Gresik Disuntik Rp 900 M, Sidoarjo Perlu Tata Ulang Saluran Air

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Pemprov Jatim, Bhirawa
Persoalan banjir di sejumlah daerah langsung menarik perhatian Gubernur Jatim. Pria yang akrab dipanggil Pakde Karwo ini mengakui, peta banjir tahun ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun lalu. Khususnya di dua daerah yang dianggap paling parah, yakni Gresik dan Sidoarjo.
Menurut Pakde Karwo persoalan banjir harus segera diatasi. Seperti di Gresik, banjir yang disebabkan meluapnya Kali Lamong harus dilakukan perbaikan. Saat ini, pemerintah pusat telah menganggarkan sebesar Rp 900 miliar untuk revitalisasi Kali Lamong.
Proses pendalaman dan perluasan Kali Lamong diprediksi akan tuntas akhir 2017 mendatang. Saat ini prosesnya dimulai dari wilayah atas, yakni Jombang dan sekitaran Mojokerto. “Saat ini prosesnya sedang jalan. Pemerintah provinsi hanya bantu pembebasan lahan di sekitaran Gresik,” kata dia saat ditemui di Badan Diklat Jatim, Rabu (10/2).
Sementara untuk Sidoarjo, lanjut Pakde Karwo, perlu terjadi perubahan tata kelola saluran air. Karena di daerah tersebut resapan airnya semakin sedikit dan saluran airnya kecil. Sehingga, saat hujan deras tiba, saluran ini tidak dapat menampung debit air yang besar. “Pj Bupati Sidoarjo sudah saya minta untuk memperdalam dan meluaskan saluran air,” ujarnya.
Di sisi lain Pakde sudah memanggil Kepala Dinas PU Pengairan Jatim Dahlan untuk segera memprioritaskan Sidoarjo agar segera dituntaskan. Ia berpendapat bahwa tumpuan air memang lebih besar dari biasanya dan menurut BMKG curah hujan masih sangat tinggi pada Februari ini.
Terkait masalah banjir ini, Pakde Karwo mengaku sudah mendapat rekomendasi dari Kepala Dinas PU Pengairan untuk segera memperdalam dan memperluas saluran air. “Untuk mempercepat penyedotan air memang harus memakai pompa, tapi pengerukan dan pelebaran aliran sungai harus segera dilakukan,” katanya.
Pakde Karwo juga menyebut kita memang tidak bisa menyalahkan alam untuk kondisi seperti ini. Namun khusus di Sidoarjo untuk serapan air sangat berkurang, karena itu butuh pelebaran dan perluasan aliran air secepatnya.
Seperti yang diketahui, banjir di Sidoarjo telah terjadi sejak, Senin (8/2) hingga sekarang. Seperti di Kecamatan Sedati meliputi Griya Mapan, Kecamatan Sedati ketinggian air sekitar 40 cm, Desa Sedati Gede RT 1-16 masuk permukiman dengan ketinggian air 10-20 cm dan Sedati Agung, permukiman Komplek AURI ketinggian air 10-20 cm.
Lalu di Kecamatan Buduran tepatnya di Pasar Sukorejo, Buduran ketinggian air 40 cm dan Desa Sukorejo, Buduran Residen ketinggian air 40 cm. Kecamatan Candi di Desa Jambangan ketinggian air 60 cm dan Desa Tenggulunan, Jalan raya tergenang 40 cm. Kecamatan Sidoarjo di Perumahan Bluru Sidoarjo, ketinggian air 35 cm dan Sidokare Indah genangan 30 cm.
Kemudian di Kecamatan Taman tepatnya di Desa Sambiroto, Jemundo, Bringin Bendo, ketinggian air 35 cm, Desa Ketegan (Depan Brimob) ketinggian air 1-1,5 m dan Desa Jemundo, Sadang, Gilang, Kletek, genangan 20-35 cm. Lantas di Kecamatan Waru di wilayah sekitar Pasar Waru tergenang 1 m, Wisma Tropodo I dan II, Tropodo Asri ketinggian air 40 cm dan Desa Bungurasih, Kedungrejo ketinggian air sekitar 1 m.
Bagaimana dengan banjir di Mojoagung, Jombang yang sudah terjadi bertahun-tahun? Pakde Karwo mengaku, kondisi tanah di kawasan tersebut merupakan tanah depresi atau di bawah rata-rata ketinggian tanah. Ketika hujan turun, maka air menggenang.
Mojoagung bisa ditangani dengan memompa air keluar. Tapi beberapa waktu lalu terjadi tanah jebol. “Setelah dilakukan analisis, tanah di sana kering kerontang, kemudian curah hujan tinggi, akhirnya jebol. Airnya masuk ke rekahan tanah yang kering tadi,” ungkap dia.
Dalam proses musim kemarau ke penghujan, lanjut Pakde, biasanya ada musim antara sekitar dua bulan. Tapi tahun ini tidak. Begitu kemarau panjang, kemudian hujan deras, air masuk ke rekahan tanah-tanah yang kering.  Daerah lain seperti Pasuruan dan Blitar, kasusnya sama. Tanahnya merupakan tanah depresi. Kalau wilayah Blitar ditutup, wilayah banjir di Tulungagung menjadi luas. “Itu juga tanah-tanah depresi,” ujarnya. Tapi yang penting, menurutnya  dengan hujan sederas ini jangan sampai melampaui Bengawan Solo.
Kalau kasusnya tiga hal tadi, salah satu terobosan Jatim ialah membuang air langsung ke laut. “Meniru cara Belanda dulu saat menangani debit air yang tinggi,” jelasnya. Hal itu juga sudah dilakukan di wilayah Sedayu Lawas, Lamongan.

Satgas Pembentukan Banjir
Kian meluasnya banjir di Jatim memantik keprihatinan anggota Komisi E DPRD Jatim Mochammad Eksan. Apalagi banjir seperti menjadi rutinitas yang terus berulang setiap datangnya musim hujan. Menurut politisi NasDem yang akrab disapa Eksan itu, sudah waktunya ada penanganan yang lebih serius dan terkoordinasi dalam menanggulangi bencana banjir.  Karena itu, Eksan mengusulkan Pemprov Jatim membentuk Satuan Tugas (Satgas) Banjir. Satgas  harus diberi otoritas oleh gubernur agar bisa bekerja secara cepat dan efektif. Bahkan kalau perlu di bawah koordinasi gubernur langsung.
“Penanganan banjir tak bisa lagi dikelola secara sporadis. Sudah saatnya dibentuk Satgas Banjir untuk menanggulangi banjir secara menyeluruh dari hulu sampai hilir. Satgas ini nantinya mengkoordinasi pemda dan instansi terkait, termasuk berkoordinasi dengan Pemprov Jawa Tengah tempat hulu Sungai Bengawan Solo yang menjadi salah satu penyebab banjir di Jatim,” ujar politisi asal Jember itu, Rabu (10/2).
Eksan mengungkapkan bencana banjir adalah gabungan antara kondisi alam dengan kesalahan pengelolaan alam oleh manusia. Karena itu, penanganan jangka panjang harus dilakukan untuk mengatasi banjir. Caranya, dengan melakukan penghijauan terhadap hutan yang gundul (reboisasi), menjaga aliran sungai dari sampah agar tidak tersumbat mencegah melubernya air laut dengan menanam mangrove  dan mengatasi penyempitan serta pendangkalan sungai.
Karena itu sosialisasi dan edukasi terhadap lingkungan perlu dilakukan sejak dini terutama di sekolah dan pondok pesantren. Dengan begitu, generasi kita ke depan menjadi generasi yang peduli terhadap lingkungan. Eksan menekankan pentingnya memberdayakan pesantren untuk menjaga lingkungan, sebab bicara Jawa Timur maka kita bicara provinsi dengan jumlah pesantren terbanyak di dunia. Karena itu pesantren bisa menjadi pelopor dalam kegiatan pelestarian alam. [tam,iib,cty]

Tags: