Gula Berlimpah, Impor “Izin” KPK?

Yunus-SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior penggiat dakwah sosial politik

Aroma harum (kesan rasa manis) bulan April ini, sudah tercium di seluruh areal kebun tebu. Ini pertanda musim panen tebu akan segera dimulai. Di berbagai daerah, nampak dilakukan perbaikan PG (Pabrik Gula), mempersiapkan menerima tebu. Diperkirakan sekitar 28 juta ton tebu akan memasuki PG, dan siap digiling menjadi gula sebanyak 2,3 juta ton. Ditambah produksi giling tahun lalu, maka stok gula akan melebihi kebutuhan nasional (2,8 juta ton). Maka tidak perlu impor!
Tidak perlu impor gula. Itulah yang akan menjadi perhatian KPK (komisi Pemberantasan Korupsi). Terutama persyaratan impor gula, yang hingga kini masih  berdasar rekomendasi dua institusi. Yakni, Kementerian Pertanian, serta Menteri Perdagangan. Itupun dengan persyaratan, bahwa yang di-impor adalah gula rafinasi (sebagai bahan untuk industri). Sedangkan importirnya, harus perusahaan yang memiliki basis perusahaan per-gula-an.
Industri gula, memang bukan monopoli BUMN (melalui PTPN), melainkan juga swasta. Karena hasil PG BUMN tak mampu memenuhi kebutuhan. Harus diakui pula, peran swasta cukup besar. Termasuk memiliki areal perkebunan cukup luas. Namun, selain PTPN dan PG swasta, terdapat pula “calo” gula yang tidak memiliki pabrik gula, tetapi memiliki kuota jatah impor. Biasanya kartel (calo) gula, memiliki akses politik untuk mendekati otoritas gula.
Penggunaan akses politik itulah yang kini sedang “di-intip” oleh KPK. Sebagaimana pernah terjadi pada impor daging sapi, dengan akses politik. Karena itu prosedur dan persyaratan impor gula telah dipelajari seksama oleh KPK. Termasuk wewenang kedua Kementerian (Pertanian dan Perdagangan). Juga koordinator kementerian (Perekonomian), mestilah turut memberi rekomendasi sebagai keputusan final.
Keterlibatan KPK dalam problem per-gula-an nasional, bagai “dewa penyelamat” PTPN, dan PG swasta. Tahun (2014) lalu PG dalam negeri kesulitan menjual gula, karena kalah bersaing dengan gula impor. Gula hasil giling tahun 2013 dan tahun 2014, masih menumpuk di gudang PG. Stok melebihi kebutuhan selama tahun 2015. Bisa di-ekspor. Namun ekspor gula nyaris mustahil, karena harga gula lokal sangat tinggi
HPP saat ini sebesar Rp 8.000,- per-kilogram. Bandingkan dengan HPP di Thailand, hanya Rp 4.500,- per-kilogram. Selisih harga ini tentu menggiurkan mafia gula untuk melakukan impor, dengan berbagai cara. Masih diperlukan kebijakan, memperbaiki problem per-gula-an. Terutama perbaikan on-farm (urusan di lahan tebu) serta perbaikan off-farm (di PG). Agaknya pemerintah lebih memilih cara mudah, dan menguntungkan sesaat. Yakni, impor gula yang nyata-nyata lebih murah plus bonus pajak impor. Namun akibatnya, petani tebu dan PG semakin kelimpungan.
Kurangi Sewa Lahan
Lebih lagi selama setahun terakhir, rendemen tebu sangat rendah. sehingga hanya sedikit menghasilkan gula. Maka yang diuntungkan adalah importir gula, yang akan memperoleh tambahan kuota. Bahkan gula rafinasi (eks-impor) sebagai bahan baku industri makanan-minuman (mamin) juga dipasarkan secara bebas. Stok gula makin membanjiri pasar, harga anjlok, penghasilan petani makin jeblok.
Kalkulasi bertani sungguh bagai berjudi. Dengan HPP Rp 8.250-an, hasil panen tebu akan senilai Rp 59,5 juta per-hektar. Perhitungan ini diperoleh jika petani sukses menuai panen (tidak diserang hama), serta sukses memenuhi rendemen. Yakni, menyetor tebu sebanyak 85 ton, dengan rendemen 8,5% untuk menghasilkan gula sebanyak 7,225 ton. Tidak banyak petani yang bisa mencapainya.
Namun setelah musim giling (mulai Mei 2015) nanti, petani tidak akan serta merta menanam tebu lagi. Ini bukan kehendak petani, melainkan kebijakan PG mengurangi keprasan (sewa lahan) tebu. Penyebabnya, PG masih memiiki stok gula cukup banyak, termasuk milik petani yang belum dibayar oleh PG. Secara nasional, sampai bulan Mei 2015 (pada saat musim giling) stok gula masih sebanyak 1,6 juta ton.
Sisa stok tahun lalu (menjelang musim giling 2014) masih terdapat 800 ribu ton gula tersimpan di PG. Diantaranya gula milik petani, yang belum terbayar oleh PG. Jika itambah hasil giling tahun 2015 (dengan kapasitas produksi sebanyak 2,3 juta ton) akan menjadi 3,1 juta ton. Sedangkan serapan pasar hanya sekitar 100 ribu ton per-bulan. Karena itu PG juga mengendurkan produksi, mengurangi pembelian tebu. Sehingga harga tebu bebas (bukan dari lahan sewaan PG) pasti akan jeblok.
Pengenduran produksi PG merupakan dampak persaingan tidak sehat, antara gula lokal dengan gula impor (yang lebih murah). PG tidak dapat menjual gula, hanya menumpuk sebagai stok di gudang. Akibatnya, PG menanggung hutang gula milik petani (konversi atas tebu setoran petani). Problem persaingan tidak sehat sektor per-gula-an nyaris tanpa solusi. Kecuali dengan campur tangan pemerintah dengan niat melindungi petani.
Gula, merupakan sembilan bahan pokok (sembako) yang memiliki nilai strategis. Sebagai bahan pangan pokok, negara memiliki otoritas mengatur. Sebagaimana dinyatakan dalam UUD pasal 33 ayat (2), bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Nilai strategis gula, terbukti dengan dimasukkannya PG dibawahkan oleh BUMN (sejak zaman penjajahan).
Subsidi Genjot Rendemen
Tidak mudah memilih metode campur tangan yang tepat. Juga tidak dengan menaikkan HPP (Harga Patokan Petani). Itu bagai simalakama. Menaikkan HPP akan menyebabkan harga gula di dalam negeri makin mahal. Rakyat akan marah. Sekaligus bisa menyebabkan “impor diam-diam.” Andai menurunkan HPP, petani tebu yang akan marah, menuding pemerintah tidak pro-petani. Walau sebenarnya HPP di kawasan Asia berkisar di bawah Rp 5.000,- per-kilogram.
Pada era pasar bebas, pemerintah bisa dituding anti-dumping, manakala menyetop impor dengan harga lebih murah. Maka satu-satunya jalan, adalah dengan meningkatkan rendemen tebu. Idealnya, rendemen mencapai (minimal) 11%. Meningkatnya rendemen niscaya meningkatkan hasil gula. Jika rendemen telah stabil pada 11%, maka setiap hektar areal bisa menghasilkan sekitar 9,4 ton gula.
Kondisi saat ini dengan rendemen rata-rata 7,8%, gula yang dihasilkan dari 1 hektar luas areal (85 ton) hanya sekitar 6,6 ton. Hasil gula itu dikurs dengan HPP (Rp 8.100,- per-kilogram) akan senilai Rp 53,5 juta. Namun, jika dengan rendemen 11% (dengan hasil 9,4 ton gula), maka akan seimbang (BEP) dengan HPP sekitar Rp 5.700,- per-kilogram.
Sehingga logikanya, manakala rendemen telah mencapai angka 11%, HPP bisa diturunkan sampai Rp 5.700,-. Petani sudah untung. Syaratnya, seluruh biaya peningkatan rendemen ditanggung oleh negara. Artinya, pemerintah mesti memberi subsidi untuk menggenjot rendemen. Subsidi menggenjot rendemen, tidak akan sia-sia. Keberhasilan di ladang tebu akan memiliki multiplier effect ke-ekonomi-an pada sektor industri makanan dan minuman.
Pemerintah akan “panen” pujian, karena harga gula juga bisa dikendalikan sampai seharga Rp 6.500,-. Rakyat akan senang, karena harga gula murah. Petani juga senang, karena menanam tebu semakin menguntungkan. Lebih lagi, rendemen (minimal) 11% bukan mimpi kosong. Indonesia pernah mencapai rendemen sampai 17% pada masa kolinialisme. Industri gula (pernah) menjadi salahsatu primadona pendapatan rezim kolonial, menyumbang 25% total penerimaan pemerintah.
Saat ini beberapa negara bisa mencapai rendemen 12%, antaralain Australia. Efeknya, bisa memacu pertumbuhan industri makanan dan minuman, termasuk restoran dan UMKM berbasis rumahtangga. Di Indonesia, beberapa daerah telah memiliki regulasi untuk menggenjot rendemen tebu. Termasuk Propinsi Jawa Timur memiliki Perda Nomor 17 tahun 2012 tentang Rendemen Tebu. Namun regulasi masih dilaksanakan “setengah hati.”

                                                                                                                       ———   000   ———

Rate this article!
Tags: