GPKLS Keluhkan Belum dapat Ganti Rugi Lapindo

Para pengusaha korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam GPKLS melakukan koordinasi.(achmad suprayogi\bhirawa)

Para pengusaha korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam GPKLS melakukan koordinasi.(achmad suprayogi\bhirawa)

Sidoarjo, Bhirawa
Semburan lumpur lapindo di Porong Sidoarjo yang sudah berjalan hampir 9 tahun, tepatnya 29 Mei 2006. Ternyata masih banyak permasalahanya yang belum terselesaikan, termasuk para perusahaan-perusahaan yang kena dampaknya juga mengeluh belum mendapatkan ganti rugi sama sekali.
Sebanyak 26 perusahaan, yang menampung sekitar 10 ribu karyawan, hingga saat ini pemiliknya terus mengeluh belum dapat ganti rugi yang memadai. Mereka berharap kepada pemerintah hendaknya bisa mengambil alih, menalangi kerugian-kerugian tersebut. Pasalnya, PT Minarak juga sudah menyatakan tidak mampu.
Ketua GPKLS (Gabungan Pengusaha Korban Lompur Sidoarjo) Ritonga, Kamis (28/5) mengungkapkan keluhannya, dan rasa kekesalannya kepada media, agar informasi yang disampaikan bisa didengarkan oleh pemerintah. Jadi saya berharap sekali pemerintah mengambil alih kerugian-kerugian ini. Mengapa hal ini saya lakukan, karena di dalam Keppres nya ditegaskan kalau korban lumpur itu tidak ada perbedaan, antara warga dan pengusaha.
“Kami sangat kecewa sekali, pengusaha yang sudah stres beban berat tolong pemerintah buka pintu, jalan damai supaya perusahaan ini bisa buka kembali, eksis kembali membantu pemerintah daerah mengarungi pengangguran. Disamping itu kami juga termasuk penyumbang pajak daerah,” ungkap Ritonga.
Menurutnya, selama ini pengusaha korban lumpur merasa dianaktirikan oleh pemerintah. Padahal mereka juga korban lumpur, bahkan pengusaha korban lumpur juga menggugat Mahkamah Konstitusi terkait putusannya, yang menyebutkan dana talangan pemerintah diberikan untuk korban lumpur.
Dalam pasal itu tidak disebutkan klasifikasi korban lumpur, sehingga pelaku usaha di wilayah terdampak lumpur harusnya juga termasuk korban lumpur. “Jadi jangan dibeda-bedakan, warganya sudah banyak yang mendapat ganti rugi, namun pengusahanya belum dapat. Ada yang sudah mendapatkan ganti rugi senilai 30 %, ada 6 perusahaan yang belum sama sekali,” jelasnya lagi.
“Kami ingin nominal ganti rugi disamakan dengan warga korban lumpur. Nilai tanah milik pengusaha per-meternya dihargai antara Rp 300 ribu hingga Rp 350 ribu. Untuk bangunannya dinilai Rp 500 ribu sampai Rp 600 ribu, nilai itu tahun 2006 yang lalu. Kalau dibandingkan denganĀ  sekarang untuk mencari lahan sama, dengan ganti rugi sebesar itu tidak akan dapat lagi. Karena harga tanah sudah melambung tinggi,” katanya.
Sedangkan kerugian kalau dinilai sama dengan warga, harga tanah Rp 1 juta, bangunan Rp 1,5 juta jika ditotal dari 26 pengusaha korban lumpur akan mendapatkan nominal sekitar Rp 780 miliar. “Dana sebesar itu, bagi pemerintah sangalah kecil. Makanya saya berharap sekali lagi, pemerintah bisa mengambil alih,” harap Ritonga yang diamini bersama teman-temanya. [ach]

Tags: