
Foto Ilustrasi
Upaya (zona) integritas dan transparansi, kini bagai sirkuit adu cepat mencapai tujuan akhir menangkap koruptor. Penegakan hukum “lapangan” anti-korupsi akan bertambah dengan hadirnya Densus (Detasemen Khusus) yang dibawahkan Kapolri. Diharapkan, Densus Anti Korupsi, tak kalah garang dengan Densus 88 Anti Terorisme. Banyak menangkap pelaku sebelum benar-benar bergerak menebar ancaman. Korupsi, tak kalah masif (dan liar) dibanding terorisme.
Sebenarnya, jajaran Kepolisian sejak lama telah memiliki garda anti korupsi. Dibawahkan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim), Direktorat Anti Korupsi, dipimpin oleh personel Perwira Tinggi bintang satu (Brigadir Jenderal). Direktorat ini yang akan “naik kelas” menjadi Detasemen Khusus (Densus), dipimpin oleh perwita tinggi bintang dua (Inspektur Jenderal). Sebelumnya, Polri menjadi garda utama satuan tugas pemberantasan pungli (Saber Pungli) atas instruksi presiden.
Saber pungli, juga cukup memiliki prestasi memadai, melalui OTT (operasi tangkap tangan). Misalnya Kepolisian Daerah Jawa Timur merilis, telah melakukan OTT pungli sebanyak 63 kasus. Itu hasil kerja selama lima bulan (sampai April 2017) oleh tim Saber Pungli Polda Jatim. Patut di-apresiasi. Telah menangkap 125 orang pelaku pungli, sebanyak 87 orang diantaranya merupakan PNS (pegawai negeri sipil).
Juga terdapat pengungkapan “berkualitas” berupa penyelewengan ADD (Alokasi Dana Desa). Kepolisian daerah lain di seluruh Indonesia juga melakukan hal serupa. Di Polda Jateng, sampai dilakukan peng-intaian. Realitanya, pungli dilakukan oleh berbagai pegawai dengan strata ke-pangkat-an beragam. Ada perangkat desa, dan banyak pula pejabat BPN yang ditangkap. Bahkan OTT oleh Saber Pungli, tak pandang bulu.
Di Sumatera Utara, misalnya, terjadi ironi. Polisi telah menangkap “makelar” pendaftaran masuk sekolah polisi. Empat perwira menengah Polda Sumut, telah dicopot. Boleh jadi, pendaftaran masuk TNI (Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara), mulai “di-intip” Saber Pungli. Begitu pula pendaftaran CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) di lingkungan pemerintah daerah. Masyarakat menunggu proses pengadilan terhadap hasil OTT Polri.
Kelahiran Densus (baru) di Polri, kini sedang dibidani oleh Asisten Perencanaan, dan Bareskrim. Juga dikonsultasikan melalui Focus Group Discussions (FGD, semacam dengar pendapat) dengan pihak terkait di luar Kepolisian. Antaralain, FGD dengan Kejaksaan Agung, sebagai aliran kasus korupsi pada tahap penuntutan. Masyarakat menyambut baik gagasan Polri membuat Densus, dengan beberapa saran (dan kritisi) logis.
Pembentukan pemberantasan korupsi, dilakukan pula oleh Kejaksaan Agung. Sesuai perintah presiden telah dibentuk Satgas (satuan tugas) Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Pusat (TP4P). Satgas ini bekerja mulai Januari 2017. Serta memiliki perangkat fungsional di daerah (Kejati, dan Kejari). Ironisnya, sudah ada anggota Satgas TP4P Kejaksaan yang ditangkap karena menerima suap.
Gropyokan memberantas korupsi, menunjukkan rakyat Indonesia benar-benar membenci korupsi, suap dan pungli. Kebencian (dan dendam) yang sama ditunjukkan oleh masyarakat internasional. Sampai Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), menerbitkan konvensi anti-korupsi. (UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION), tahun 2003.
Pada mukadimah konvensi dinyatakan: “Prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum.” Indonesia, tergolong lebih awal dibanding PBB. Karena telah memiliki UU Tindak Pidana Korupsi sejak tahun 1999.
Ironisnya, walau telah memiliki UU anti korupsi, sejak lama, tetapi hingga kini menjadi ancaman paling serius. Maka wajar ditempuh berbagai jalan, terutama pemberatan hukuman berupa pemiskinan koruptor. Jika masih kurang, perlu digagas vonis hukuman maksimal, hukuman mati.
——— 000 ———