Gugah Anggaran “Tidur”

Gugah Anggaran “Tidur”

Serapan anggaran belanja daerah masih sangat rendah, sampai akhir November hanya 62%. Serapan anggaran yang rendah akan menjadi Silpa (sisa lebih perhitungan anggaran) sangat besar. Hanya mengendap di bank, tidak produktif untuk meng-gerakkan perekonomian daerah. Jumlahnya (selingkup nasional) mencapai Rp 278,83 trilyun, menjadi tren “anggaran tidur” makin meningkat tiap tahun. APBD (dan APBN) sebenarnya merupakan investasi rutin yang utama untuk menstimulasi perekonomian.

Presiden memerintahkan segera meng-gelotor belanja daerah. Karena bagian pendapatan (terbesar) yang tercantum dalam APBD propinsi serta kabupaten dan kota, merupakan transfer dari pusat (bersumber dari APBN). Walau biasanya dikebut pada bulan akhir tahun, niscaya masih akan berujung Silpa cukup besar. Realitanya pada tataran pemerintah kabupaten (Pemkab) dan pemerintah kota (Pemkot), banyak pejabat daerah tidak cakap mengelola keuangan. Berujung realisasi belanja tergolong rendah.

Namun ke-lambat-an belanja daerah bukan hanya disebabkan pejabat daerah yang kurang cakap. Melainkan juga kinerja pemerintah pusat yang kurang cepat. Antara lain sistem e-katalog pengadaan barang dan jasa nasional, konon, belum bisa diakses pada awal tahun. Aplikasi katalog sangat penting untuk menentukan standar harga (terbaru) barang dan jasa.

Keraguan pemerintah daerah membelanjakan APBD, terjadi makin meluas. Banyak birokrat menengah daerah, menolak menjadi pimpinan proyek. Sedangkan eselon dua, juga kebat-kebit menjadi pejabat pembuat komitmen (PPK). Takut salah, dan pertanggung-jawaban keuangan yang rumit. Menjadi penyebab serapan anggaran rendah. Sampai awal triwulan ke-empat, rata-rata serapan masih di bawah 65%. Di ujung (akhir) tahun anggaran, dipastikan sisa lebih sangat besar.

Berdasar catatan Kementerian Keuangan, simpanan keseluruhan pemerintah daerah di bank terus menunjukan kenaikan sejak awal tahun. Total saldo per-awal Agustus 2022, mencapai Rp 220,95 triliun. Pada akhir November menjadi Rp 278,83 trilyun. Andai belanja pemerintah daerah sesuai jadwal, niscaya saldo APBD tidak semakin membengkak. Saldo “jumbo” membebani perbankan milik daerah (BUMD) yang semakin terhimpit pembayaran bunga. Ironisnya, berbagai kredit kerakyatan (KUT, KUR, dan kredit UMKM) juga tidak optimal.

Presiden pernah meng-instruksikan pimpinan Kementerian dan Lembaga, serta pemerintah daerah melakukan lelang “sedini mungkin.” Bahkan bisa dimulai pada bulan Desember. Sehingga belanja negara (dan daerah) bisa bergerak sejak kuartal pertama. Tersendatnya Belanja Negara (dan Daerah), akan berujung menjadi anggaran “tidur” yang menunda pergerakan ekonomi.

Kinerja keuangan daerah, seharusnya dipahami sebagai investasi penggerak perekonomian daerah. Karena itu patut dimulai “keberanian” meng-konstruksi APBD dengan defisit besar. Diperlukan peraturan skala nasional untuk me-rekonstruksi APBD. Karena sebenarnya defisit besar selalu bisa ditutup. Yakni, dengan penghematan rutin (sampai sebesar 12%), ditambah Silpa APBD tahun silam. Jika kurang, masih ditutup dengan utang. Sesuai UU Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, utang daerah memiliki batas sampai 3% PDB tiap daerah.

Penghematan selalu terjadi, karena realisasi harga lelang yang lebih rendah, dan Belanja Pegawai yang menyusut (akibat pensiun PNS). Namun total serapan anggaran biasa ditulis 92% (kadang sampai 98%). Anehnya, dalam catatan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) selalu terdapat “temuan” lebih dari 50 item. Ironisnya, sudah banyak auditor BPK yang terlibat suap audit APBD. Bisa jadi, kalangan birokrasi bisa “membeli” opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Tetapi temuan BPK tidak bisa dibeli (tetap banyak).

Presiden (melalui Menkeu, dan Mendagri) seyogianya mendorong Kepala daerah menjadi pelopor serapan anggaran maksimal (dan defisit besar APBD). Juga memberi insentif khusus kepada birokrasi yang “berani” menjadi pimpro.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: