Gonjang Ganjing Harga Telur

Oleh :
Anes Lusia Ardhiana
Statistisi Pertama BPS Kab. Blitar

Anjloknya harga telur memukul telak peternak ayam, menimbulkan kehebohan di jagat nyata dan jagat maya. Pantauan penulis yang juga tergabung dengan grup grup peternak dan pedagang telur yang ada di media sosial menyuarakan keprihatinan yang mendalam, tak jarang mereka sampai harus menjual aset, baik properti (tanah, rumah) ataupun kendaraan bermotor yang dimiliki untuk menutup kerugian yang mereka derita karena disparitas harga produksi dan harga jual yang tinggi. ” Kemarin saya terpaksa menjual tanah tegal buat menutupi kerugian, sekitar 4 jutaan sehari untuk 10.000 lebih ayam yang saya miliki. Tetangga saya yang juga sama sama peternak juga sudah melepas mobil yang baru setahun dibelinya” cerita Karyatin seorang peternak yang berasal dari Blitar. Harapan mereka mendapat bantuan semacam BNPT dan juga subsidi harga pakan utamanya jagung juga seringkali disuarakan lewat media sosial.

Cerita di jagat nyatapun tak kalah heboh, beberapa waktu lalu aksi nekat demo peternak dengan membentangkan spanduk besar menuntut Pemerintah untuk menurunkan harga jagung saat Jokowi berkunjung ke Blitar, dan disusul aksi pelepasan ayam dan bagi bagi telur gratis sekurang kurangnya 1.5 ton kepada masyarakat luas di beberapa titik tempat diwilayah Blitar kota dan Kabupaten. Gelaran Aksi untuk mendapatkan dukungan Pemerintah dalam menstabilkan harga telur ini mendapat animo besar masyarakat Blitar yang juga merasakan keprihatinan atas ambruknya harga telur saat ini.

Produksi dan konsumsi Telur

Bicara tentang telur, tentu tak bisa dilepaskan dari Propinsi Jawa Timur yang notabene merupakan sentra penghasil telur ayam ras paling besar diantara propinsi -propinsi lain di Indonesia, dan juga Blitar sebagai bagian wilayah Jawa Timur yang memasok 70% produksi telur Jawa Timur. Berdasarkan series data Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 2018, 2019, dan 2020 menunjukkan kontribusi Jawa Timur sebagai penyuplai telur terbesar di Indonesia dari tahun ke tahun yaitu sebesar 1,32 juta ton atau sebesar 28.15% total nasional (2018), 1,63 juta ton atau sebesar 0,343% total nasional (2019) , dan mencapai 1,732 juta ton atau 34,4% dari totalnya secara nasional (2020).

Telur begitu populer sejak dulu sebagai sumber protein hewani yang ketersediannya sangat mudah didapat oleh masyarakat luas dengan harga terjangkau. Telur ayam ras merupakan telur yang paling populer dikonsumsi sekaligus dibudidayakan disamping telur ayam buras, itik, dan puyuh. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).. Pada 2017, konsumsi telur di Indonesia mencapai 18,44 kg per kapita per tahun. Tahun 2018 mencapai 17,73 kg per kapita per tahun, tahun 2019 mencapai 17,77 kg per kapita per tahun serta pada 2020 mencapai 28,16 kg per kapita per tahun. Meningkatnya konsumsi telur per kapita dari tahun ke tahun memacu subsektor peternakan ini untuk terus berkembang dan meningkatkan kapasitas produksinya dalam memenuhi kebutuhan pasar. Dan pada akhirnya Subsektor peternakan menjadi subsektor yang kontribusinya dapat diandalkan untuk perbaikan dan peningkatan perekonomian nasional.

Ada apa dibalik anjoknya harga telur?

Lalu bagaimana kabar dunia telur saat ini ?. Hancur.. itu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi terkini. Pada tanggal 5 Oktober lalu diwilayah Blitar harga jual kandang/ dari peternak berkisar Rp. 14.000 per kilogram dan hingga pada pertengahan Oktober inipun belum mengalami kenaikan yang berarti. Pergerakan harga telur mudah untuk diamati, karena saat ini banyak fenomena penjualan telur eceran dilakukan ditepi jalan propinsi dengan menggunakan armada pick up ataupun mobil, dan sepengamatan penulis pada pertengahan Oktober ini harga eceran telur bertengger di harga Rp.17.000. Harga Produsen dan Konsumen ini tentu sangat jomplang bila dibandingkan dengan harga yang diatur dalam Permendag nomor 7 Tahun 2020, yang mengatur bahwa harga acuan pembelian di tingkat petani/ peternak dalah sebesar Rp 19.000-Rp 21.000 per kilogram, sementara harga acuan penjualan di tingkat konsumen sebesar Rp 24.000 per kilogram.

Beberapa faktor yang disinyalir mempengaruhi anjloknya harga telur yang terjadi akhir akhir ini yang pertama adalah naiknya harga jagung. Jagung merupakan bahan utama pakan ternak, yang keberadaannya tidak bisa digantikan/ disubstitusi oleh komoditas pertanian lain. Ketiadaan impor jagung terkait regulasi Pemerintah juga mengakibatkan peternak baik ( industri maupun peternak mandiri/UMKM) berebut mendapatkan stok jagung lokal yang sama, otomatis ini juga memicu Harga jagung merangkak naik selama tahun 2021 ini dan berada dikisaran Rp. 5500 sampai Rp. 6000 per kilogram kering, bahkan sempat menyentuh angka Rp. 6800 per kilogramnya. Harga pasar ini tentu sangat jauh selisihnya jika dibandingkan dengan harga menurut Permendag yang sebesar Rp. 3150 perkilogram. Harga jagung juga merupakan isu dilematis bagi Pemerintah, dipihak petani jagung, kenaikan harga ini perlu untuk disyukuri mengingat biaya pupuk juga mengalami kenaikan yang signifikan bahkan juga seringkali langka keberadaannya, disisi lain kenaikan harga ini membuat para peternak menjerit.

Kedua, Anjloknya harga telur juga dimungkinkan merupakan dampak dari penurunan permintaan akibat pemberlakuan kebijakan PPKM Darurat di wilayah Jawa-Bali. Adanya stok telur yang terus melimpah akibat tidak bisa terserap pasar terutama kota kota besar Jawa Bali (Jakarta, Bandung dll ), selain itu belum normalnya layanan hotel, tempat wisata, dan juga belum diizinkannya diadakannya event-event pengumpulan massa, seperti acara pernikahan dll. Pada akhirnya stok yang menumpuk tersebut daripada rusak/ busuk akhirnya dijual murah bahkan terkesan diobral.

Dan yang ketiga, terakhir, Anjloknya harga telur saat ini dikmungkinkan karena perusahaan Integrator yang ikut berkecimpung disektor budidaya ayam bahkan berskala industri. Pada awalnya perusahaan inntegrator ini hanya dikenal sebagai perusahaan yang memproduksi Day Old Chicken (DOC), Obat-obatan, vaksin, serta pakan ternak yang mana hasil produksinya itu untuk memenuhi kebutuhan para peternak dan peternak bergantung 100% pada perusahaan ini karena peternak tidak bisa memproduksi kebutuhan hulu budidaya ternak ayam. Jadi disini dapat disimpulkan bahwa dimasa lalu ada pemisahan peran yang jelas antara perusahaan (sekarang integrator ) sebagai hanya “Produsen” kebutuhan hulu subsektor peternakan, dengan peternak sebagai pem “Budidaya” . Pembatasan peran tersebut sengaja diciptakan oleh pemerintahan waktu itu dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1990 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras. Salah satu isi Keppres tersebut adalah usaha budi daya ayam ras diutamakan bagi peternakan rakyat, perorangan, kelompok maupun koperasi. Perusahaan peternakan swasta nasional dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) bisa ikut melakukan budi daya, dengan syarat harus bermitra dengan usaha peternakan ayam ras rakyat selambat-lambatnya tiga tahun. Akan tetapi pada tahun 1999 Keppres Nomor 22 Tahun 1990 ini dinyatakan tidak diperlakukan lagi dan ini membuka peluang lebar bagi Perusahaan Integrator untuk melebarkan sayap bisnisnya di budidaya ternak selain tetap melayani/ menyuplai kebutuhan hulu peternakan kepada para peternak. Mereka sudah mempunyai DOC, Pakan, Obat, dan vaksin sendiri jadi kalau melakukan budidaya sendiri sudah jelas akan berdaya saing tinggi, dan sangat efisien, ibarat orang jualan pisang goreng, perusahaan integrator ini dapat pisang dari kebun sendiri, gula hasil bikin sendiri, minyak kelapa olahan sendiri, semua serba punya sendiri dan mandiri. Lalu bagaimana peternak bisa berdaya saing dengan perusahaan integrator jika kebutuhan pakan, obat, dan vaksin, DOC memang harus dibeli dari perusahaan integrator??

Mengingat arti penting secara sosial ekonomi dari subsektor peternakan ini maka subsektor ini perlu dijaga ksinambungan dan kebelangsungannya, salah satu caranya adalah menjaga kestabilan harga telur. Oleh karena itu peran serta aktif Pemerintah sangat diharapkan dalam menjaga kestabilan harga jagung, harga telur dan dimungkinkan juga dengan mengeluarkan regulasi terkait batasan ataupun syarat syarat yang harus dipenuhi jika perusahaan integrator ingin berkecimpung dibudidaya /peternakan sehingga tercapai win win solution.. ibarat kata ular tidak mati kekenyangan, dan kodok tidak mati kelaparan.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: