GPKLS Desak Lapindo Cairkan Korban Lumpur

Pj Bupati Jonathan Judianto memberikan gambaran lahan kepada para pengusaha korban lumpur Lapindo.(achmad suprayogi\bhirawa) GPKLS Mengadu ke Pj Bupati Belum Dapat Ganti Rugi.

Pj Bupati Jonathan Judianto memberikan gambaran lahan kepada para pengusaha korban lumpur Lapindo.(achmad suprayogi\bhirawa)
GPKLS Mengadu ke Pj Bupati Belum Dapat Ganti Rugi.

Sidoarjo, Bhirawa
Pengusaha yang tergabung dalam GPKLS (Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Sidoarjo) Selasa (2/2) kemarin mengadu kepada Pj Bupati Sidorjo, Jonathan Judianto agar ganti ruginya bisa cepat terselesaikan dengan tuntas. Mereka ternyata ada yang belum mendapatkan ganti rugi sama sekali, sedangkan yang lain hanya berkisar 20% hingga 30% saja.
Para pengusaha itu membawahi sebanyak 26 perusahaan dan memiliki sekitar 10 ribu karyawan. Hingga kini pemilik perusahaan itu terus mengeluh karena belum mendapat ganti rugi yang memadai. Mereka berharap kepada pemerintah hendaknya bisa mengambil alih, menalangi kerugian yang mereka derita. Pasalnya, PT Minarak Lapindo Jaya juga sudah menyatakan tak mampu memberika ganti rugi.
Akhirnya, Pj Bupati Jonathan bersama Wakil Ketua DPRD Sidoarjo, Emir Firdaus memberikan solusi dalam waktu dekat akan berangkat ke Jakarta untuk menemui Komisi V DPR RI. Untuk menanyakan, bagaimana kelanjutan ganti rugi dari PT Lapindo yang belum tuntas. Khususnya para pengusaha yang kena luberan lumpur. ”Jadi kami selaku pemerintah dan dewan serta wakil dari pengusaha akan secepatnya menghadap ke Komisi V DPR RI, untuk mencari penyelesaian kasus lumpur ini. Dan ternyata kasus lumpur ini belum tuntas semuanya,” jelasnya.
Ketua GPKLS, Ritonga, mengungkapkan keluhannya dan rasa kekesalannya kepada media, agar informasi yang disampaikan bisa didengarkan pemerintah. GPKLS berharap sekali pemerintah mengambil alih kerugian kami ini. Mengapa hal ini saya lakukan, karena di dalam Keppres nya ditegaskan, kalau korban lumpur itu tak ada perbedaan, antara warga dan pengusaha.
”Kami sangat kecewa sekali, pengusaha yang sudah stres karena beban berat meminta tolong agar pemerintah buka pintu, jalan damai supaya perusahaan ini bisa buka kembali, eksis kembali membantu pemerintah daerah mengarungi pengangguran. Disamping itu kami juga termasuk penyumbang pajak daerah,” ungkap Ritonga.
Menurut Ritonga, selama ini pengusaha korban lumpur merasa dianaktirikan oleh pemerintah. Padahal mereka juga korban lumpur, bahkan pengusaha korban lumpur juga telah menggugat Mahkamah Konstitusi (MK) terkait putusannya, yang menyebutkan dana talangan pemerintah diberikan untuk korban lumpur. Dalam pasal itu tidak disebutkan klasifikasi korban lumpur, sehingga pelaku usaha di wilayah terdampak lumpur harusnya juga termasuk korban lumpur.
”Jadi jangan dibeda-bedakan, warganya sudah banyak yang mendapat ganti rugi, namun pengusahanya belum dapat. Ada yang sudah mendapatkan ganti rugi sebesar 30%, namun ada enam perusahaan yang belum sama sekali,” jelasnya lagi.
Ritong menegaskan, pihaknya ingin nominal ganti rugi disamakan dengan warga korban lumpur. Nilai tanah milik pengusaha per meternya dihargai antara Rp300 ribu hingga Rp350 ribu. Untuk bangunannya dinilai Rp500 ribu sampai Rp600 ribu, nilai itu tahun 2006 yang lalu. Kalau dibandingkan dengan sekarang untuk mencari lahan sama, dengan ganti rugi sebesar itu tak akan bisa mendapatkan lagi. Karena harga tanah sudah melambung tinggi.
Sedangkan kerugian yang diderita kalau dinilai sama dengan warga, harga tanah Rp1 juta, bangunan Rp1,5 juta. Maka jika ditotal dari 26 pengusaha korban lumpur akan mendapatkan nominal sekitar Rp780 miliar. ”Dana sebesar itu, bagi pemerintah sangatlah kecil. Makanya saya berharap sekali lagi, pemerintah bisa mengambil alih,” harap Ritonga yang diamini para pengusaha lainnya. [ach]

Tags: