempati posisi istimewa, sebagai bagian terpenting ibadah mahdloh (utama). Selain itu, banyak ayat dalam Al-Quran, didahului dengan sumpah Allah tentang waktu. Perhitungan astronomi dalam Islam dikenal sebagai ilmu falaq. Sangat penting untuk mengetahui dimulainya waktu shalat, puasa, dan haji. Tiga rukun Islam ini, seluruhnya ditentukan berdasar perhitungan waktu.
Dalam hal falaqiyah, Al-Battani mengusulkan teori baru untuk menentukan kondisi dapat terlihatnya bulan baru. Ini sangat penting untuk menentukan datangnya bulan Ramadhan (serta (Idul Fitri dan Wukuf di Arafah). Hasil sampingnya, untuk pertama kali, seluruh dunia mengenal satu hari ditetapkan setara dengan 24 jam. Selanjutnya, ia juga merevisi orbit rembulan dan planet lain dalam tata-surya.
Banyak buku fenomenal karya Al-Battani diterjemahkan bangsa Eropa. Diantaranya buku berjudul  “De Scienta Stelarum De Numeris Stellarum,” kini masih disimpan di Vatikan. Tokoh-tokoh astronomi Eropa seperti Copernicus, Regiomantanus, Kepler dan Peubach tak mungkin mencapai sukses tanpa jasa Al-Batani. Copernicus dalam bukunya, “De Revoltionibus Orbium Clestium” mengaku berutang budi pada Al-Battani.
Ramalan Ecek-ecek
Seluruh ahli falaq (astronom Islam), semula adalah ulama yang rata-rata hafal Al-Quran. Termasuk Al-Battani yang hafal Al-Quran pada usia 10 tahun. Seiring pertambahan usia (dan pemahaman tafsir Al-Quran), mulai giat meng-kaji Al-Quran lebih seksama. Selain astronomi, bidang keilmuan lain paling disukai adalah fisika, matematika, obat-obatan, anatomi (kedokteran).
Al-Battani, lebih jauh meng-kaji Al-Quran. Yakni, surat Yasin ayat ke-38 sampai 40 (QS 36:38-40).  Terjemahannya, “Dan matahari ia berjalan pada orbitnya baginya, demikian itulah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan rembulan, Kami telah menetapkan padanya tempat-tempat peredaran sehingga ia kembali lagi seperti tandan yang tua. Tidaklah matahari akan menyusul rembulan, dan rembulan serta malam tidak mungkin mendahului siang, dan masing-masing pada garis edarnya mereka berenang.”
Astronom muslim yang lain adalah, Al-Biruni. Ia menegaskan, bahwa bumi, disertai rembulan mengelilingi matahari (sebagai induk gugusan planet galaksi kecil). Bersama matahari sebagai induk, bumi dan rembulan berputar mengitari “sesuatu,” masing-masing pada garis edarnya mirip rangkaian paralel. Begitu pula astronom Al-Yunus, yang secara khusus mendalami pergerakan rembulan, bumi dan matahari. Ia menggunakan astrolabe (semacam teropong bintang) berdiameter 1,4 meter.
Hasilnya, Al-Yunus menemukan adanya kawah di bulan. Ia juga membuat catatan sangat detil berupa 10 ribu kedudukan matahari, bumi dan rembulan dalam setahun. Tak terkecuali, rekaman sunnatullah GMT. Karena perputaran itu, posisi antara induk (matahari) dengan rembulan bumi, berada pada satu garis lurus. Bumi, bisa menutup cahaya matahari untuk rembulan. Begitu pula rembulan bisa menutup cahaya matahari untuk bumi. Untuk meng-abadi-kan dedikasinya, dunia astronomi memberi nama kawah di permukaan rembulan sebagai “kawah Al-Yunus.”
Maka ironis, manakala GMT masih digunakan sebagai pertanda mitos. Beberapa paranormal memanfaatkan GMT dengan berbagai ramalan. Termasuk terjadinya kegaduhan politik, ekonomi, maupun bencana alam. Padahal kegaduhan politik, sudah biasa terjadi, sebelum terjadinya GMT. Ramalan kegaduhan politik, memang paling gampang diucapkan, karena pasti selalu terjadi sepanjang tahun. Misalnya reshuffle kabinet, bukanlah kegaduhan besar.
Tetapi tidak ada satupun paranormal yang berani meramal bakal terjadi pergantian presiden pada tahun 2016. Juga tidak ada yang berani meramal kapan terjadinya moratorium UN (Ujian Nasional) sekolah. Yang diramal hanya ecek-ecek, dan dipercaya oleh masyarakat bermental ecek-ecek pula.

                                                                                                                    ———   000   ———

Tags: