GTT Surabaya Keluhkan Gaji di Bawah UMK

Proses belajar mengajar di SDN Kalirungkut I/264. Hingga kini ada beberapa GTT di sekolah tersebut yang digaji di bawah UMK. Dindik Surabaya menilai kejadian ini karena kesalahan sekolah yang nekat mengangkat tenaga honorer meski sudah ada larangan.

Proses belajar mengajar di SDN Kalirungkut I/264. Hingga kini ada beberapa GTT di sekolah tersebut yang digaji di bawah UMK. Dindik Surabaya menilai kejadian ini karena kesalahan sekolah yang nekat mengangkat tenaga honorer meski sudah ada larangan.

Dindik, Bhirawa
Belum semua kesejahteraan guru di Surabaya mendapat jaminan, baik dari pemerintah maupun pihak sekolah. Khususnya bagi sejumlah Guru Tidak Tetap (GTT) yang hingga kini penghasilannya masih jauh di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Surabaya yang ditetapkan Rp 2.710.000.
Kenyataan ini jelas tidak sesuai dengan Perda Surabaya Nomor 16 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Seperti diungkapkan Fatih Rahmad, guru Pendidikan Agama Islam (PAI), Dimas Anggara, guru olahraga dan Mochammad Saifudin, guru PAI dan Pramuka yang sekarang ditempatkan di Tata Usaha di SDN Kalirungkut I/264 Surabaya.
Fatih dan Dimas telah menjadi GTT sejak 2011, sedangkan Saifudin sejak 2009. Ketiganya mendapat gaji sebesar Rp 1 juta per bulan. “Sebelumnya gaji yang saya terima Rp 500 ribu per bulan. Kemudian sekitar Maret 2014, gaji bulanan naik menjadi Rp 1 juta. Meski naik 100%, namun tetap jauh di bawah nilai UMK,” kata Fatih, Minggu (11/1).
Alumni Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya ini mengaku bingung atas rendahnya UMK yang diterima dari sekolah. Padahal saat kepala sekolah masih dijabat orang lama, telah diusulkan kenaikan gaji pada Januari 2014. Bahkan usulan itu sudah direspon Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya. “Dinas mengeluarkan SK bahwa gaji saya dan dua teman lainnya di SDN Kalirungkut I adalah Rp 2,2 juta. SK yang ditandatangani Bu Eko (Kabid Dikdas Dindik Surabaya) sempat saya lihat,” paparnya.
Fatih mengaku dalam seminggunya sudah mengajar lebih dari 24 jam, bahkan lebih. Kewajiban sebagai guru dilaksanakan, termasuk tetap ke kantor selama enam hari, kendati target jam mengajar, 24 jam per minggu sudah dipenuhi dalam waktu tiga hari.
Sementara itu, Kepala SDN Kalirungkut I/264 Siti Fatonah mengaku tidak tahu pasti soal kebijakan yang mendasari besaran gaji tiga GTT itu. “Itu kebijakan kepala sekolah lama. Saya masuk ke SDN Kalirungkut I ini sejak SDN Kalirungkut I, II dan III dimerger menjadi Kalirungkut I atau Maret 2014,” jelas Siti yang sebelumnya di SDN Ketintang, Kecamatan Wonokromo.
Siti bahkan mengaku sejak dirinya masuk sebagai Kepala SDN Kalirungkut I, dia menerapkan kebijakan baru, menambah nominal GTT di sekolahnya. Namun Siti tidak merinci nominal tersebut. “Sebelumnya saya ikuti aturan kepala sekolah lama, dan setelah saya masuk justru ditambah,” kata dia.
Siti menyebut Fatih dalam sehari sudah mengajar selama delapan jam. Selain itu dalam seminggu bisa mengajar 24 jam dan bahkan lebih. Cuma Siti tidak setuju jika kewajiban mengajar itu dimampatkan menjadi tiga hari atau kurang dari enam hari.
Siti ingin Fatih dan kawan-kawan tetap ke sekolah tiap hari. Per harinya selama delapan jam. Jika kewajiban mengajar sudah tercapai, Siti ingin GTT itu bisa melakukan pengayaan diri, sharing dengan guru senior atau membuat materi ujian di sekolah.
Disinggung kembali soal nominal gaji, lagi-lagi Siti tidak menyebut pasti. Akan saya cek dulu. Mohon kalau ada informasi dikoordinasikan dan dikondisikan ke dalam dulu,” pintanya.
Siti mengaku bahwa sekolahnya kelebihan guru. Karena itu sejak awal dia membari saran agar Fatih dan kawan-kawan pindah ke SDN Banyu Urip I. “Semoga ke depan gaji bisa sesuai UMK karena sudah kami usulkan ke dinas,” jawab Siti.

Salahkan Sekolah
Sementara itu, ditanya terkait persoalan ini Kabid Dikdas Dindik Surabaya Eko Prasetyaningsih justru menyalahkan pihak sekolah. Dia menjelaskan, sejak 2012, pemkot telah mengeluarkan larangan kepala sekolah tidak mengangkat guru/tenaga honorer. Larangan ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 yang meminta semua pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenisnya, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
“Kenyataannya di SD Kalirungkut pada Juli 2012 atau Januari 2013 mengangkat dua guru honorer. Ini jelas melanggar ketentuan itu,”terang Eko.
Ironisnya, lanjut Eko, salah satu dari guru tersebut yakni Dimas belum memiliki ijazah sarjana saat diangkat menjadi guru di sekolah itu.  Dia baru lulus sarjana pada Oktober 2014 lalu.
Pengangkatan GTT melalui Surat Keputusan (SK) kepala sekolah ini ternyata juga tidak dilaporkan ke Bagian Ketenagaan Dindik Surabaya. “Padahal kalau memang di SD itu kekurangan guru pasti kami akan merolling guru PNS di sekolah lain yang kelebihan sehingga jam mengajarnya terpenuhi,”terang Eko yang juga Humas Dindik Surabaya. [tam]

Tags: