Gugah Kembali Kekritisan Aktivis Melalui Pentas Teater

Pentaskan secuil naskah ‘Aktivzm’ Karya Sutradara Totenk MT Rusmawan di Kedai Moeljo Jalan Taman Apsari Surabaya, Selasa malam (27/3). [Gegeh Bagus Setiadi]

Surabaya, Bhirawa
Kota Surabaya perlu disusupi oleh kegiatan yang bertajuk seni dan budaya. Bahkan, perlu adanya gebrakan untuk terus hidup dan berkembang. Pasalnya, Sebagai ibukota provinsi harus tertancap karakter penduduk yang multikultural.
Momen Hari Teater Sedunia menjadi langkah awal untuk menjawab kerisauahan terhadap perkembangan dunia seni dan budaya di Kota Pahlawan.
Hal ini disampaikan Penasehat Sanggar Lidi Surabaya, Bagus Priambodo disela Pementasan Fragment naskah ‘Aktivzm’ Karya Sutradara Totenk MT Rusmawan, Selasa malam (27/3) di Kedai Moeljo Jalan Taman Apsari Surabaya. Menurutnya, sebagai sebuah wadah kreatif bersama, Sanggar Lidi Surabaya terus berproses dalam fokus kegiatan seni dan budaya. Salah satunya sebagai wujud implementasinya melalui pementasan.
“Kami memilih untuk melakukan pertunjukan teater di ruang-ruang publik bukanlah tanpa alasan. Selain untuk menciptakan ruang yang tak berjarak dengan masyarakat, tetapi juga sebagai fungsi kritik sosial kepada pemerintah,” terangnya.
Bagus menjelaskan, pemerintah masih belum sepenuhnya memberikan media ekspresi kepada publik. Seperti membangun gedung-gedung pertunjukan yang laik dan terjangkau secara finansial. “Mudah-mudahan dengan peringatan Hari Teater Sedunia ini pemerintah semakin tergugah,” harapnya.
Sementara itu, Sutradara ‘Aktivzm’ Totenk MT Rusmawan menjelaskan, pementasan fragment kali ini adalah menampilkan potongan adegan yang juga akan dipresentasikan kepada masyarakat secara luas. Hal tersebut merupakan pra-event menuju hari pementasan yang sesungguhnya pada tanggal 11 April mendatang.
“Naskah ini dibuat karena kami semakin risau dengan perkembangan pergerakan para aktivis di negeri ini,” ujarnya.
Menurut Totenk, banyak logika berpikir yang terbalik dalam setiap melihat sebuah permasalahan. Hal inilah yang membuat kecenderungannya melahirkan sifat-sifat otoriter. “Bahkan, sampai aktivis itu sendiri sudah tidak memiliki nurani yang murni atau ditumpangi dengan kepentingan kelompok-kelompok tertentu,” ungkapnya. Oleh sebab itu, lanjut pria kelahiran Bandung, perkembangan dunia aktivisme yang sedimikian rupa semakin membuat buntunya ruang-ruang dialektika, guna mencari kebenaran hakiki yang sesuai dengan karakteristik bangsa.
“Karena mandeknya ruang-ruang dialektika tersebut, secara kultural warung kopi hadir sebagai medium alternatif menjadi tempat yang paling demokratis. Di sini (warkop, red) semua orang bahkan bebas membahas apapun tanpa ada tekanan dari pihak-pihak tertentu,” lanjutnya.
Totenk menambahkan, melalui pementasan fragment kali ini harapannya masyarakat dapat kembali tersadarkan dan terjernihkan nuraninya ketika masuk ataupun terjun dalam dunia aktivisme. [geh]

Tags: