Golput Bentuk “Pelarian Politik”

foto ilustrasi

Golput atau tidak menggunakan hak pilih dalam pilkada merupakan bentuk “pelarian politik” dan ketidakberhasilan untuk memikul tanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Masyarakat harus mengubah paradigma yang dinilai salah selama ini. Masyarakat harus menyadari jika golput tersebut bukan hak dan bukan bagian dari hak asasi, melainkan salah satu bentuk kewajiban sebagai warga negara.
Jika memberikan suara dalam pilkada dianggap sebagai hak, maka akan muncul persepsi faktor itu dianggap biasa saja, termasuk mau digunakan atau tidak dalam demokrasi.
Jika kesempatan itu diberikan, lalu tidak digunakan karena memilih dianggap hanya sebatas hak, akan muncul pemahaman untuk tidak bertangung jawab atas pemerintahan karena tidak ikut memberikan suara.
Seolah-olah, kalau golput, tidak perlu bertanggung jawab karena tidak memilih. Itu memunculkan kecenderungan untuk tidak peduli. Namun, kalau memilih dianggap menjadi sebuah kewajiban, akan muncul rasa bersalah jika tidak ikut menggunakan suara dalam pilkada. Kemudian, jika sudah terlibat dalam demokrasi, masyarakat akan merasa berkewajiban untuk mengawal pemerintahan yang dihasilkan.
Jika mengambil keputusan untuk golput, akan muncul kemungkinan pemimpin yang terpilih tidak sesuai dengan keinginan.
Jika kondisi itu yang muncul, masyarakat akan mudah terpengaruh, bahkan mudah terprovokasi karena merasa dipimpin orang yang tidak sesuai keinginannya.
Padahal melalui pilkada, masyarakat justru diberikan kesempatan untuk memilih pemimpin. Karena itu, orang yang golput tersebut seperti orang tidak punya sikap, itu pelarian politik, orang-orang yang tidak berani menunjukkan sikap. Karena itu, anggapan bahwa golput menjadi hak asasi sebagai bentuk pembodohan politik. Itu sama dengan membuang kesempatan orang untuk berpartisipasi dalam bernegara.
Dalam konteks kenegaraan, golput juga merugikan pemerintah, baik dari konteks anggaran karena banyak logistik pilkada yang sia-sia, maupun dari aspek legitimasi pemerintahan.

Dr Ansari Yamamah
Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara

Rate this article!
Tags: